ICMI adalah organisasi yang mewadahi cendekiawan muslim Indonesia yang berkomitmen pada nilai Islam tanpa melihat aliran, warna politik, dan kelompok. Organisasi ini berdiri 7 Desember 1990 dalam sebuah simposium dengan tema “Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI” yang dihadiri sekitar 500 cendekiawan muslim di Malang, Jawa Timur. Ketua umum ICMI periode 1991–1995 adalah B.J. Habibie.
Sebagai wadah cendekiawan muslim, ICMI bergerak atas landasan tiga segi, yaitu: (1) iman sebagai landasan moral untuk memacu prestasi takwa; (2) Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas filosofis dan konstitusional kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat; dan (3) ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat dan sarana bagi peningkatan mutu kehidupan.
Sasaran jangka panjang yang hendak dicapai organisasi ini terkenal dengan sebutan 5-K, yaitu peningkatan kualitas iman, kualitas hidup, kualitas bekerja, kualitas berkarya, dan kualitas berpikir bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya.
Strategi dasar dalam pelaksanaan rencana jangka panjang ICMI adalah keseimbangan antara pendekat an pendidikan dan pembudayaan. ICMI juga menekankan kesinambungan iman dan takwa, yang kemudian populer dengan istilah imtak dan menjadi “label” ICMI.
Kata “cendekiawan” dalam ICMI bersifat sangat longgar dan tidak diidentikkan dengan gelar kesarjanaan. Oleh ketua umum ICMI, misalnya, kata tersebut didefinisikan sebagai “siapapun yang bergetar hatinya untuk memperbaiki lingkungan dan rakyat Indonesia.”
Struktur organisasi ICMI terdiri dari: (1) Pimpinan Harian, yaitu ketua umum yang dibantu oleh enam orang asisten, tiga orang sekretaris, dan seorang bendahara; (2) Dewan Penasihat; dan (3) Dewan Pakar ICMI, terbagi atas enam departemen yang masing-masing membawahi lima bidang, yakni Departemen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Departemen Ilmu Ekonomi dan Kemasyarakatan, Departemen Pembinaan Ekonomi Lemah dan Kemasyarakatan, Departemen Pembinaan Sumber Daya Manusia dan Pembudayaan, Departemen Pembinaan Umat, dan Departemen Organisasi dan Kelembagaan.
Perencanaan dan pelaksanaan program kerja ICMI dikembangkan melalui pendekatan lima fungsi: (1) fungsionalisasi potensi kelembagaan yang sudah ada, (2) institusionalisasi penguatan kelembagaan melalui gagasan baru, (3) disseminasi model inovatif, (4) integrasi atau perekatan solidaritas antarumat Islam, dan (5) mobilisasi dan pengorganisasian potensi sumber daya secara efektif.
Dalam penjelasan para pendiri ICMI, pembentukan organisasi ini berasal dari sebuah ide sederhana lima mahasiswa Universitas Brawijaya untuk mempertemukan para cendekiawan muslim nasional, guna membicarakan sumbangsih umat Islam dalam era tinggal landas. Ide ini merebak ketika sejumlah tokoh Islam yang diajak berembuk untuk merancang acara itu berpandangan bahwa apa yang dibutuhkan bukan lagi hanya sebuah pertemuan, melainkan wadah permanen bagi pertemuan para intelektual muslim secara berkelanjutan.
Salah seorang yang kemudian menentukan lahirnya ICMI adalah B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi pada Kabinet Pembangunan V RI. Teknokrat ini semula hanya ditempatkan sebagai salah satu pembicara utama dalam simposium yang dirancang. Namun ketika gagasan tentang pembentukan ICMI semakin menemukan bentuknya, nama Habibie, orang yang digambarkan sebagai contoh intelektual Islam dengan penguasaan teknologi mendalam dan berwawasan jauh ke depan, menjadi kandidat utama sebagai ketua organisasi.
Antusiasme umat Islam Indonesia untuk mendukung rencana ini berkembang lebih jauh lagi. Lima ratus cendekiawan muslim dengan latar belakang sosial-politik beragam dari seluruh Indonesia hadir pada simposium di Malang tersebut. Susunan kepengurusan ICMI yang pertama tampak heterogen.
Di samping para tokoh cendekiawan muslim yang sudah dikenal, di dalamnya tergabung pula sejumlah cendekiawan muslim yang menduduki jabatan menteri Kabinet Pembangunan V, sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan akademisi, pengusaha, serta budayawan.
Kendatipun demikian, sejak awal kelahirannya ICMI menghadapi kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Kritik yang cukup keras datang dari KH Abdurrahman Wahid (tokoh NU), Djohan Efendi (aktivis Majelis Reboan), dan Mochtar Lubis (budayawan).
Kritik tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
(1) ICMI dinilai sebagai memperkuat kecenderungan primordialisme eksklusif di kalangan umat muslim yang merugikan perkembangan bangsa.
Menghadapi tuduhan tersebut para tokoh ICMI menjawab bahwa ICMI hanyalah sarana untuk mewadahi dialog intelektual kaum cendekiawan yang menaruh komitmen pada nilai keislaman, di samping merupakan “pantulan keharusan historis” dari munculnya muslim terdidik, yang berhasrat dan potensial untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan, memenuhi panggilan doktrinal Islam sebagai agama petunjuk dan rahmat, dan untuk menaikkan kualitas bangsa dan umat dalam segala lapangan kehidupan.
Energi potensial yang sebelumnya tersebar di berbagai wadah tanpa memiliki sarana komunikasi dihimpun dalam ICMI.
(2) ICMI dinilai dimanfaatkan untuk menggalang dukungan umat Islam dalam pemilihan umum yang diselenggarakan sekitar 1,5 tahun setelah berdirinya ICMI.
Penilaian ini dikaitkan dengan penunjukan B.J. Habibie, menteri Riset dan Teknologi, sebagai ketua umum ICMI, padahal sebelumnya B.J. Habibie tak banyak dikenal sebagai “tokoh Islam”; dukungan dana dari pemerintah melalui BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) yang dipimpinnya; dan kecenderungan ICMI untuk mendukung kebijakan pemerintah dan banyaknya ketua orwil (organisasi wilayah) yang ditunjuk dari birokrat sipil setempat. Semua itu dianggap sebagai indikasi ketidakmandirian ICMI dari pemerintah.
Konsisten dengan jawaban mereka tentang kecenderungan primordialisme, para tokoh ICMI bersikukuh bahwa organisasi tersebut tidak bersifat politis. Menurut Emil Salim, ICMI menjadi wadah bagi cendekiawan Islam tanpa melihat aliran, warna politik, dan kelompok.
Terdapat sejumlah kasus tentang hubungan ICMI – pemerintah. Yang pertama adalah ketika ICMI menugaskan tim khusus penanganan kasus Kedung Ombo (Jawa Tengah), kasus penggusuran tempat tinggal akibat pembangunan waduk di daerah tersebut.
Buntut dari kasus ini di ICMI adalah mundur nya Emha Ainun Najib, salah seorang anggota tim tersebut, setelah merasa ICMI tak berani bertindak lebih jauh daripada sekadar menerima keputusan yang telah diambil pemerintah.
Kasus kedua berkaitan dengan kontroversi SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), program Departemen Sosial yang dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk “perjudian terselubung.” Habibie, dalam kapasitas nya sebagai ketua ICMI, menyatakan bahwa dalam pandangannya SDSB haram. ICMI Yogyakarta dan ICMI Surabaya juga kemudian melontarkan konsep alternatif SDSB.
Kasus ketiga berkenaan dengan peristiwa “doa politik” menjelang Pemilu 1992, yakni penggalangan 37 ormas Islam oleh Letjen (purn.) Alamsjah Ratu Perwiranegara, mantan Menteri Agama, untuk melakukan doa bersama sebagai kebulatan sikap mendukung pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden RI periode 1993–1998.
Setelah terjadi kesimpangsiuran berita tentang keikutsertaan ICMI dalam acara doa bersama tersebut, Habibie segera menyampaikan pernyataan resmi bahwa ICMI, karena alasan teknis-organisasional, tidak terlibat di dalamnya.
Kasus keempat adalah peristiwa pembubaran seminar ICMI bertemakan “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Bangsa Indonesia” oleh kepolisian Jakarta (Mei 1992) dengan alasan tidak ada izin penyelenggaraan. Dalam seminar tersebut semula direncanakan hadir sejumlah tokoh hak asasi manusia sebagai pembicara.
Pertumbuhan keanggotaan ICMI berjalan cepat. Jumlah anggota yang tercatat pada Silaknas (Silaturahmi Kerja Nasional) ICMI yang pertama pada 5–7 Desember 1991, telah mencapai 15.000 orang. Sampai saat ini ICMI telah memiliki 38 orwil (organisasi wilayah) di seluruh tanah air dan luar negeri.
Selama lebih dari 10 tahun berkiprah, ICMI identik dengan Habibie. Oleh karena itu, ketika Habibie turun dari jagad perpolitikan nasional, suara ICMI tidak terdengar lagi. Lebih dari itu, para pendukung ICMI mengalami pasang surut.
Ketika Habibie turun (1997), jabatan Ketua Umum ICMI periode 1997–2000 dipegang oleh Achmad Tirtosudiro. Ia menggantikan posisi B.J. Habibie di ICMI ketika Habibie dalam proses pencalonan sebagai wakil presiden. Achmad Tirtosudiro sendiri sudah aktif di ICMI sejak persiapan berdirinya ICMI.
Setelah Tirtosudiro, jabatan Ketua Umum ICMI periode 2000–2005 dipegang oleh Adi Sasono. Pada Muktamar II 1995, Adi terpilih jadi sekretaris umum ICMI. Kariernya semakin mencorong ketika diangkat oleh Presiden Habibie sebagai Menteri Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil dan Menengah).
Ketika menjabat sebagai Menteri Koperasi dan PKM masa pemerintahan Habibie, ia sempat mendapat julukan sebagai The Dangerous Man oleh majalah Far Eastern Economic Review. Kiprahnya sempat dicurigai sebagai pejabat yang anti-Cina dan anti konglomerasi.
Pada 26 Januari 2003 dalam Sidang Majelis Paripurna Pengurus ICMI di Pontianak, Adi Sasono secara resmi mengajukan pengunduran diri dari jabatan Ketua Umum ICMI. Pernyataan itu ia sampaikan saat menutup acara Konferensi dan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI.
Ia mundur dari jabatan ini karena berencana mendirikan sebuah partai yang bernama Partai Merdeka. Setelah itu, Majelis Paripurna ICMI menyetujuinya dengan menonaktifkan Adi dan langsung menunjuk ketua Dewan Pakar, Muslimin Nasution, sebagai pejabat sementara Ketua Umum ICMI sampai Muktamar ICMI tahun 2005.
Pada Muktamar IV, 4-7 Desember 2005 di Makassar, dan Muktamar V, 4-7 Desember 2010 di Bogor, kepengurusan ICMI ditetapkan dipimpin oleh Presidium. Presidium itu terdiri dari 5 orang yang memimpin secara bergiliran, pada periode 2005-2010 dan 2010-2015.
Presidium 2005-2010 adalah: Marwah Daud Ibrahim, PhD., Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, Dr. (HC). Ir. M. Hatta Rajasa, Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU., dan Prof. Dr. Azyumardi Azra. Sedangkan Presidium 2010-2015 adalah: Dr. Ing. H. Ilham Akbar Habibie, MBA., Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, Hj. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D., Drs. Priyo Budi Santoso, dan Dr. Sugiharto, SE, MBA.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie terpilih menjadi Ketua Umum ICMI periode 2015-2020 pada Muktamar VI dan Milad ke-25 ICMI di Mataram, NTB, 13 Desember 2015.
Pada Muktamar VII, 4-6 Desember 2021 di Bandung, Rektor IPB Prof. Arif Satria terpilih sebagai Ketua Umum ICMI periode 2021-2026. Presiden Joko Widodo hadir secara virtual pada acara Pengukuhan Majelis Pengurus Pusat ICMI dan Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional ICMI Tahun 2022, dari Istana Kepresidenan Bogor, 29 Januari 2022.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syafi’i. “Islam, Negara, dan Formasi Sosial dalam Orde Baru, Menguak Dimensi Sosio-Historis Kelahiran dan Perkembangan ICMI,” Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992.
“Cendekiawan Muslim Melangkah dari Malang,” Tempo, hal. 26–28, 8 Desember 1990.
“Cendekiawan Internasional,” Tempo, hal. 24–25, 7 September 1991.
Daftar Pengurus ICMI Periode 1991–1995. Jakarta: ICMI, 1991.
Hefner, Robert W., “Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle for the Indonesian Middle Class,” Indonesia, No. 56, (Oktober, 1993).
“ICMI pun Kena Semprit,” Tempo, 9 Mei 1992.
“Momentum ICMI dan Munculnya Habibie,” Tempo, hal. 29–32, 8 Desember 1990.
“Mundurnya Sang Ontoseno,” Tempo, hal. 26, 31 Agustus 1991.
Rencana Kerja Konvergensi Jangka Menengah ICMI, 1991–1997. Jakarta: ICMI, 1991.
https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-jokowi-buka-rapat-kerja-nasional-icmi-tahun-2022/, diakses pada 18 Maret 2022.
https://news.detik.com/berita/d-3094608/begini-panasnya-muktamar-icmi-sampai-jimly-terpilih-jadi-ketua-umum, diakses pada 18 Maret 2022.
Ade Armando Gani
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)