Al-Waqidi

(Madinah, 130 H/748 M–Baghdad, 207 H/823 M)

Al-Waqidi adalah seorang­ ahli hadis, ahli fikih, pengembara, dan sejarawan Arab terkenal. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar al-Waqidi al-Aslami. Sejak berusia muda, ia sudah bergelut menuntut ilmu, dan menulis sekitar 30 judul buku, khususnya tentang sejarah.

Al-Waqidi mengembara dari satu kota ke kota lainnya untuk mencari para ilmuwan yang bisa dijadikan tempat berguru, terutama dari kalangan tabiin. Pengembaraannya berkisar di Mekah, Madinah, Ta’if, Jiddah, kota-kota Syam (Suriah),­ Baghdad, dan lain-lain.

Gurunya adalah para ahli hadis dan fikih, seperti Muhammad bin Ajlan, Ibnu Juraij (w. 150 H/767 M), Ma‘mar bin Rasyid, Ibnu Abi Zi‘b, Aflah bin Humaid al-Auza’i, Imam Malik (w. 179 H/795 M), dan Sufyan as-Sauri (w. 161 H/778 M) di kota Madinah.

Setelah tumbuh menjadi ulama hadis, para penuntut ilmu datang kepadanya untuk bel­ajar dan meriwayatkan hadis-hadisnya, seperti para ahli hadis berikut: Muhammad bin Sa‘ad (sekretarisnya­ sendiri), Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Yahya al-Azdi, Muhammad bin Syuja‘ as-Salji, Abu Bakar as-Sagani, dan Muhammad bin Faraj al-Azraq.

Dalam pengembaraannya mencari hadis, ia sampai­ ke Baghdad pada 180 H. Dari sana ia berangkat ke Suriah, kemudian kembali ke Baghdad. Setelah menetap di Baghdad, ia diangkat menjadi kadi (hakim) oleh khalifah Abbasiyah Harun ar-Rasyid dan kemudian al-Ma’mun. Ia terus menangani persoalan peradilan sampai ia wafat.

Kepustakaan pribadinya penuh dengan buku. Pada waktu ia pindah tempat tinggal di kota Baghdad, buku-bukunya diangkut dengan 120 ekor unta.

Ia seorang ulama yang produktif. Menurut Ibnu Nadim di dalam kitabnya al-Fihris, ia me­ninggalkan sekitar 30 judul buku dalam berbagai bidang ilmu, seperti ulumul Qur’an, hadis, fikih, dan sejarah. Akan tetapi sebagian besar bukunya membahas peristiwa­ sejarah.

Karyanya banyak di­kutip oleh muridnya yang sejarawan, Ibnu Sa‘d (w. 230 H/844 M) dan Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari. At-Tabari mengutip pendapatnya­ di 317 tempat di dalam buku sejarahnya Tarikh at-Tabari, yaitu yang menyangkut biografi Nabi SAW, perang-perang Nabi SAW, dan sejarah kekhali­fa­han­ sampai 179 H.

Kutipan para sejarawan sesudahnya membuktikan­ bahwa al-Waqidi pernah menulis buku tentang:

(1) kabilah-kabilah Arab pra-Islam,

(2) seja­rah­ dakwah Nabi SAW,

(3) wafatnya Nabi SAW,

(4) peristiwa Saqifah (pertemuan Kaum Ansar dan Kaum Muhajirin di Balairung Bani Saidah untuk menentukan kepemimpinan setelah Rasulul­lah SAW wafat) dan pembaiatan­ Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah,

(5) Perang Riddah (632),

(6) ekspan­si Islam ke Suriah dan Irak,

(7) terbunuhnya­ Usman bin Affan, tentang Perang Jamal (656) dan Perang Siffin,

(8) tentang sejarah gubernur­ dan kadi (hakim) Kufah dan Basrah, se­macam­ kitab Tabaqat (buku kumpulan biografi tokoh),­

(9) masalah yang berhubungan dengan kota-kota dan lembaga-lembaga keislaman, dan

(10) sejarah­ khalifah­ sampai 179 H/795 M yang berjudul at-Tarikh al-Kabir (Sejarah Besar).

Tidak ada karya al-Waqidi itu yang sampai ke generasi sekarang kecuali al-Magazi (Peperangan) yang me­rupakan bagian dari karyanya tentang biografi Nabi SAW (as-sirah). Dalam­ karyanya ini, ia memaparkan­ perang-perang yang langsung dipimpin­ Nabi SAW sendiri (gazwah) dan bebe­rapa peperangan yang dipimpin para sahabat sebagai komandan perang (sariyyah).

Dalam metode penulisannya, seperti tampak dari karya­nya al-Magazi, ia menyebutkan sumber-sumber periwayatan seca­ra­ umum saja. Di dalam muka­dimah­ kitabnya ini, ia menyebutkan nama-nama perawi yang dijadikan­nya­ sandaran. Oleh karena itu, ketika ia menerang­kan­ satu peristiwa perang, ia cukup mengatakan­ qalu (mereka berkata)­. Tetapi, di lain kesempatan,­ ia membuka pembahasan tentang ghazwah atau sariyah dengan menyebut sanad-sanadnya.

Peristiwa-peristiwa itu disusunnya secara krono­logis. Setiap ghazwah dan sariyah dijelaskan dengan menyebut­ kan panglima perangnya, masa terjadinya,­ lokasi geografis terjadinya perang, dan hasil yang dicapai dalam peperangan­.

Ia juga bahkan menerangkan nama-nama sahabat yang menafkahkan­ hartanya untuk keperluan perang, orang-orang yang diajak Nabi SAW bermusyawarah meme­cahkan­ persoalan perang, orang-orang yang tertawan dan terbu­nuh sebagai pahlawan dari kalang­an­ umat Islam dan dari pihak musuh, para sahabat yang ditugaskan mewakili Nabi SAW di Madinah ketika Nabi SAW keluar memimpin peperangan, serta ayat Al-Qur’an yang turun berkenaan dengan perang yang bersangkutan dengan sedikit penafsiran­ umum. Bagian ini ditutupnya dengan kesim­pulan bahwa ghazwah terjadi 27 kali, sementara sariyah 47 kali.

Dalam metode penulisannya, ia berusaha mele­paskan corak penulisan sejarah dari corak penulis­an hadis. Oleh karena itulah ia tidak begitu “taat” menggunakan metode isnad, sebagaimana­ yang berla­ku­ dalam periwayatan hadis. Peristiwa sejarah dipaparkannya­ dengan metode­ naratif.

Dalam periwayatan hadis, namanya kurang be­gitu populer. Ada yang menilainya sebagai dapat dipercaya dan ada juga yang menganggap hadisnya sebagai tidak kuat. Al-Khatib al-Baghdadi (abad ke-4 H), seorang sejarawan­ dari Baghdad, mengata­kan bahwa di dalam hadis yang diriwayatkan al-Waqidi tercampur antara yang sahih dan yang maudhu‘ (palsu), sehingga para ahli hadis tidak be­gitu memperhatikan hadisnya.

Imam Bukhari berkata­ tentang al-Waqidi, “Para ahli hadis tidak mem­perhatikan hadisnya.” Imam Hanbali tidak mau meriwayatkan­ hadisnya­. Imam Muslim berkata, ”Hadis-hadisnya ditinggalkan orang.” Dan an-Nasa’i menganggapnya tidak dapat dipercaya. Akan tetapi­ Muhammad bin Salam al-Jamhi, seorang ahli hadis, menyatakan,­ “Al-Waqidi adalah seorang alim pada masanya.” Ibrahim al-Harbi, juga seorang ahli hadis, menilainya dengan berkata,

“Al-Waqidi adalah­ seorang yang dapat dipercaya di kalangan umat Islam. Ia termasuk seorang yang paling mengetahui masalah-masalah keagamaan Islam. Tidak ada perkara jahiliah yang ditemukan di dalam dirinya.”

Ada dua penilaian, baik dan buruk, tentang hadis yang diriwayatkan­ oleh al-Waqidi. Hal ini disebabkan oleh karena al-Waqidi sendiri mempunyai dua dimensi keahlian,­ yakni sebagai ahli hadis dan sebagai ahli sejarah. Sebagai ahli hadis, riwayatnya dipandang lemah oleh ulama yang memberlakukan seleksi­ ketat karena hadis merupakan sumber agama.

Akan tetapi, riwayat sejarah dan biografi dipandang­ sebagai sesuatu yang dapat dipercaya karena dalam hal ini ulama memang tidak begitu ketat menyeleksi atau menentukan kriteria riwayat yang dapat di­terima. Riwayat tidak menjadi hujah dalam agama Islam. Namun, apabila kemudian riwayat sejarah tersebut ternyata bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, tentu saja orang-orang kemudian lebih berpalin­g­ pada perawi yang lebih kuat dari yang sebelumnya.

Daftar Pustaka

Duri, Abdul Aziz. The Rise of Historical Writing among the Arabs. Princeton: Princeton University Press, 1983.
Kasyif, Sayidah Ismail. Masadir at-Tarikh al-Islami wa Manahij al-Bahts fih. Cairo: Maktabah al-Khanji, 1976.
Margoliouth, D.S. Lectures on Arabic Historians. New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1977.
as-Silmi, Muhammad Shamil al-‘Alyani. Manhaj Kitabah at-Tarikh al-Islami. Riyadh: Dar Thibah li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1986.
Usman, Muhammad Fathi. al-Madkhal ila at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1988.

Badri Yatim