Muhammad bin Sa‘ud adalah tokoh pendiri Dinasti Sa‘ud, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi. Ia berjuang untuk mengembalikan Arab Saudi sebagai pusat dakwah amar makruf nahi munkar, seperti dilakukan Nabi SAW. Pada mulanya ia adalah seorang amir Dariyah. Ia kemudian bekerjasama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Gerakan Wahabi) untuk mempersatukan daerah Semenanjung Arabia.
Ketika masih kecil, Muhammad bin Sa‘ud belajar pada ayahnya, Sa‘ud bin Muhammad bin Markhan, dan ulama. Karena itu tidak mengherankan bahwa ia mengetahui ajaran Islam secara memadai. Setelah ayahnya wafat, Muhammad bin Sa‘ud sebagai anak tertua tampil menggantikannya sebagai amir daerah Dariyah.
Ia memerintah daerah tersebut dengan bijaksana dan berani. Ia didukung saudara-saudaranya, Saniyan, Masyari, dan Farhan. Sebagai seorang alim di bidang ilmu keislaman, ia bercita-cita untuk menjadikan Semenanjung Arabia kembali bersatu dan aman, sebagaimana tampak di awal Islam pada masa Nabi Muhammad SAW.
Oleh sebab itu, berbagai penaklukan wilayah oleh Amir Muhammad bin Sa‘ud dan pasukannya senantiasa dibekali dan diawali dengan ungkapan sabilillah dan penegakan syariat Islam. Satu demi satu daerah di sekitar Dariyah dapat direbutnya.
Bersamaan dengan masa pemerintahan Muhammad bin Sa‘ud dan penaklukan daerah yang dilakukannya, Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H/1703 M–1201 H/1787 M; pendiri Gerakan Wahabi, tokoh pemurni dan pembaru ajaran Islam) juga sedang melancarkan dakwah amar makruf nahi munkar dari wilayah Ainiyah (dekat Riyadh) ke daerah di sekitarnya dengan dukungan para amir, kadi, dan ulama.
Muhammad bin Abdul Wahhab melihat bahwa tujuan Amir Muhammad bin Sa‘ud untuk memperluas daerahnya sama dengan tujuannya sendiri, yaitu menegakkan kalimah Allah SWT di Semenanjung Arabia. Oleh sebab itu, Muhammad bin Abdul Wahhab mengirim surat kepada Amir Muhammad bin Sa‘ud untuk mengajaknya bekerjasama demi terwujudnya tujuan tersebut. Muhammad bin Abdul Wahhab berjanji akan menyatukan daerah yang mereka taklukkan bersama di bawah kepemimpinan Muhammad bin Sa‘ud.
Pada awalnya, Muhammad bin Sa‘ud meragukan tawaran tersebut karena mengira adanya maksud terselubung dari Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun, berkat saran dan pandangan sau dara dan istrinya, akhirnya ia bersedia membicarakan tawaran tersebut dalam pertemuan dengan Muhammad bin Abdul Wahhab pada 1745.
Muhammad bin Sa‘ud meminta dua hal. Pertama, Muhammad bin Abdul Wahhab tidak boleh menuntut kekuasaan jika usaha penaklukan dan perluasan wilayah berhasil. Kedua, Muhammad bin Abdul Wahhab tidak boleh melarangnya untuk memungut pajak tanaman dan perdagangan dari warga, serta meminta bagian dari pajak tersebut.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menerima tuntutan pertama dan berjanji tidak akan meminta kekuasaan apa pun. Tentang tuntutan kedua, menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, justru Ibnu Sa‘ud akan mendapatkan lebih banyak daripada hanya sekadar pajak tanaman dan perdagangan. Ia bahkan akan memperoleh harta berlimpah dari pampasan perang. Atas segala yang akan diperoleh ini, Muhammad bin Abdul Wahhab berjanji tidak akan mengambilnya.
Mendengar kesepakatan antara keduanya, para penguasa di sekitar Dariyah merasa cemas, bahkan ada yang langsung menyatakan diri bersatu dengan wilayah Dariyah, seperti yang dilakukan penguasa daerah Ahsa‘, salah satu daerah di sekitar Riyadh. Riyadh sendiri baru takluk di tangan Abdul Aziz bin Muhammad (1766–1803) pada 1187 H/1773 M.
Sejak adanya kesepakatan tersebut, dimulailah penaklukan (1159 H/1746 M) yang bersifat politik dan agama sehingga satu demi satu wilayah di sekitar Dariyah, seperti Ainiyah, Ahsa‘, Wasyim, Harimalla‘, menyatakan diri bersatu dengan Dariyah.
Dariyah, semula sebuah kota kecil, semakin ramai dikunjungi karena fungsinya telah berubah menjadi ibukota dan pusat pendidikan di bawah asuhan Muhammad bin Sa‘ud dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Banyak orang datang ke Dariyah untuk menimba ilmu dari Syekh Muham-mad bin Abdul Wahhab. Hal ini menjadikan kota Dariyah semakin ramai dan pemasukannya pun semakin meningkat.
Para sejarawan Arab Saudi mengganggap bahwa pada saat itulah periode pertama berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Penaklukan wilayah lainnya, yang termasuk dalam daerah Arab Saudi sekarang, berlanjut terus setelah Muhammad bin Sa‘ud dan Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal dunia.
Prinsip amar makruf nahi munkar dengan pembersihan akidah, ibadah, dan adat-istiadat umat Islam yang telah rusak, serta penaklukan wilayah demi tegaknya agama Allah SWT, senantiasa menjadi acuan dalam mempersatukan wilayah Semenanjung Arabia di bawah kekuasaan Kerajaan Arab Saudi. Oleh sebab itu, para sejarawan menyatakan bahwa paham Wahabi, yang dianut Kerajaan Arab Saudi, merupakan prinsip yang dipegang untuk seterusnya karena dengan prinsip itulah Kerajaan Arab Saudi didirikan oleh Muhammad bin Sa‘ud bersama Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sebagai penghargaan terhadap Muhammad bin Sa‘ud, Raja Abdul Aziz bin Sa‘ud (1319 H/1880 M–1373 H/1953 M) mengeluarkan keputusan kerajaan pada 21 Jumadilawal 1351/22 April 1932 tentang pemberian nama kerajaan ini: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sau‘diyyah (Kerajaan Arab Saudi). Di samping itu, nama Muhammad bin Sa‘ud juga diabadikan sebagai nama sebuah universitas Islam terbesar di Arab Saudi, yaitu Jami‘ah al-Imam Muhammad Ibn Sa‘ud al-Islamiyyah (Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa‘ud) yang berpusat di Riyadh.
Daftar Pustaka
ad-Daisarawi, Umar. Tarikh Najd wa Da‘wah asy-Syaikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab. Cairo: Maktabah Madbuli, 1414 H/1994 M.
Darwisy, Madihah Ahmad. Tarikh ad-Daulah as-Sa‘udiyyah. Jiddah: Dar asy-Syuruq, 1412 H/1992 M.
al-Ma’arif, Wizarah. Tarikh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa‘udiyyah.” Jiddah: t.p., 1976.
Nasrun Haroen