Perang Salib (1096–1291) adalah serangkaian perang agama selama hampir 2 abad sebagai reaksi Kristen Eropa terhadap Islam Asia. Perang ini terjadi karena sejumlah kota dan tempat suci Kristen diduduki Islam sejak 632, seperti di Suriah, Asia Kecil, Spanyol, dan Sicilia. Militer Kristen menggunakan salib sebagai simbol yang menunjukkan bahwa perang ini suci dan bertujuan membebaskan kota suci Baitulmakdis (Yerusalem) dari orang Islam.
Penyebab Perang Salib. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya Perang Salib adalah agama, politik, dan sosial ekonomi.
Faktor Agama. Sejak Dinasti Seljuk merebut Baitulmakdis dari tangan Dinasti Fatimiyah pada 1070, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa Seljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitulmakdis.
Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang Seljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Seljuk sangat berbeda dari para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.
Faktor Politik. Kekalahan Bizantium sejak 330 disebut Constantinopel (Istanbul) di Manzikart (Malazkird atau Malasyird, Armenia) pada 1071 dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasaan Seljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comnenus (kaisar Constantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II (1035–1099; menjadi Paus 1088–1099) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah pendudukan Dinasti Seljuk.
Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan untuk dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma.
Pada waktu itu Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar terhadap raja yang berada di bawah kekuasaannya. Ia dapat menjatuhkan sanksi kepada raja yang membangkang terhadap perintah Paus dengan mencopot pengakuannya sebagai raja.
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah, sehingga orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib. Ketika itu Dinasti Seljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan, dan Dinasti Fatimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah.
Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segitiga antara khalifah Fatimiyah di Mesir, khalifah Abbasiyah di Baghdad, dan amir Umayah di Cordoba yang memproklamasikan dirinya sebagai khalifah. Situasi yang demikian mendorong para penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah kekuasaan Islam, seperti dinasti kecil di Edessa (ar-Ruha’) dan Baitulmakdis.
Faktor Sosial Ekonomi. Para pedagang besar yang berada di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Venezia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka.
Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur Eropa akan bersambung dengan rute perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut.
Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan serta kesatria, dan rakyat jelata. Meskipun merupakan mayoritas dalam masyarakat, kelompok yang terakhir ini menempati kelas yang paling rendah.
Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina; mereka harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena dan dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, ketika mereka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik apabila perang dapat dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan melibatkan diri dalam perang tersebut.
Selain stratifikasi sosial masyarakat Eropa yang memberlakukan diskriminasi terhadap rakyat jelata, pada saat itu di Eropa berlaku hukum waris yang menetapkan bahwa hanya anak tertua yang berhak menerima harta warisan. Apabila anak tertua meninggal, harta warisan harus diserahkan kepada gereja.
Hal ini telah menyebabkan populasi orang miskin semakin meningkat. Akibatnya, anak-anak yang miskin sebagai konsekuensi hukum waris yang mereka taati itu beramai-ramai pula mengikuti seruan mobilisasi umum itu dengan harapan yang sama, yakni untuk mendapatkan perbaikan ekonomi.
Periodisasi Perang Salib. Para sejarawan saling berbeda pendapat dalam menetapkan periodisasi Perang Salib. Prof. Ahmad Syalabi (penulis buku at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah atau Sejarah dan Kebudayaan Islam Mesir), misalnya, membagi periodisasi Perang Salib itu atas tujuh periode.
Sementara itu Philip K. Hitti (orientalis yang menulis buku The History of the Arabs) memandang Perang Salib berlangsung terus-menerus dengan kelompok yang bervariasi, terkadang berskala besar dan tidak jarang pula berskala kecil.
Selain itu garis demarkasi antara gerakan yang satu dan lainnya tidak jelas. Meskipun demikian, Hitti berusaha membuat periodisasi Perang Salib dengan menyederhanakan pembagiannya dalam tiga periode.
Periode Pertama. Periode ini disebut periode penaklukan (1096–1144). Jalinan kerjasama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitkan semangat umat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II pada Konsili Clermont (26 November 1095).
Menurut penilaian Philip K. Hitti, pidato ini kemungkinan sekali merupakan pidato yang paling berkesan sepanjang sejarah yang telah dibuat Paus. Pidato ini bergema ke seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan.
Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang diikuti berbagai kalangan masyarakat. Hasan Ibrahim Hasan (sejarawan yang menulis buku Tarikh al-Islam atau Sejarah Islam) menggambarkan gerakan ini sebagai gerombolan rakyat jelata yang tidak mempunyai pengalaman berperang, tidak disiplin, dan tanpa memiliki persiapan.
Gerakan ini dipimpin Pierre l’Ermite. Sepanjang jalan menuju kota Constantinopel, mereka membuat keonaran, melakukan perampokan, dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria dan Bizantium. Akhirnya dengan mudah pasukan Salib dapat dikalahkan pasukan Dinasti Seljuk.
Pasukan Salib angkatan berikutnya dipimpin Godfrey of Bouillon. Gerakan kali ini lebih merupakan ekspedisi militer yang terorganisasi rapi. Mereka berhasil menduduki kota suci Palestina (Yerusalem) 7 Juni 1099.
Pasukan Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran selama lebih kurang satu minggu terhadap umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa, serta tua dan muda. Di samping itu mereka membumihanguskan bangunan umat Islam.
Sebelum pasukan ini menduduki Baitulmakdis, mereka terlebih dahulu merebut Anatolia Selatan, daerah Tarsus, Antiokia, Aleppo, dan ar-Ruha’ (Edessa). Selain itu, mereka juga berhasil merebut Tripoli, Syam (Suriah), dan Acre.
Kemenangan pasukan Salib dalam periode ini telah mengubah peta dunia Islam dan situasi di kawasan itu. Sebagai akibat dari kemenangan tersebut, berdirilah beberapa kerajaan Latin-Kristen di Timur, yaitu Kerajaan Baitulmakdis (1099) di bawah pemerintahan Raja Godfrey, Edessa (1098) diperintah oleh Raja Baldwin, dan Tripoli (1109) di bawah kekuasaan Raja Raymond.
Periode Kedua. Masa ini disebut periode reaksi umat Islam (1144–1192). Jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi mereka.
Di bawah komando Imaduddin Zangi, gubernur Mosul, kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib. Bahkan, mereka berhasil merebut kembali Allepo dan Edessa (ar-Ruha’) 1144. Setelah Imaduddin Zangi wafat 1146, posisinya digantikan putranya, Nuruddin Zangi.
Di bawah kepemimpinannya, ia meneruskan cita-cita ayahnya untuk membebaskan negara-negara Islam di Timur dari cengkeraman kaum Salib. Kota yang berhasil dibebaskannya antara lain adalah Damascus (1147), Antiokia (1149), dan kota-kota Mesir (1169).
Keberhasilan kaum muslimin meraih berbagai kemenangan, terutama setelah munculnya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitulmakdis 2 Oktober 1187, telah membangkitkan kembali semangat kaum Salib untuk mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat.
Ekspedisi ini dipimpin para raja Eropa yang besar, yaitu Frederick I (Barbarossa, kaisar Jerman), Richard I (The Lion Hearted, raja Inggris), dan Philip II (Augustus, raja Perancis).
Ekspedisi militer Salib kali ini dibagi dalam beberapa divisi. Sebagian menempuh jalan darat dan yang lainnya menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin divisi darat tewas tenggelam dalam penyeberangannya di Sungai Armenia, dekat kota ar-Ruha’. Sebagian tentaranya kembali, kecuali beberapa orang yang terus melanjutkan perjalanannya di bawah pimpinan putra Frederick.
Adapun kedua divisi lainnya yang menempuh jalur laut bertemu di Sicilia. Mereka berada di sana sampai musim dingin berlalu. Karena terjadi kesalahpahaman, akhirnya mereka meninggalkan Sicilia secara terpisah. Richard menuju Cyprus dan mendudukinya, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Syam (Suriah).
Adapun Philip langsung ke Acre. Di sana pasukannya berhadapan dengan pasukan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Tidak berapa lama kemudian, datang pula Richard dengan pasukannya yang mengakibatkan pertempuran sengit terjadi. Akhirnya kota Acre ditinggalkan pasukan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang memilih langkah mundur untuk mempertahankan kota Mesir.
Dalam keadaan demikian, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan membuat suatu perjanjian. Inti perjanjian damai tersebut adalah: daerah pedalaman akan menjadi milik kaum muslimin, dan keamanan umat Kristen yang akan ziarah ke Baitulmakdis akan terjamin, sedangkan daerah pesisir utara, Acre, dan Jaffa berada di bawah kekuasaan tentara Salib.
Tidak lama kemudian, setelah perjanjian itu disepakati, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi meninggal dunia pada Safar 589/ Februari 1193.
Periode Ketiga. Periode yang berlangsung tahun 1193 hingga 1291 ini lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran dalam pasukan Salib karena periode ini lebih disemangati ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat material daripada motivasi agama.
Tujuan utama mereka untuk membebaskan Baitulmakdis seolah-olah mereka lupakan. Hal ini dapat dilihat ketika pasukan Salib yang dipersiapkan menyerang Mesir (1202–1204) ternyata membelokkan haluan menuju Constantinopel. Kota ini direbut dan diduduki lalu dikuasai oleh Baldwin sebagai rajanya. Ia merupakan raja Roma-Latin pertama yang berkuasa di Constantinopel.
Dalam periode ini telah terukir dalam sejarah munculnya pahlawan wanita yang terkenal gagah berani, yaitu Syajar ad-Durr. Ia berhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari Perancis dan sekaligus menangkap raja tersebut.
Bukan hanya itu, sejarah mencatat bahwa pahlawan wanita gagah perkasa ini telah mampu menunjukkan sikap kebesaran Islam dengan membebaskan dan mengizinkan Raja Louis IX kembali ke negerinya, Perancis.
Meskipun menderita kekalahan dalam Perang Salib, pihak Kristen Eropa telah mendapatkan hikmah yang tidak ternilai karena mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian maju.
Bahkan, kebudayaan dan peradaban yang mereka peroleh dari Timur Islam menyebabkan lahirnya Renaisans di Barat. Mereka membawa kebudayaan dari Timur Islam ke Barat terutama dalam bidang militer, seni, perindustrian, perdagangan, pertanian, astronomi, kesehatan, dan kepribadian.
Dalam bidang militer, dunia Barat menemukan persenjataan dan teknik berperang yang belum pernah mereka temui sebelumnya di negerinya, seperti penggunaan bahan peledak untuk melontarkan peluru, pertarungan senjata dengan menunggang kuda, teknik melatih burung merpati untuk kepentingan informasi militer, dan penggunaan alat rebana dan gendang untuk memberi semangat kepada pasukan militer di medan perang.
Dalam bidang perindustrian, mereka banyak menemukan kain tenun sekaligus peralatan tenun di dunia Timur. Untuk itu mereka mengimpor berbagai jenis kain, seperti muslin, satin, dan damas dari Timur ke Barat. Mereka juga menemukan berbagai jenis parfum, kemenyan, dan getah Arab yang dapat mengharumkan ruangan.
Sistem pertanian yang sama sekali baru di dunia Barat mereka temukan di Timur Islam, seperti model irigasi yang praktis dan jenis tumbuhan dan buah-buahan yang beraneka macam. Hal yang cukup penting lainnya adalah penemuan gula.
Hubungan perniagaan dengan Timur menyebabkan mereka menggunakan mata uang sebagai alat tukar barang. Sebelumnya mereka menggunakan sistem barter. Ilmu astronomi yang dikembangkan Islam sejak abad ke-9 telah pula mempengaruhi lahirnya berbagai observatorium di dunia Barat.
Selain itu mereka meniru rumah sakit dan tempat permandian. Yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa sikap dan kepribadian umat Islam di Timur pada waktu itu telah memberikan pengaruh positif terhadap nilai kemanusiaan di Eropa yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian.