Al-Waqidi adalah seorang ahli hadis, ahli fikih, pengembara, dan sejarawan Arab terkenal. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar al-Waqidi al-Aslami. Sejak berusia muda, ia sudah bergelut menuntut ilmu, dan menulis sekitar 30 judul buku, khususnya tentang sejarah.
Al-Waqidi mengembara dari satu kota ke kota lainnya untuk mencari para ilmuwan yang bisa dijadikan tempat berguru, terutama dari kalangan tabiin. Pengembaraannya berkisar di Mekah, Madinah, Ta’if, Jiddah, kota-kota Syam (Suriah), Baghdad, dan lain-lain.
Gurunya adalah para ahli hadis dan fikih, seperti Muhammad bin Ajlan, Ibnu Juraij (w. 150 H/767 M), Ma‘mar bin Rasyid, Ibnu Abi Zi‘b, Aflah bin Humaid al-Auza’i, Imam Malik (w. 179 H/795 M), dan Sufyan as-Sauri (w. 161 H/778 M) di kota Madinah.
Setelah tumbuh menjadi ulama hadis, para penuntut ilmu datang kepadanya untuk belajar dan meriwayatkan hadis-hadisnya, seperti para ahli hadis berikut: Muhammad bin Sa‘ad (sekretarisnya sendiri), Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Yahya al-Azdi, Muhammad bin Syuja‘ as-Salji, Abu Bakar as-Sagani, dan Muhammad bin Faraj al-Azraq.
Dalam pengembaraannya mencari hadis, ia sampai ke Baghdad pada 180 H. Dari sana ia berangkat ke Suriah, kemudian kembali ke Baghdad. Setelah menetap di Baghdad, ia diangkat menjadi kadi (hakim) oleh khalifah Abbasiyah Harun ar-Rasyid dan kemudian al-Ma’mun. Ia terus menangani persoalan peradilan sampai ia wafat.
Kepustakaan pribadinya penuh dengan buku. Pada waktu ia pindah tempat tinggal di kota Baghdad, buku-bukunya diangkut dengan 120 ekor unta.
Ia seorang ulama yang produktif. Menurut Ibnu Nadim di dalam kitabnya al-Fihris, ia meninggalkan sekitar 30 judul buku dalam berbagai bidang ilmu, seperti ulumul Qur’an, hadis, fikih, dan sejarah. Akan tetapi sebagian besar bukunya membahas peristiwa sejarah.
Karyanya banyak dikutip oleh muridnya yang sejarawan, Ibnu Sa‘d (w. 230 H/844 M) dan Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari. At-Tabari mengutip pendapatnya di 317 tempat di dalam buku sejarahnya Tarikh at-Tabari, yaitu yang menyangkut biografi Nabi SAW, perang-perang Nabi SAW, dan sejarah kekhalifahan sampai 179 H.
Kutipan para sejarawan sesudahnya membuktikan bahwa al-Waqidi pernah menulis buku tentang:
(1) kabilah-kabilah Arab pra-Islam,
(2) sejarah dakwah Nabi SAW,
(3) wafatnya Nabi SAW,
(4) peristiwa Saqifah (pertemuan Kaum Ansar dan Kaum Muhajirin di Balairung Bani Saidah untuk menentukan kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat) dan pembaiatan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah,
(5) Perang Riddah (632),
(6) ekspansi Islam ke Suriah dan Irak,
(7) terbunuhnya Usman bin Affan, tentang Perang Jamal (656) dan Perang Siffin,
(8) tentang sejarah gubernur dan kadi (hakim) Kufah dan Basrah, semacam kitab Tabaqat (buku kumpulan biografi tokoh),
(9) masalah yang berhubungan dengan kota-kota dan lembaga-lembaga keislaman, dan
(10) sejarah khalifah sampai 179 H/795 M yang berjudul at-Tarikh al-Kabir (Sejarah Besar).
Tidak ada karya al-Waqidi itu yang sampai ke generasi sekarang kecuali al-Magazi (Peperangan) yang merupakan bagian dari karyanya tentang biografi Nabi SAW (as-sirah). Dalam karyanya ini, ia memaparkan perang-perang yang langsung dipimpin Nabi SAW sendiri (gazwah) dan beberapa peperangan yang dipimpin para sahabat sebagai komandan perang (sariyyah).
Dalam metode penulisannya, seperti tampak dari karyanya al-Magazi, ia menyebutkan sumber-sumber periwayatan secara umum saja. Di dalam mukadimah kitabnya ini, ia menyebutkan nama-nama perawi yang dijadikannya sandaran. Oleh karena itu, ketika ia menerangkan satu peristiwa perang, ia cukup mengatakan qalu (mereka berkata). Tetapi, di lain kesempatan, ia membuka pembahasan tentang ghazwah atau sariyah dengan menyebut sanad-sanadnya.
Peristiwa-peristiwa itu disusunnya secara kronologis. Setiap ghazwah dan sariyah dijelaskan dengan menyebut kan panglima perangnya, masa terjadinya, lokasi geografis terjadinya perang, dan hasil yang dicapai dalam peperangan.
Ia juga bahkan menerangkan nama-nama sahabat yang menafkahkan hartanya untuk keperluan perang, orang-orang yang diajak Nabi SAW bermusyawarah memecahkan persoalan perang, orang-orang yang tertawan dan terbunuh sebagai pahlawan dari kalangan umat Islam dan dari pihak musuh, para sahabat yang ditugaskan mewakili Nabi SAW di Madinah ketika Nabi SAW keluar memimpin peperangan, serta ayat Al-Qur’an yang turun berkenaan dengan perang yang bersangkutan dengan sedikit penafsiran umum. Bagian ini ditutupnya dengan kesimpulan bahwa ghazwah terjadi 27 kali, sementara sariyah 47 kali.
Dalam metode penulisannya, ia berusaha melepaskan corak penulisan sejarah dari corak penulisan hadis. Oleh karena itulah ia tidak begitu “taat” menggunakan metode isnad, sebagaimana yang berlaku dalam periwayatan hadis. Peristiwa sejarah dipaparkannya dengan metode naratif.
Dalam periwayatan hadis, namanya kurang begitu populer. Ada yang menilainya sebagai dapat dipercaya dan ada juga yang menganggap hadisnya sebagai tidak kuat. Al-Khatib al-Baghdadi (abad ke-4 H), seorang sejarawan dari Baghdad, mengatakan bahwa di dalam hadis yang diriwayatkan al-Waqidi tercampur antara yang sahih dan yang maudhu‘ (palsu), sehingga para ahli hadis tidak begitu memperhatikan hadisnya.
Imam Bukhari berkata tentang al-Waqidi, “Para ahli hadis tidak memperhatikan hadisnya.” Imam Hanbali tidak mau meriwayatkan hadisnya. Imam Muslim berkata, ”Hadis-hadisnya ditinggalkan orang.” Dan an-Nasa’i menganggapnya tidak dapat dipercaya. Akan tetapi Muhammad bin Salam al-Jamhi, seorang ahli hadis, menyatakan, “Al-Waqidi adalah seorang alim pada masanya.” Ibrahim al-Harbi, juga seorang ahli hadis, menilainya dengan berkata,
“Al-Waqidi adalah seorang yang dapat dipercaya di kalangan umat Islam. Ia termasuk seorang yang paling mengetahui masalah-masalah keagamaan Islam. Tidak ada perkara jahiliah yang ditemukan di dalam dirinya.”
Ada dua penilaian, baik dan buruk, tentang hadis yang diriwayatkan oleh al-Waqidi. Hal ini disebabkan oleh karena al-Waqidi sendiri mempunyai dua dimensi keahlian, yakni sebagai ahli hadis dan sebagai ahli sejarah. Sebagai ahli hadis, riwayatnya dipandang lemah oleh ulama yang memberlakukan seleksi ketat karena hadis merupakan sumber agama.
Akan tetapi, riwayat sejarah dan biografi dipandang sebagai sesuatu yang dapat dipercaya karena dalam hal ini ulama memang tidak begitu ketat menyeleksi atau menentukan kriteria riwayat yang dapat diterima. Riwayat tidak menjadi hujah dalam agama Islam. Namun, apabila kemudian riwayat sejarah tersebut ternyata bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, tentu saja orang-orang kemudian lebih berpaling pada perawi yang lebih kuat dari yang sebelumnya.
Daftar Pustaka
Duri, Abdul Aziz. The Rise of Historical Writing among the Arabs. Princeton: Princeton University Press, 1983.
Kasyif, Sayidah Ismail. Masadir at-Tarikh al-Islami wa Manahij al-Bahts fih. Cairo: Maktabah al-Khanji, 1976.
Margoliouth, D.S. Lectures on Arabic Historians. New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1977.
as-Silmi, Muhammad Shamil al-‘Alyani. Manhaj Kitabah at-Tarikh al-Islami. Riyadh: Dar Thibah li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1986.
Usman, Muhammad Fathi. al-Madkhal ila at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1988.
Badri Yatim