Ilhad berasal dari kata lahd yang berarti “penyimpangan dari tengah ke salah satu bagian dari dua sisi” atau “penyimpangan dari jalan benar”. Dalam filsafat, ilhad digunakan untuk menjelaskan paham yang ingkar Tuhan (ateis) dan nabi (meskipun percaya Tuhan). Pengertian ilhad tidak terbatas pada ateis tetapi juga semua penyimpangan di bidang akidah yang dapat menghancurkan agama secara keseluruhan.
Dalam Al-Qur’an terdapat enam lafal ilhad dan lahd, tiga di antaranya mengacu pada dua pengertian, yaitu “berlindung” dan “menuduh”, sementara tiga lainnya berarti “penyimpangan atau penyelewengan dari jalan yang benar”. Penyelewengan dan penyimpangan tersebut meliputi aspek sebagai berikut.
Pertama, penyimpangan dalam menyebut dan menggu nakan nama Allah Yang Maha Agung (al-asma’ al-husna). Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT:
“Hanya milik Allah al-asma’ al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma’ al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya…” (QS.7:180).
Ilhad dalam hal ini juga berarti “menyembah Allah SWT dengan menggunakan nama yang tidak sesuai dengan sifat dan keagungan-Nya”, “menodai nama agung-Nya dengan menggunakannya pada Tuhan selain Allah SWT”, atau “membuat konsep tentang Tuhan dengan lafal yang mengesankan penyerupaan-Nya dengan makhluk”.
Muhammad Husin Thabathaba’i (1310 H/1892 M–1401 H/1981 M), ulama tafsir Iran, berpendapat bahwa pengertian ilhad di sini merupakan penyimpangan dalam melihat sifat dan perbuatan Tuhan. Termasuk di dalamnya paham naturalisme, materialisme, paganisme, serta tindakan sebagian ahli kitab yang memandang nabi dan pemimpin agama mereka memiliki sifat yang hanya layak bagi Tuhan.
Di kalangan mukmin, ilhad seperti ini ditemui pada orang yang mempercayai daya efektif dan kemandirian hukum kausalitas alam tanpa menyandarkannya pada peran Tuhan, termasuk di dalamnya orang yang menetapkan adanya sifat tak sempurna pada Tuhan dan perbuatan yang tidak layak bagi-Nya.
Kedua, ilhad terhadap ayat Allah SWT. Hal ini sesuai firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami…” (QS.41:40). Ilhad terhadap ayat Allah SWT ini meliputi penyelewengan terhadap ayat yang berupa al-kaun (alam semesta) dan ilhad terhadap ayat qauliyyah (yang tercantum dalam Al-Qur’an).
Yang termasuk dalam ilhad terhadap ayat al-kaun adalah melakukan penyembahan dan pemujaan terhadap benda dan fenomena alam semesta, sekalipun tetap mempercayainya sebagai tanda wujud Tuhan. Adapun ilhad terhadap ayat qauliyyah adalah memandang bahwa ayat dalam Al-Qur’an merupakan buatan manusia, merusak bacaannya dengan mengubah atau memutarbalikkannya, atau menafsirkan dan menakwilkannya sesuai kehendak hawa nafsu.
Ketiga, ilhad dalam bentuk tindakan menghalangi orang untuk menjalankan perintah Allah SWT atau mendorongnya agar melakukan larangan-Nya. Yang termasuk dalam ilhad ini antara lain adalah orang yang menghalangi kaum muslim untuk melakukan ibadah di Masjidilharam. Hal ini disebutkan dalam firman Allah SWT:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan meng halangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara lalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih” (QS.22:25).
Berdasarkan lafal ilhad yang terdapat dalam Al-Qur’an tersebut, Ragib al-Isfahani (pakar bahasa Al-Qur’an) berpendapat bahwa ilhad dapat dibagi menjadi dua bentuk: (1) ilhad yang mengacu kepada mempersekutukan Allah SWT, yang dapat merusak iman dan menghilangkannya sama se kali; dan (2) ilhad yang mengacu kepada sebab yang mem-bawa syirik, yang tidak menghilangkan iman, tetapi dapat mengurangi kualitasnya.
Orang yang melakukan ilhad disebut mulhid. Tokoh yang dipandang mulhid di dunia Arab antara lain adalah Ibnu ar-Rawandi (w. 910 H/1504 M) dan Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (w. 932 H/1526 M). Ibnu ar-Rawandi berpen dapat bahwa wahyu tidak diperlukan, karena akal manusia sudah memadai untuk dapat mengatur serta menentukan hidupnya. Karena itu, nabi pun tidak diperlukan.
Kedatangan para nabi dianggap hanya membawa pertentangan, karena masing-masing nabi mengklaim kebenaran ajaran yang dibawanya. Pandangan yang sama juga dikemukakan ar-Razi. Akan tetapi menurut Abdul Latif Muhammad Abdul (dosen filsafat Islam Fakultas Dar al-‘Ulum, Cairo), penggolongan ar-Razi sebagai mulhid merupakan upaya yang dibesar-besarkan musuh ar-Razi yang juga berasal dari kota Rayy, Iran, yaitu Abu Hatim ar-Razi (penganut aliran Syiah Ismailiyah).
Daftar Pustaka
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
al-Isfahani, Ragib. Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-‘Alami li at-Tiba‘ah, 1983.
Yunasril Ali