Kata tablig berasal dari akar kata ballaga-yuballigu-tabligan, yang berarti “menyampaikan”. Secara istilah, tablig berarti “menyampaikan ajaran (Islam) yang diterima dari Allah SWT kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman dan dilaksanakan agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat”.
Isi pokok kegiatan tablig adalah amar makruf nahi munkar (perintah untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan larangan mengerjakan perbuatan yang keji) dan mengajak beriman kepada Allah SWT. Orang yang bertablig disebut mubalig atau mubaligah (untuk wanita).
Kata lain yang lebih populer adalah dakwah dan pelakunya disebut dai. Dalam istilah sehari-hari, proses penyampaian ajaran (tablig) sering disebut dakwah dan dainya sering disebut mubalig/ mubaligah.
Mula-mula kegiatan tablig dilakukan Rasulullah SAW sendiri, kemudian oleh para sahabat yang termasuk as-Sabiqun al-Awwalun (pemeluk Islam pertama), dan seterusnya menjadi kewajiban setiap muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki.
Di kalangan pengikut Asy‘ariyah, kata tablig sering digunakan sebagai salah satu sifat wajib bagi rasul (utusan) Allah SWT. Hal ini karena rasul menerima wahyu dari Allah SWT untuk disampaikan kepada umatnya.
Kata tablig dalam Al-Qur’an disebutkan dalam bentuk kata kerja (fi‘il) sekurang-kurangnya sepuluh kali (QS.5:67; QS.33:62, 68; QS.46:23; QS.72:28; QS.7:79, 92; dan QS.11:57).
Dasar kegiatan tablig adalah perintah Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 67 yang berarti: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”
Dan juga firman Allah SWT dalam surah al-A‘raf (7) ayat 68 yang berarti: “Aku menyampaikan amanatamanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang tepercaya bagimu.”
Jika pada ayat di atas tugas tablig merupakan tugas rasul, untuk seterusnya tablig menjadi tanggung jawab setiap muslim. Karena itu agama Islam sering diidentikkan sebagai agama tablig (dakwah).
Ini sejalan dengan perintah Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, at-Tirmizi, dan Ahmad dari Ibnu Amr, yang berarti: “Sampaikan (tablig)-lah olehmu apa yang kalian peroleh dari aku meski hanya satu ayat, ceritakanlah dari Bani Israil tidak mengapa, dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya dari api neraka.”
Ini dimaksudkan agar dalam tablig, seorang mubalig atau mubaligah benar-benar menyampaikan ajaran yang datang dari Nabi SAW. Namun tablig hanyalah menyampaikan ajaran, tidak berarti memaksakan, karena pada akhirnya Allah SWT-lah yang memberikan petunjuk kepada hamba-Nya untuk beriman.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS.28:56).
Metode tablig secara garis besar ditunjukkan dalam Al-Qur’an surah an-Nahl (16) ayat 125 yang berarti: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Lebih dari itu, para sahabat merumuskan suatu pola tablig dengan konsep “khatibu an-nasa ‘ala qadri ‘uqulihim” (berbicara atau bertabliglah kalian kepada manusia menurut kadar kemampuan akal mereka).
Tablig tidak cukup dipahami hanya dengan menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain, yang berisi amar makruf nahi munkar dan mengajak beriman kepada Allah (QS.3:104,110), tetapi tablig mesti dimulai dari diri mubalig itu sendiri.
Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah SWT yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS.66:6).
Seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknik tablig dalam hal-hal tertentu perlu disesuaikan. Tablig dapat memanfaatkan semua teknologi yang ada.