Ibnu Ma’in, Yahya

(Naqya, Irak, 158 H/775 M–Madinah, 27 Zulkaidah 233 H/848 M)

Yahya bin Ma‘in adalah seorang ahli hadis, hafiz, dan sejarawan. Ia dikenal sebagai perawi dan kritikus hadis. Nama lengkapnya adalah Abu Zakaria Yahya bin Ma‘in bin Aun bin Ziad bin Bastam bin Abdurrahman al-Murri al-Baghdadi. Ia kemudian menetap­ di Baghdad. Ayahnya adalah petugas pajak di Rayy (Teheran). Harta warisannya ia pakai untuk periwayatan­ hadis.

Dalam bidang hadis, Ibnu Ma‘in berguru kepada­ Abdus Salam bin Harj, Abdullah bin al-Mubarak, Abdur Razzaq, Ibnu Uyainah, Waki‘, Yahya al-Qattan, Hammad bin Khalid, Abdurrahman­ bin Mahdi, Hafas bin Gayyas, Jarir bin Abdul Hamid, Hisyam bin Yusuf, Ibnu Abi Adi, Gandar, Umar bin Ab-durrahman al-Abar, Hajjaj bin Muhammad, Hatim bin Isma‘il, Isma‘il bin Mujahid, dan lain-lain.

Sebagai hasil studinya tentang hadis, Ibnu Ma‘in juga dikenal sebagai seorang ulama besar dalam­ bidang hadis. Hadis yang dihimpunnya sangat banyak­. Banyak sekali pujian-pujian yang ditujukan kepadanya­. Al-Madini berkata, “Saya tidak menemu­kan­ seorang­ ulama yang telah menulis hadis sebanyak­ yang ditulis Yahya bin Ma‘in.” Muhammad bin Nasr at-Tabrani (seorang perawi hadis) berkata, “Saya pernah mendengar bahwa ia telah menulis 1.000.000 hadis.”

Mujahid bin Musa, seorang ahli hadis, berkata,­ “Ibnu Ma‘in menulis hadis lebih lima puluh buah kitab hadis.” Maksudnya, kumpulan hadis yang di­hafal dan diriwayatkan Yahya bin Ma‘in ditulis da­lam 50 buah naskah. Tidak semuanya diriwayatkannya,­ karena yang diriwayatkannya adalah hadis yang lolos seleksi.

Karena banyaknya hadis yang dihimpun Ibnu Ma‘in, Imam Hanbali (Ahmad bin Hanbal) berkata, “Hadis-hadis yang tidak dikenal oleh Yahya bin Ma‘in tidaklah dipandang sebagai ha­dis.” Kalau Ahmad bin Hanbal sudah memujinya sedemikian rupa, dapat disimpulkan bahwa pada zamannya­ ia adalah seorang yang paling mengetahui­ hadis, karena Ahmad bin Hanbal sendiri, yang sezaman dengannya,­ adalah seorang perawi hadis besar yang dikenal dengan karyanya Musnad Ahmad Ibn hanbal.

Ibnu Ma‘in bukan hanya banyak meriwayatkan hadis, melainkan juga sangat mahir dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (seorang ahli hadis) berkata tentang ulama pada masanya,

“Ilmu (keislaman)­ bermuara kepada empat orang, yaitu kepada­ Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Ali bin al-Madini, dan Yahya bin Ma‘in. Di antara mereka, Yahyalah yang paling mengetahui sahih tidaknya hadis.”

Luasnya ilmu Yahya bin Ma‘in dalam bidang hadis dapat juga disimak­ dari pengalaman Ibnu ar-Rumi (perawi hadis) yang berkata,

“Pada saat aku sedang bersama Ahmad bin Hanbal pada suatu hari, tiba-tiba datang seseorang dan berkata,­ ‘Ya Abu Abdillah (Ahmad), lihatlah hadis-hadis ini, apakah ada di antaranya yang salah.’ Ahmad bin Hanbal kemu-dian berkata, ‘Sebaiknya Anda pergi kepada Abu Zakaria (Yahya bin Ma‘in). Dialah yang mengetahui hadis-hadis yang salah dari yang sahih.’”

Ibnu ar-Rumi juga berkata, “Pada suatu hari aku berbeda pendapat dengan Ahmad bin Hanbal tentang al-magazi (perang-perang Nabi SAW). Ahmad kemudian berkata, ‘Andaikan Yahya ada di sini, tentu dia bisa menyelesaikan persoalan ini.’”

Ibnu Ma‘in memang terkenal pada masanya sebagai­ seorang yang paling mahir membedakan hadis yang sahih dari yang daif, demikian menurut Abu Zur‘ah al-Iraqi (perawi hadis, 762 H/1361 M–826 H/1423 M).

Dalam hal ini, ulama sepakat akan keahliannya­ dalam ilmu penilaian tokoh periwayatan ha­dis, yaitu ilmu jarh wa ta‘dil (ilmu tentang cacat tidaknya hadis ditinjau dari kepribadian perawi). Dia bahkan dianggap ketat sekali dalam menilai periwayatan hadis dan ahli dalam membuka tabir kebohongan orang.

Sebagaimana layaknya seorang ulama pada masanya,­ Yahya juga mengajarkan hadis yang telah dihimpunnya itu. Akan tetapi, rupanya ia lebih banyak­ mengamalkan ilmunya melalui tulisan daripada pengajaran tatap muka. Muhammad Ibnu Sa‘d (ahli hadis abad ke-3 H) berkata, “Yahya terlalu banyak menulis hadis dan hampir-hampir tidak mempunyai kesempatan­ untuk mengajarkan hadis itu kepada orang lain.” Hadisnya kemudian diriwayatkan­ oleh tokoh besar, antara lain Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Sa‘d, Abu Khaisamah, Abu Hatim, Abu Zur‘ah, Abu Ya’la, dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.

Dalam bidang fikih, Ibnu Ma‘in dapat dikategorikan­ sebagai pengikut Mazhab Hanbali. Akan tetapi, ia tidak terlalu terikat kepada penda­pat imam mazhabnya dan berani mengembangkan pendapatnya sendiri. Oleh karena itulah, Musa bin Hamdun (ahli hadis) berkata, “Dalam masa-lah-masalah tertentu dalam bidang hukum, Yahya bin Ma‘in mempunyai pendapat sendiri, berbeda dengan­ mazhab yang dianutnya.”

Mengenai pendapat fikihnya, Abbas ad-Duri (perawi hadis) berkata, “Saya pernah mendengar Yahya bin Ma‘in berkata tentang zakat fitrah, ‘Tidak apa-apa menunaikan (memberikan) zakat fitrah dalam bentuk perak.’” Pendapat fikihnya yang lain, yang dinilai mempunyai perbedaan dengan­ pendapat ulama lainnya adalah yang mengatakan,­ “Tidak ada gunanya salat jenazah atas seseorang­ di luar negerinya.” Dia juga mengatakan,

“Tidak­ sah suatu perkawinan apabila seseorang menga­ winkan anak perempuannya dengan mahar dalam bentuk pengajaran atau pembacaan satu surah dari Al-Qur’an” dan “Tidak sempurna salat je­maah se­seorang apabila dia salat sendirian saja di belakang saf yang sudah ada.”

Ibnu Ma‘in meninggalkan banyak karangan, tetapi­ yang sempat tercatat dan sampai ke generasi sekarang tidak banyak, antara ­lain at-Tarikh wa al-‘Ilal (Sejarah dan Peristiwa)­ dan Ma‘rifah ar-Rijal (Mengenal Tokoh).

Ia meninggal di Madinah dalam perjalanan ke Mekah, sebelum sempat beribadah haji. Jenazahnya­ dimakamkan di Baqi (Madinah). Mengenai­ kematiannya,­ Ja‘far bin Muhammad bin Kazzal (seorang perawi hadis) berkisah,

“Saya bersama Yahya bin Ma‘in di Madinah­. Kemudian dia men­derita sakit yang mem­bawa ajalnya. Ketika jenazahnya­ disembahyangkan­ di Masjid Nabawi, salah seorang ulama berdoa, ‘Ya Allah, orang inilah yang melenyapkan kebohongan dari hadis-hadis Rasulullah­ SAW’.”

Daftar Pustaka

Abu Zahw, Muhammad. al-Hadits wa al-Muhadditsun Au ‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-Sunnah an-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984.
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzib at-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Ibnu Khallikan. Wafayat al-A‘yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman. Beirut: Dar as-Saqafah, t.t.
Kahhalah, Umar Rida. Mu‘jam al-Mu’allifin: Tarajum Musannifi al-Kutub al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1976.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta:­ Bulan Bintang, 1974.

Badri Yatim