Ibnu Asir adalah seorang sejarawan besar Islam. Nama lengkapnya Izzudin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin al-Asir al-Jaziri. Ia lahir di al-Jazirah dekat Mosul (Irak) dari sebuah keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Muham-mad, pernah menjadi wali kota al-Jazirah di bawah pemeÂrintahan Qutbuddin az-Zanki (penguasa Zanki di Mosul; 1146–1149).
Pada waktu Ibnu Asir masih kanak-kanak, keluarganya pindah ke Mosul, ibukota Dinasti Zanki. Di kota inilah ia pertama kali menuntut ilmu. SeÂtelah dewasa ia menjadi seorang pengembara, berpindah dari satu kota ke kota lain untuk menuntut ilmu. Kota yang dikunjunginya antara lain Aleppo dan Damascus (Suriah) serta Baghdad (Irak).
Di setiap kota yang disinggahinya ia belajar kepada guru terkenal, antara lain Abu al-Fadl Abdullah bin Ahmad at-Tusi (di Mosul), Abu Qasim Ya‘isy bin Sadaqah (ahli fikih Mazhab Syafi‘i di Baghdad), Abu Ahmad Abdul Wahhab bin Ali (sufi di Baghdad), dan Zainal Amna’ (di Damascus).
Banyak ilmu keislaman yang digelutinya di dalam pengembaraan ilmiahnya itu, sehingga ia mempuÂnyai keahlian dan pengetahuan dalam berbagai ilmu keislaman, terutama ilmu yang berhubungan dengan hadis dan sejarah.
Setelah banyak menuntut ilmu dalam pengembaraÂannya, ia kemudian kembali ke Mosul. Di kota ini ia menghabiskan sisa usianya untuk aktivitas ilmiah, mengajar, dan menulis. Rumahnya sering dikunjungi orang yang ingin menimba ilmu.
Ia dipandang sebagai seorang puÂjangga istana yang bertugas menafsirkan peristiwa sejarah untuk kepentingan penguasa Dinasti Zanki (521 H/1127 M–619 H/1222 M). Penguasa dinasti ini sering pula mengÂutusnya sebagai wakil ke Baghdad, ibukota Abbasiyah. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia meninggal dunia.
Ibnu Asir meninggalkan beberapa karya sejaÂrah, antara lain: (1) Usd al-Gabah fi Ma‘rifat as-sahabah (tentang para sahabat, yang disusun secara alfabetis; terbit di Cairo 1258 H/1842 M); (2) al-Lubab fi Tahdzib al-Ansab (Intisari dalam Pengajaran Silsilah Keturunan), yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Ansab (Buku tentang Silsilah KeÂturunan) karya Abdul Karim bin Muhammad as-Sam‘ani (seorang sejarawan, w. 562 H/1167 M), dengan penambahan di sana-sini; (3) Tarikh ad-Daulah al-Atabikiyyah (Sejarah Dinasti AtabikiÂyah [Zanki]); dan (4) al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah yang Lengkap).
Buku terakhir ini adalah karyanya yang paling penting dan terkenal. Buku ini diterbitkan ulang pertama kali oleh Tornberg di Leiden, BeÂlanda, dalam 12 jilid, dua jilid di antaraÂnya berisi indeks, dengan berpedoman pada beberapa manuskrip yang terdapat di Perancis, Jerman, Inggris, dan Turki. Hasil suntingan Tornberg inilah yang kemudian dicetak ulang di berbagai tempat, termasuk di Timur Tengah, dengan penyempurnaan tertentu.
Al-Kamil fi at-Tarikh merupakan sebuah buku sejarah umum yang berisi sejarah dinasti Islam, baik di bagian timur Dunia Islam maupun di Barat. Kelebihan buku ini diban dingkan buku sejarah lain, yaitu menghimpun jauh lebih banyak peristiwa sejarah ke dalam satu buku. Sejarah dunia ini dimulai dari zaman penciptaan dan berakhir pada 628 H/1231 M, dua tahun sebelum Ibnu Asir wafat.
Sebagaimana dijelaskannya dalam mukadiÂmah, ia menulis buku tersebut karena ia sangat senang mengkaji peristiwa sejarah; semakin ia mendalami sejarah, semakin tertarik hatinya untuk mengetahui lebih lanjut. Oleh karena itulah, pada masa pendidikannya, ia banyak belajar sejaÂrah dan melakukan penelitianÂ.
Ia mengatakan bahwa ia menulis apa yang ia pelajari dan teliti karena khawatir terlupakan. Peristiwa sejarah yang terjadi di setiap wilayah ia tulis dengan pendekatan hauliyyat (tahun per tahun) dengan berpedoman kepada karya sejarah setiap wilayah.
Tujuh jilid pertama banyak disandarkan atau merujuk ke-pada karya Abu Ja‘far at-Tabari (225 H/839 M–310 H/923 M) yang berjudul Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Sejarah Bangsa dan Raja), di samping buku lain seperti karya Ibnu al-Kalbi (w. 146 H/764 M), al-Mubarrad (ahli sejarah Arab pra-Islam), al-Balazuri, dan al-Mas‘udi.
Adapun dalam menulis jilid ke-8 dan seterusnya, Ibnu Asir meÂmanfaatkan hampir semua karya sejarah yang sampai ke tangannya dalam jumlah yang sangat banyak.
Dalam mengutip pendapat sejarawan tersebut di atas, Ibnu Asir sangat ketat dan teliti. Ia melakukan kritik sumber sebelumnya; hanya peristiwa sejarah yang dipandangnya benar yang dituangkanÂnya dalam bukunya itu. Peristiwa kecil yang dipandangnya tidak begitu penting tidak dituangkannya dalam bukunya.
Setelah menguraikan peristiwa sejarah dalam setiap tahun, ia kemudian menulis semacam ringkasan dari peristiwa sejarah itu. Semua wilayah Islam sampai 628 H/1231 M dibahasnya secara seimbang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karyanya ini merupakan ringkasan dari karya sejarah yang ditulis sejarawan muslim sampai 628 H/1231 M. Oleh para sejarawan, kitab ini dipandang sebagai kitab sejarah Islam yang paling penting karena paling lengkap.
Mulai jilid ke-10, karyanya ini memiliki urgensi tersendiri, karena dalam karyanya ini ia menuliskan peristiwa sejarah yang dekat dengan masa hidupnya. Peristiwa itu diÂdengarnya langsung dari sumber pertama dan sebagian lagi dialaminya langsung. Dalam karyaÂnya ini termuat secara lengkap konflik antara Barat (Kristen) dan Islam yang dikenal dengan Perang Salib.
Karya ini dinilai sebagai sumber primer dalam masalah Perang Salib. De Shane, seorang orientalis, menerbitkan bagian khusus Perang Salib itu dengan terÂjemahan bahasa Perancis dalam kumpulan karya sejarawan muslim tentang Perang Salib, yang berjudul Majmu‘ah al-hurub as-salabi-yyah (Kumpulan Karangan tentang Perang Salib).
Kumpulan karya ini terdiri dari 10 jilid, 2 jilid pertama di antaranya adalah karya Ibnu Asir. Kitab ini diterbitkan di Bulaq (India) 1290 H/1872 M dalam 12 jilid dan di Beirut oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah 1986 dalam 10 jilid.
Dalam hal Perang Salib, Ibnu Asir memusatkan per hatiannya pada kekuasaan Dinasti Zanki di Mosul sampai 607 H/1211 M dan perluasan kekuasaan orang Tartikin sampai ke Aleppo dan Damascus, kemudian kemunduran politik meÂreka hingga hanya menguasai Mosul.
Akan tetapi, berkenaan dengan riwayat kepahlawanan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dalam Perang Salib, pen jelasannya terasa aneh. Salahuddin dikatakan sebagai seorang panglima yang ambisius, yang hanya mementingÂkan keluarganya dan berÂusaha mendirikan imperium bagi keluarganya itu.
Dinasti Ayubiyah, yang didirikan Salahuddin di Mesir dan menguasai sebagian wilayah Afrika Utara dan wilayah Arab (Semenanjung Arabia dan Suriah), diÂbahasnya sampai setelah wafatnya Salahuddin, yang merupakan awal terjadinya perpecahan dalam imperium tersebut. Ada dugaan bahwa Ibnu Asir tidak begitu senang kepada Salahuddin dan sangat terpengaruh oleh kekuaÂsaan Dinasti Zanki yang dihancurkan Salahuddin.
Daftar Pustaka
al-Baghdadi, Ismail Basya. Hidayah al-‘arifin fi Asma’ al-Mu’allifin wa atsar al-Musannifin. Istanbul: Maktabah Istanbul, 1951.
Ibnu Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1977.
Kahhalah, Umar Rida. Mu‘jam al-Mu’allifin: Tarajum Musannifi al-Kutub al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1976.
Badri Yatim