Ibnu Mas’ud

(antara 27 dan 28 SH/596 M–Madinah, 32–33 H/654 M)

Ibnu Mas‘ud adalah seorang sahabat Nabi SAW yang dikenal sebagai perawi hadis dan pengurus baitulmal di Kufah. Ia termasuk as-Sabiqun al-Awwalun (golongan pertama masuk Islam). Imam Nawawi (tokoh hadis) menyebutnya “sahabat anak sahabat”. Ibnu Mas‘ud berasal dari keluarga sederhana; ibunya pelayan Nabi SAW dan ia gembala. Ia hijrah bersama Nabi SAW ke Madinah, dan ikut dalam Perang Badar serta Uhud.

Ibnu Mas‘ud (nama lengkap: Abdullah bin Gafil bin Syamakh bin Fa‘r bin Makhzum bin Sahilah bin Kahil bin al-Haris bin Tamim bin Sa‘d bin Huzail bin Mas‘ud) pernah bersumpah setia dengan Bani Zuhrah yang dijanjikan surga oleh Nabi SAW. Ia berasal dari keluarga yang berstatus sosial rendah yang tinggal di Mekah.

Pada mulanya ia menggembala kambing milik Uqbah bin Abi Mu‘ait. Setelah itu Sa‘d bin Abi Waqqas (sahabat Nabi SAW, termasuk yang pertama-tama masuk Islam, wafat antara 51 H/671 M–58 H/678 M dalam usia 80 tahun) memasukkannya sebagai maula (di bawah perlindungan) Bani Huzail.

Ibunya bernama Umm Abdillah binti Abu Dawud yang, sebagaimana Ibnu Mas‘ud, termasuk golongan pertama yang masuk Islam (as-Sabiqun al-Awwalun). Itulah sebabnya mengapa Imam Nawawi, seorang tokoh hadis, menyebutnya sebagai “sahabat anak sahabat”.

Ibnu Mas‘ud yang diberitakan lebih dulu masuk Islam daripada Umar bin Khattab adalah orang pertama yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras di Mekah walaupun­ sahabat lain mencegahnya mengingat ia tidak mempunyai­ keluarga­ yang bersedia menolongnya apabila diperlakukan­ kasar oleh orang lain.

Apa yang dikhawatirkan­ para sahabat itu memang benar terjadi karena­ ia disiksa oleh musyrikin Quraisy. Untung kemudian­ Rasulullah SAW mempersaudarakannya dengan Zubair bin Awwam (salah seorang sahabat, muhajirin dari Mekah), dan setelah hijrah ia dipersaudarakan­ dengan Sa‘ad bin Mu‘az (salah seorang­ sahabat Nabi SAW, kepala suku Aus di Madinah)­.

Di Madinah, ia tinggal di suatu tempat di bela­kang masjid Nabi SAW. Ia dan ibunya sering keluar­-masuk rumah Nabi SAW, sampai-sampai banyak­ orang mengira bahwa ia termasuk anggota keluarga­ Nabi SAW. Padahal ia hanya seorang pelayan Nabi SAW. Ia termasuk salah seorang dari sekelompok kecil muslim yang hijrah ke Abessinia (Habasyah) bersama Miqdad bin Amr (sahabat, muhajirin, asal Mekah) yang kemudian menjadi teman akrabnya. Setelah itu ia juga ikut hijrah ke Madinah beserta Nabi SAW, dan ikut dalam Perang Badar dan Perang Uhud.

Ketika berlangsung Perang Riddah (11 H/632 M), ia memberi pertolongan yang dibutuhkan para korban de­ngan mendirikan kemah di Madinah. Ia juga ambil bagian dalam Perang Yarmuk (15 H/636 M), di mana ia diberi kepercayaan untuk mengawal harta rampasan. Pada saat Irak ditundukkan, ia mendapat bagian sebidang tanah di negeri itu. Ia juga hadir ketika kota Kufah didirikan oleh Sa‘d bin Abi Waqqas, tetapi segera kembali ke Suriah.

Di tempat terakhir ini ia diberi kepercayaan memimpin misi militer dan diplomatik ke Hims. Pada waktu kembali ke Irak, ia mengikuti pasukan tentara. Waktu itu dialah­ yang menjamin terjalinnya hubungan baik antara koloni non-Arab di Kufah dan pemerintahan pusat di Madinah.

Pada 21 H/643 M ia mulai menetap permanen di Kufah. Umar memang mengirimnya­ ke sana untuk mengatur Baitulmal (perbendaharaan) sambil mengajar masalah agama. Banyak orang datang kepadanya untuk menimba­ ilmu dan Ibnu Mas‘ud memang dikenal mengua­sai­ ilmu Al-Qur’an dan sunah. Dalam pada­ itu diberitakan­ bahwa sepeninggal Umar bin Khattab, Khalifah Usman yang menggantikan Umar memecat Ibnu Mas‘ud dari jabatannya di Kufah.

Tatkala mendengar berita pemecatan ini, masyarakat­ luas ingin mempertahankan­ Ibnu Mas‘ud pada jabatan­ semula. Akan tetapi, Ibnu Mas‘ud berkata kepada mereka, “Adalah kewajib­anku untuk taat. Saya tidak ingin menjadi orang pertama yang berbuat kerusuhan­.”

Akhirnya Ibnu Mas‘ud pun kembali ke Madinah dan meninggal di sana sebagai tahanan rumah pada 32 H/654 M atau 33 H/655 M dalam usia 60 tahun lebih. Ia dimakamkan di Lembah al-Garqad. Na­mun demikian, ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Ibnu Mas‘ud meninggal di Kufah.

Ibnu Mas‘ud telah memberikan sumbangan be­sar bagi perkembangan ilmu keislaman, khususnya­ hadis. Memang sulit untuk merekonstruksi pengajaran Ibnu Mas‘ud selama itu, karena suasana­ tak menentu yang menguasai sumber sejarah waktu itu. Akan tetapi, bekas pengajarannya­ dapat ditemukan dalam ilmu hadis, demikian juga sistem pembacaan Al-Qur’an yang dikembangkannya, di samping pemikirannya tentang tafsir Al-Qur’an.

Dalam ilmu hadis, ia disebut-sebut meriwayatkan sekitar 848 hadis. Hadisnya itu ada yang diterimanya langsung dari Nabi SAW dan ada pula yang melalui sahabat, khususnya­ dari Umar dan Sa‘ad bin Mu‘az. Hadisnya diriwayatkan dua orang putranya, Abdurrahman dan Abu Ubaidah, juga putra saudaranya, Abdullah bin Uqbah,­ di samping istrinya, Zaenab.

Para ahli hadis dari Kufah sangat mempercayai Ibnu Mas‘ud dan bangga dengan kebesarannya itu. Akan tetapi, ahli hadis dari daerah lain hampir tidak ada yang meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas‘ud. Dalam sanad­ (jalan periwayatan) hadis yang berasal darinya memang terdapat nama rawi yang diragukan sebagian orang. Namun demikian,­ hadis Ibnu Mas‘ud itu disinyalir banyak digunakan al-Ghazali dalam karyanya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din.

Dalam hal tafsir Al-Qur’an, Ibnu Mas‘ud dipandang sebagai penganut takwil. Cara berpikir Ibnu Mas‘ud sangat dekat dengan yang umum berlaku di kalangan ahlulbait (ahl al-bait), dan tidak mengikuti keluarga Usman.

Daftar Pustaka

Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Fikr, 1965.

Ibnu Sa‘d. at-Tabaqat al-Kubra. Beirut: Nasyr wa Dar as-Sadir, 1376 H/1956 M.

Zakaria, Maulana Muhammad. Kisah-Kisah Para Sahabat. Pulau Pinang: Dewan Pakistan, 1979.

Badri Yatim