Ibnu Haitam adalah seorang ahli fisika, matematika, astronomi, dan filsafat Abad Pertengahan. Ia memberi sumbangan besar bagi prinsip-prinsip optika serta peng-gunaan eksperimen ilmiah. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haitam al-Basri al-Misri. Di Barat ia dikenal dengan beberapa nama: Alhazen, Aven-nathan, dan Avenetan; tetapi yang paling terkenal adalah Alhazen.
Ibnu Haitam dibesarkan di Basrah (Irak) serta belajar matematika dan ilmu lainnya di sana. Ketika berada di Basrah ini, ia sudah menjadi orang terkenal karena ketinggi an ilmunya. Kemasyhurannya itulah yang membuat penguasa Bani Fatimiyah di Mesir pada waktu itu, al-Hakim bin Amirillah (386 H/996 M–411 H/1021 M), mengundangnya ke Mesir.
Penguasa Dinasti Fatimiyah itu mengundang Ibnu Haitam dengan maksud untuk memanfaatkan keluasan ilmu yang dimilikinya. Ia diharapkan mampu mengatur banjir Sungai Nil yang kerap kali menggenangi lahan pertanian rakyat.
Ia menerima tugas yang diberikan kepadanya dan datang ke Mesir. Ia disambut di sana dengan kebesaran. Tetapi ia gagal mengajukan rencana yang menurutnya sangat sulit dikerjakan dan merupakan hal yang sia-sia itu. Untuk melindungi dirinya dari kemurkaan penguasa, ia kemudian meninggalkan pekerjaan itu dengan berpura-pura sakit ingatan.
Tidak diketahui bagaimana kehidupannya setelah itu, yang jelas pada tahun-tahun terakhir hidupnya ia kembali ke Cairo dan bekerja sebagai ahli matematika. Sering kali untuk mendapatkan nafkah ia menyalin naskah matematika. Sisa usianya itu dilaluinya dengan tenang. Ia meninggal dunia di Cairo.
Ibnu Haitam meninggalkan hampir dua ratus karya tulis dalam berbagai cabang ilmu: matematika, fisika, astronomi, ilmu medis, dan juga filsafat. Melalui tulisannya itu dapat diketahui bahwa ia sangat mendalami berbagai macam pemikiran ilmuwan Yunani, terutama karena tulisannya itu banyak yang merupakan bahasan dan kritiknya terhadap pemikiran ilmuwan tersebut.
Tulisannya antara lain adalah: Maqalah fi Istikhraj samt al-Qiblah (dalam buku ini dia menyusun teorema kota); Maqalah fi hayat al-‘alam (mengulas astronomi); Kitab fi al-Minasit (sebuah kamus optika); Fi al-Maraya al-Muhriqah bi al-Dawa’ir (tentang cermin yang dapat membakar); Maqalah fi Daw’ al-Qamar (membahas cahaya dan gerak-gerik langit); Fi surah al-Kusuf (mengenai penggunaan camera obscura [kamar gelap] pada pengamatan gerhana matahari); ¨awahir al-hasaq (tentang gejala senja); Fi Kaifiyat al-Izlal; Fi al-Atsar alladzi fi al-Qamar; Fi adz-dzaw’; Fi al-Makan; Fi al-Ma‘lumat; Fi Misah at al-Mujassamah (al-jism) al-Mukafi; dan Fi Irtifa‘ al-Quthb, semuanya tentang fisika dan astronomi.
Hampir seluruh tulisan tersebut di atas yang berhubungan dengan disiplin ilmu fisika dan matematika yang sangat dikuasainya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa.
Dalam bidang astronomi, Ibnu Haitam melanjutkan pendapat ilmuwan Yunani tentang proses pengubahan langit abstrak menjadi benda padat. Dalam karya astronominya, ia juga melukiskan gerak planet, tidak hanya dalam term eksentrik (aneh/ganjil) dan episiklik, tetapi juga dalam satu model fisik.
Pendapatnya ini banyak berpengaruh terhadap pemikiran dunia Kristen hingga masa Kepler (astronom Jerman; 1571–1630). Karyanya tentang astronomi ini tiga abad kemudian diturunkan dalam bentuk ikhtisar oleh astronom muslim terkenal lain, Nasiruddin at-Tusi.
Ia memberikan temuan baru dalam studi gerak, yaitu prinsip inersia/kekekalan. Jasanya yang lain adalah bahwa ia membuat studi optika menjadi sains yang baru. Ia mengubah dasar studi optika dan menjadikan studi itu disiplin yang teratur dan terumuskan secara baik. Ia berjasa mengombinasikan penanganan model fisik dan eksperimen yang teliti secara matematis yang rumit sehingga mudah dimengerti.
Dalam hal ini, ia dapat dikatakan sebagai ahli fisika teoretis dan eksperimental. Ia mengadakan eksperimen untuk menentukan gerak rektilinear cahaya, sifat bayangan, penggunaan lensa, camera obscura, dan banyak fenomena optika lainnya. Ia mempunyai mesin bubut untuk membuat lensa dan cermin lengkung.
Ia juga telah menemukan bentuk lengkung yang ditempuh cahaya ketika berjalan di udara. Berdasarkan temuannya itu, ia menetapkan bahwa kita melihat cahaya bulan dan matahari sebelum keduanya betul-betul tampak di cakrawala, sebaliknya kita masih melihatnya di barat setelah keduanya terbenam sejurus lamanya.
Temuannya yang lain adalah keberhasilannya dalam mengawinkan cermin bulat dan parabola sehingga ditemukan suatu metode untuk mendapatkan fokus. Semua sinar dikonsentrasikan pada sebuah titik sehingga merupakan sebuah cermin pembakar yang terbaik.
Temuan ilmiahnya yang terkenal ialah pendapatnya bahwa sinar cahaya bergerak mulai dari objek dan berjalan menuju ke mata. Benda akan terlihat karena ia memantulkan sinar kepada mata. Retina mata adalah tempat penglihatan dan bukan yang mengeluarkan cahaya. Pendapat ini adalah kebalikan dari Euclides dan Ptolemaeus, pemikir Yunani yang berpendapat bahwa benda terlihat karena mata memancar-kan sinar kepada benda.
Dalam bidang fisika, banyak temuannya mendahului dan diikuti oleh Leonardo da Vinci (pelukis, pematung, dan arsitek Italia; 1452–1519) dan Johannes Kepler. Sementara dalam bidang optika, Ibnu Haitam merupakan tokoh besar antara Claudius Ptolemaeus (astronom, ahli matematika, dan ahli geografi; 100–170) dan Witelo (Lat.: Vitellio), penulis terpenting optika Abad Pertengahan.
Daftar Pustaka
Arsyad, M. Natsir. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan, 1990.
Hoesin, Oemar Amin. Kultur Islam, Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern.
Jakarta: P3M, 1986.
Badri Yatim