Ibnu Qutaibah

(Baghdad, 213 H/828 M–Rajab 276/November 889)

Ibnu Qutaibah adalah seorang ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu: bahasa Arab, nahu, sastra Arab, Al-Qur’an, tafsir, hadis, fikih, sejarah,­ dan ilmu Islam lainnya. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah. Ada yang menjulukinya “al-Qutbi” atau “al-Qutaibi”­ (berarti “pelana”). Tidak jelas mengapa ia dijuluki­ demikian.

Ayah Ibnu Qutaibah berasal dari Merwe (kota di Turkme­ nistan), kemudian menetap di Baghdad. Menurut sumber yang lebih kuat, Ibnu Qutaibah lahir di Baghdad, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di Kufah, Irak. Ia lebih banyak menetap di Baghdad walau pernah­ juga tinggal di Dinawar (kota di Kurdistan, Iran) keti­ka menduduki­ jabatan sebagai hakim. Oleh karena­ itulah namanya kemudian dinisbahkan dengan kota itu.

Dalam bidang hadis ia berguru dan meriwayatkan­ hadis dari Abu Ya‘qub Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim al-Hanzali al-Marwazi (w. 238 H/853 M; teolog Suni, murid Imam Hanbali) yang terkenal dengan nama Ibnu Rahawaih al-Marwazi, Muhammad bin Ziyad az-Ziyadi, Abu al-Kattab Ziyad bin Yahya al-Hassani, Muhammad bin Yahya al-Qati, Ahmad bin Khalil, Muhammad bin Ubaid, Abu Mas‘ud ad-Da-rimi, dan Husain bin Hasan al-Marwazi.

Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang produktif­ karena meninggalkan banyak karangan dalam berbagai bidang ilmu keislaman, antara lain: Adab al-Katib (Adab Penulis), al-Ma‘arif (Ilmu Pengetahuan),­ Garib al-Qur’an (Kosakata Asing dalam Al-Qur’an), Garib al-hadits (Kosakata Asing dalam­ Hadis), ‘Uyun al-Akhbar (Tokoh Sejarah),­ Ta’wil Musykil al-Qur’an (Takwil Kalimat Muskil dalam Al-Qur’an), Ta’wil Mukhtalif al-hadits (Takwil Ha­dis yang Bertentangan), Tabaqat asy-Syu‘ara’ (Ti

ngkatan­ para Penyair), al-Asyribah (Minuman),­ Islah al-Mantiq (Pem­baruan Logika), at-Tafqih (Pemahaman), Kitab al-Khail (Kitab Kawanan­ Kuda), I‘rab al-Qur’an (Ikrab Al-Qur’an), Kitab al-Anwa‘ (Kitab Perlawanan), Kitab al-Ma­sa’il wa al-Ajwiba (Kitab Soal Jawab), Kitab al-Muyassar wa al-Qadah (Kitab yang Memudahkan dan Pendahuluan), dan Jami‘ al-Fiqh (Kumpulan Fikih).

Selain aktif menulis, ia juga aktif mengajarkan ilmu dan membacakan karyanya di Baghdad sampai­ akhir hayatnya. Di antara muridnya ada Ahmad (putranya sendiri), Ubaidullah bin Abdurrahman as-Sukari (w. 323 H/935 M), Ibrahim bin Muhammad bin Ayub as-Saig (w. 313 H/925 M), Ubaidullah bin Ahmad bin Bakir at-Tamimi, dan Ibnu Durustawaih (ahli hadis dan nahu; 871–957). Putranya, Ahmad, yang mewarisi kesungguh­an­ dan semangatnya, kemudian menjadi seorang ahli fikih dan kadi di Mesir.

Karena ia seorang perawi hadis, banyak ulama yang melakukan jarh wa ta‘dil (tinjauan terhadap otoritas seorang perawi dalam meriwayatkan hadis, apakah cacat atau tidak) terhadapnya. Ada ulama yang menilainya sebagai cacat. Hakim an-Naisaburi menilainya dengan keras dan menga­takan, “Umat sepakat menilainya sebagai pembohong.” Tetapi jauh lebih banyak ulama yang justru menilainya positif. Husein az-Zahabi (kritikus hadis) membe­lanya dengan mengatakan,

“Saya tidak pernah mengetahui ada orang yang mer-agukan kebenaran penukilan­ al-Qutaibah. Tidak pernah umat bersepakat­ terhadap kebohongan seseorang, kecuali terhadap Dajal dan Musailimah.”

Tetapi, az-Zahabi juga mengatakan dalam bukunya Mizan al-I‘tidal (Neraca Keseimbangan) bahwa ia mengarang ba­nyak karya, tetapi meriwayatkan­ sedikit hadis. Al-Khatib al-Baghdadi (ahli hadis dan sejarah, 1002–1071) menye­butkan, “Ia seorang ahli dalam bahasa Arab, sejarah, dan dikenal sebagai seorang yang warak (taat beragama).” Al-Baihaki (ahli ha­dis) mengatakan, “Ia seorang yang mendapat *ka­ramah.” Ibnu Khallikan mengatakan, “Ia seorang ahli nahu yang dapat di­ percaya.” Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Ketokohannya­ dalam bidang hadis setara dengan ketokohan al-Jahiz dalam aliran Muktazilah. Kalau al-Jahiz adalah seorang propagandis aliran Muktazilah, ia ada-lah propagandis sunah. Dia adalah seorang imam dan ulama terkemuka, yang pada masanya terbaik dalam tulis-menulis. Karya tulisnya­ mencapai tiga ratus buah.”

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa ia condong kepada Mazhab Hanbali­. Ibnu Qutaibah mengatakan­ bahwa ia pernah condong kepada pendapat antropomorfisme Tuhan, tetapi kemudian ia menjauhinya­. Ibnu Qutaibah adalah seorang juru bicara ahlusunah waljamaah, karena ia seorang­ ulama yang berpegang­ pada sunah dan membelanya ketika mendapat­ serangan gencar. Pada masa hayatnya, di pusat negara Islam Abbasiyah, Baghdad, berkembang banyak aliran pemikiran selain pemikiran Islam, antara lain:

(1) budaya Yunani yang masuk melalui kegiatan penerjemahan,­

(2) budaya Persia yang membawa masuk pemikiran­ ateis, dan

(3) budaya asli Arab yang sudah bercampur dengan banyak budaya asing. Ibnu Qutaibah dalam hal ini memilih jalannya sendiri, yaitu berada dalam golongan ahlusunah, yang ter-pengaruh oleh pendekatan ahli hadis.

Pertempuran pemikiran ini terlukis dalam karyanya yang berjudul­ Kitab Ta’wil Mukhtalif al-hadits. Kitab ini adalah hasil karya teologis­ terpenting­ Ibnu Qutaibah dan sekaligus cerminan zamannya,­ yakni pembelaannya terhadap­ sunah (hadis) dari serangan “musuh” Islam.

Buku ini telah diterbitkan­ oleh Penerbit­ Dar al-Kitab al-‘Arabi di Libanon dan Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah di Cairo, Mesir. Kemudian­ Abdul Qadir Ahmad Ata (seorang ilmuwan mo­dern) menyunt­ing, memberi catatan kaki (dengan menambahkan sumber pengambilan hadis), dan me­nentukan peringkat (kuat atau lemahnya) hadis-hadis yang dimaksud.

Dalam karyanya ini, ia menggambarkan gencarnya­ serangan dari “musuh Islam” demikian ia menyebut­ pembela­ aliran tersebut di atas terhadap sunah. Serangan itu, menurutnya, sempat menggoncangkan pemikiran ahlusu­nah. Musuh Islam itu bahkan rela berkorban untuk memerangi­ ahlusunah. Persoalan tidak terbatas­ pada masalah furuk, tetapi juga berkaitan dengan persoalan prinsip, seperti persoalan penciptaan Al-Qur’an, yang menjadi hangat pada masa pemerintahan khalifah­ Abbasiyah al-Ma’mun.

Menurut Ibnu Qutaibah, banyak ulama kecil yang terpengaruh. Banyak pula yang mengaku sebagai ulama untuk menjilat penguasa,­ mengikuti hawa nafsu, dan mengejar­ harta duniawi. Akibatnya, banyak bid’ah bermunculan. Namun, banyak juga tokoh ahlusunah­ yang bangkit membela kebenaran, berusaha menjauhkan­ kesesatan­ yang merasuki dan merusak agama.

Menurut Ibnu Qutaibah, hanya ulama besar­ yang tetap isti­kamah (berpendirian teguh, kon­sekuen). Mereka mam­pu menafsirkan atau mentakwil ayat yang seca­ra­ lahiriah tampak­nya­ bersifat antropomorfisme, tetapi tidak melaku­­ kannya­ secara serampangan sehingga tidak menyimpang­. Ulama besar itu termasuk dalam kategori­ ulama salaf (ulama terdahulu), yakni para sahabat dan para tabiin.

Banyak kalangan menolak hadis karena tampak ber­tentangan, di samping banyaknya hadis palsu dan adanya keraguan terhadap para sahabat dan tabiin. Dalam buku tersebut­ Ibnu Qutaibah “mendamaikan”­ hadis yang secara tekstual tampak bertentangan. Menurutnya,­ hadis itu perlu ditafsirkan sedemikian rupa sehingga pertentangan tidak terjadi.

Ia menguraikan hadis tanpa terlihat adanya pemak­ saan­ sehingga dapat dipahami­ dan diterima tanpa harus membuang salah satu di antaranya. Dalam buku tersebut­ ia juga memasukkan pembelaan terhadap pandangan hadis yang menggambarkan Tuhan secara antropomorfisme­.

Golongan inkarsunah menamakan dirinya “Pengikut Al-Qur’an” (al-Qur’aniyyun). Bagi me­reka, sunah bukan hujah karena Al-Qur’an mam­pu menjelaskan diri dan sega­la sesuatu. Mereka bahkan juga menolak hadis mutawatir karena, menurut­ pandangan mereka, salurannya adalah ma­ nusia yang tidak luput dari kesalahan. Mereka yang menolak ter­utama berasal dari golongan Muktazilah, di sam­ping golongan Khawarij, golongan Murji’ah, golongan Rafidah, Kadariyah, dan golongan al-Bada’ (Syiah).

Golongan yang juga diserang Ibnu Qutaibah adalah ahl-urra’yi, terutama dari Mazhab Hanafi. Bahkan menurut Ibnu Qutaibah, dalam kitabnya al-Ma‘rifah, Imam Malik termasuk golongan ahlurra’yi karena menolak­ hadis yang mengharamkan segala burung yang bercakar,­ dengan alasan berlawanan dengan zahir (tampak lahir) Al-Qur’an surah al-An‘Îm (6) ayat 45.

Ibnu Qutaibah juga menyerang ahli kisah pada masanya karena banyak di antara mereka yang membuat riwayat dan hadis­ palsu hanya untuk mem­buat ceritanya menarik orang awam. Padahal di kalangan ahlusunah, posisi hadis terhadap Al-Qur’an menurutnya sudah jelas, yaitu menerangkan,­ memperinci, menguatkan, dan bahkan dapat pula menambahkan. Menurut ahlusunah, orang yang hanya menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman dan menolak­ hadis adalah­ kafir.

 

Daftar Pustaka

al-Daynuri, Ibnu Qutaibah. Kitab Ta’wil Mukhtalaf al-hadits. Beirut: Muassasah al-Kutub as-Saqafiyah, 1988.

Kahhalah, Umar Rida. Mu‘jam al-Mu’allifin: Tarajum Musannifi al-Kutub al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1976.

Badri Yatim