Ibnu Taimiyah

(Harran, Turki, 10 Rabiulawal 661/22 Januari 1263–Damas-cus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328)

Ibnu Taimiyah (lengkap: Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad) adalah seorang pemikir dan pembaru Islam abad ke-8 H/ ke-14 M dari keluarga yang cinta ilmu. Ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim, adalah ahli hadis dan ulama terkenal di Damascus, pengajar di berbagai sekolah terkemuka­. Kakeknya, Syekh Majuddin Abdus Salam, juga ulama ternama. Mereka adalah pemuka Mazhab Hanbali dan berpegang teguh pada ajaran salaf.

Pada mulanya keluarga ini bermukim di daerah Harran di lembah Mesopotamia utara. Tekanan tentara Mongol yang menjarah dan menduduki daerah itu menyebabkan keluarga ini hijrah ke Damascus, ibukota Suriah, pada pertengahan 1260.

Pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan belajar­ Al-Qur’an dan hadis pada ayahnya sendiri. Kemudian­ ia masuk sekolah di Damascus, dan belajar berbagai ilmu keislaman. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan dan keje­niusannya.

Dalam usia 10 tahun ia telah mempelajari buku ha­dis utama, seperti kitab Musnad Ahmad (kitab ha­dis yang menghimpun hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal), al-Kutub as-Sittah (Enam Kitab Hadis), Mu‘jam at-Tabari (kamus­ yang dikarang at-Tabari). Di samping itu, ia juga belajar khatt (menulis indah), ilmu hitung, menghafal Al-Qur’an, dan mendalami bahasa Arab dari Ibnu Abdul Qawi.

Sebagian dari ilmu itu dapat dikuasainya dengan baik sehingga mengundang ke­kaguman penduduk Damascus. Ia kemudi­an tertarik untuk mendalami ilmu kalam dan filsafat, dan menjadi ahli di bidang keduanya.

Karena ketekunan dan kejeniusannya, ia berhasil me­nyelesaikan seluruh pendidikannya pa­da usia 20 tahun. Setahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar hukum Mazhab Hanbali menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat.

Demikianlah,­ Ibnu Taimiyah tumbuh menjadi seorang ulama terkemuka yang berpandangan luas, berpikiran­ rasional dan filosofis. Ia dikenal sebagai ahli hadis, ahli kalam, fikih, mufasir (ahli tafsir), filsuf, dan sufi. Keulamaannya mencakup seluruh kajian keislaman sehingga pantas mendapat gelar Syaikh­ al-Islam.

Pada usia 30 tahun, usia yang relatif masih muda, kapasitas­ Ibnu Taimiyah sebagai ulama besar sudah diakui dan dapat menandingi banyak ulama besar pada zamannya. Ibnu Taimiyah berpegang­ kuat pada ajaran salaf.

Ia telah menekuni profesi penulis sejak berusia 20 tahun. Tulisannya banyak bernada kritik terhadap segala pendapat dan paham­ yang tidak sejalan dengan pemikirannya, karena menurutnya bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan hadis. Pada umumnya karya Ibnu Taimiyah dimaksudkan­ untuk memberi komentar dan kritik terhadap pendapat ula­ ma semasanya maupun pendahulunya.

Ia terma­suk pe­nulis yang produktif. Hasil karyanya berjum-lah 500 judul, antara lain (1) Kitab ar-Radd ‘Ala al-Mantiqiyyun (Jawaban terhadap para Ahli Mantik), (2) Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (Metode Sunah Nabi), (3) Majmu‘ al-Fatawa (Kumpulan Fatwa), (4) Bayan Muwafaqat sahih al-Ma‘qul sarih al-Manqul (Uraian tentang Kesesuaian Pemikiran yang Benar dan Dalil Naqli yang Jelas),

(5) ar-Radd ‘Ala al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah (Jawaban Atas Paham Hulul dan Ittihad), (6) Muqaddimah­ fi Usul at-Tafsir (Pengantar mengenai Dasar Tafsir), (7) ar-Radd ‘Ala Falsafah Ibn Rusyd (Jawaban terhadap Filsafat Ibnu Rusyd), (8) al-Iklal fi al-Mutasyabah wa at-Ta’wil (Pembicaraan mengenai Ayat Mutasyabih­ dan Takwil),

(9) al-Jawab as-sahih li Man Baddala utsman al-Masih (Jawaban Benar terhadap yang Menggantikan­ Iman terhadap al-Masih), (10) ar-Radd ‘Ala an-Nusairiyyah (Jawaban­ terhadap Paham Nusairiyah), (11) Risalah al-Qubrusiyyah­ (Risalah tentang Paham Qubrusiyah), (12) Itsbat al-Ma‘ad (Menentukan­ Tujuan), (13) subut an-Nubuwwat (Eksistensi Kenabian),­ dan

(14) Ikhlas ar-Ra‘i wa ar-Ra‘iyah (Keikhlasan Pemimpin dan yang Dipimpin). Hampir semua karangannya berisikan kritik terhadap segala aliran Islam yang berkembang. Bukan hanya terbatas pada aliran ekstrem teologi, tasawuf, dan filsafat, seperti aliran Batiniah, Jahmiyah, Mulahadah Nasiriyah, Wahdatul Wujud, Hululiyah, Dahriyah, Mujassimah, Rawandiyah, Musybihah, Mu’attilah, Salimiyah, dan Kalabiyah yang dikritiknya,­ tetapi juga aliran moderat, seperti Muktazilah, Asy‘ariyah, dan para pemikir Islam yang besar, seperti al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.

Dalam penilaian Ibnu Taimiyah, para pemuka aliran itu sudah banyak menyimpang­ dari kebenaran karena pemikiran yang dilandaskan­ pada argumen­tasi­ rasio. Hanya sebagian kecil yang didasarkan pada dalil Al-Qur’an dan hadis. Demikianlah pendapat al-Bazzar, seorang ahli hadis abad ke-3 H.

Itulah sebabnya Ibnu Taimiyah lebih dikenal sebagai­ tokoh pembasmi bid’ah (hal yang dibuat-buat tanpa dasar dari Al-Qur’an dan hadis) dan penantang tergigih terhadap ketaklidan (taklid).

Sebagian besar aktivitasnya diarahkan­ kepada usaha untuk memurnikan­ paham tauhid, membuka kembali pintu ijtihad yang telah lama dinyatakan tertutup, dan menghidup­kan­ pemikiran salaf serta menyeru­kan untuk kembali berpegang pada Al-Qur’an dan hadis.

Corak pemikiran Ibnu Taimi­yah bersifat empiris, ia dikenal sebagai pemikir Islam yang rasional. Sebagai seorang empiris, ia berprinsip bahwa kebenar­an hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran (al-haqiqah fi al-A‘yan la fi al-Adzhan).

Selanjutnya ia juga berprinsip bahwa tidak ada per­ tentangan antara akal yang sarih (jelas) dan naql (dalil Al-Qur’an dan hadis) yang sahih. Konsep ini tergambar jelas dalam bukunya Bayan sarih al-Ma‘qul li sahih al-Manqul. Pandangannya yang empiris terlihat juga dalam bukunya ar-Radd ‘Ala al-Mantiqiyyun.

Di situ dijelaskan tentang kelemahan logika sebagai metode dalam memper­ oleh pengetahuan. Mantik (logika) sebagai metode berpikir deduktif tidak dapat dipakai untuk mengkaji­ objek keislaman­ secara hakiki. Objek keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui eksperimen, dengan perkataan lain melalui metode pengamatan langsung.

Metode berpikir Ibnu Taimiyah secara terperinci da­pat dilihat dalam bukunya Majmu’ al-Fatawa (Kumpulan­ Fatwa). Dalam buku ini tampak seka­li komitmen Ibnu Taimiyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berpikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Karena itu, pendapatnya sarat dengan­ dalil Al-Qur’an dan hadis.

Ibnu Taimiyah­ berkeinginan kuat untuk menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran­ Islam yang termuat dalam Al-Qur’an dan hadis, serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran agama. Perhatian Ibnu Taimiyah terhadap tafsir sangat besar, terbukti­ dari bukunya Muqaddimah fi Usul at-Tafsir.

Buku itu berisi pendapat­nya­ tentang sistem penafsirkan Al-Qur’an, yaitu bahwa metode tafsir yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika tidak didapati tafsirnya­ dalam Al-Qur’an, baru dicari dalam hadis. Jika tidak dijumpai dalam hadis, penjelasan suatu ayat dicari dari perkataan sahabat.

Kalau di sini tidak juga dijumpai, penjelasannya dapat dicari dalam perkataan tabiin (generasi kedua­ setelah sahabat). Ayat Al-Qur’an harus ditafsirkan­ menurut bahasa Al-Qur’an dan hadis, atau yang pemakaiannya berlaku umum dalam kaidah bahasa Arab.

Ia juga memaparkan penilaiannya­ terhadap­ kitab tafsir yang sudah ditulis. Menurutnya, kitab tafsir yang baik adalah yang me­menuhi kategori berikut:

(1) banyak mengandung kebenaran­ yang sesuai dengan pandangan salaf;

(2) tidak mengandung­ bid’ah;

(3) metode-nya dekat ke­pada Al-Qur’an dan hadis; dan

(4) tidak bersandar pada pendapat akal semata (tafsir bi ar-ra’yi).

Berdasarkan­ kategori tersebut, tafsir yang dini­lainya baik adalah Tafsir Muhammad Ibn Jarir at-Tabari (Tafsir yang Ditulis Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari), Taf-sir al-Qurtubi (Tafsir yang Ditulis al-Qurtubi), dan Tafsir Ibn ‘Atiyah (Tafsir yang Ditulis Ibnu Atiah). Tafsir yang menurutnya buruk meliputi, antara lain, Tafsir az-Zamakhsyari (Tafsir yang Ditulis az-Zamakhsyari).

Pen­dapatnya mengenai pengetahuan ketuhanan (aki­dah) dapat dilihat dalam bukunya al-‘Aqidah al-Wasatiyyah (Akidah yang Moderat). Akidah yang benar menurutnya adalah akidah salaf, akidah yang bersumber dari teks Al-Qur’an dan hadis, bu­kan diambil dari dalil rasional yang filosofis.

Dalam menjelaskan sifat Tuhan, misalnya, ia mengemukakan bahwa sifat Tuhan adalah apa yang secara jelas termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis. Pendapat yang membatasi sifat Tuhan pada sifat dua puluh (menurut pendapat aliran Asy‘a­ riyah dan pendapat yang menafikan sifat Tuhan) bertentangan dengan akidah salaf.

Walaupun menetapkan adanya sifat Tuhan, ia menolak mempersamakan­ sifat Tuhan dengan sifat­ makhluk-Nya, seperti pendapat Muktazilah. Tegasnya,­ Ibnu Taimiyah menetapkan sifat Tu­han tanpa tamtsil (menyamakan sifat Tuhan dengan sifat makhluk-Nya) dan tanzil (menafikan sifat Tuhan).

Ia dikenal paling gigih menentang penggunaan takwil (meninggalkan arti hakiki mengambil arti majazi) dalam menjelaskan sifat Tuhan. Pe­nakwilan kata yad (tangan) dengan ‘kekuasaan’ tidak dapat diterimanya. Ia tetap mempertahankan arti yad dan wajh dengan “tangan” dan “wajah”. Demikian­ pula dengan ayat mutasyabihat lainnya.

Bukunya yang berjudul Fatawa (Fatwa) berisi kritik tajam terhadap pendapat Muktazilah mengenai masalah sifat Tuhan, pendapat yang dinilainya sangat terpengaruh filsafat. Sebaliknya, Ibnu Taimiyah juga mengecam golongan Mutasyabihat yang dinilainya terlalu berlebihan dalam men­jelaskan sifat tersebut, seperti kata istiwa’ ‘ala al-‘Arsy (bersemayam di Arasy) yang menggambarkan seolah-olah Tuhan berada di atas langit dan membutuhkan arasy (singgasana) untuk bersemayam.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Taimiyah. ar-Radd ‘Ala al-Mantiqiyyin. Bombay: Qayimah Press, 1949.

–––––––. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘yah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.

–––––––. Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqd Kalam asy-Syi‘ah wa al-Qadariyyah. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.

MusdaH Mulia