Kata iblis berasal dari ablasa, yang berati “dihukum, diam, dan menyesal”; adapun syaitan berasal dari kata syaitana yang berarti “jauh” dan syetan yang berarti “amat jauh”. Iblis dan setan adalah makhluk halus yang termasuk dalam golongan jin dan tak dapat ditangkap indra biasa. Makhluk ini diciptakan dari api dan bekerja merangsang keinginan nafsu rendah manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas” (QS.15:27); “Dan Dia menciptakan jin dari nyala api” (QS.55:15). Mengenai fungsinya, Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, sembahan manusia dari kejahatan bisikan (setan) yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manu sia” (QS.114:1–6).
Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), setiap orang mempunyai satu kawan dari golongan malaikat yang membisikkan bisikan baik serta mulia dan satu kawan dari golongan jin yang membangkit-bangkitkan nafsu rendah.
Iblis berasal dari golongan jin, Allah SWT berfirman dalam surah al-Kahfi (18) ayat 50 yang berarti:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.
Dengan demikian adalah keliru orang yang menganggap bahwa iblis termasuk golongan malaikat karena malaikat tercipta dari nur atau cahaya. Malaikat merupakan makhluk yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT, sementara iblis adalah makhluk yang pertama-tama mengingkari perintah Allah SWT. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa malaikat tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS.66:6).
Setan identik dengan iblis, tetapi dengan menyandang nama setan, ia tidak hanya membangkang perintah Tuhan sebagaimana iblis, tetapi juga sebagai penggoda manusia. Iblis sudah ada sebelum Nabi Adam AS diciptakan dan hidup dalam kalangan malaikat. Sementara setan, yang adalah iblis dengan peran dan fungsi baru itu, hidup dalam kalangan manusia dan seusia dengan mereka. Dalam kisah penciptaan Adam yang disebut adalah iblis.
Iblis tidak saja mengingkari perintah Allah SWT dan tidak mau menghormati Adam, tetapi ia pun terlibat dalam perdebatan panjang dengan Allah SWT. Tetapi kemudian, ketika Adam dan Hawa telah tergoda dengan memakan buah terlarang, yang menggoda mereka itu tidak lagi disebut iblis, melainkan setan.
Kegiatan setan untuk menggoda dan menyesatkan manusia adalah tugas iblis setelah manusia diciptakan. Ini tercermin dalam surah al-hijr (15) ayat 32–40 yang berarti:
“Allah berfirman: ‘Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?’ Berkata iblis: ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.’ Allah berfirman: ‘Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat.’ Berkata iblis: ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.’ Allah berfirman: ‘(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.’ Iblis berkata:
‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis (tulus ikhlas) di antara mereka.’”
Munculnya ‘fungsi baru’ iblis itu, setelah manusia diciptakan, menunjukkan sebuah kenyataan moral yang penting bahwa perjuangan antara kebajikan dan kejahatan merupakan tantangan bagi manusia saja. Al-Qur’an menggambarkan setan sebagai pembangkang perintah Allah SWT dan sebagai tandingan manusia, bukan sebagai tandingan Allah SWT karena Dia berada di luar jangkauannya. Manusialah yang menjadi tujuan setan dan manusialah yang dapat ditaklukkan ataupun menaklukkannya. Itulah sebabnya terus-menerus ada peringatan Al-Qur’an kepada manusia agar manusia berjuang melawan setan.
Allah SWT menciptakan manusia yang dilengkapi dengan dua nafsu:
(1) nafsu tinggi yang menyadarkan manusia akan kehidupan tinggi atau rohani,
(2) nafsu rendah yang berhubungan dengan kehidupan jasmani.
Berhubungan dengan kedua nafsu itu, Allah SWT menciptakan dua jenis makhluk, yaitu malaikat dan setan. Nafsu rendah sangat penting bagi manusia. Tetapi selama tidak terkendali dan dibiarkan berbuat semaunya, nafsu rendah itu bisa merintangi manusia dalam mencapai tingkat kehidupan tinggi. Manusia harus mengendalikan nafsu rendah itu.
Dalam pengertian seperti inilah kisah Nabi Adam AS dituangkan dalam Al-Qur’an. Mula-mula iblis menolak bersujud kepadanya dan dengan segala macam jalan setan berusaha keras menyesatkan Adam untuk membangkitkan nafsu rendahnya. Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 118–119 yang berarti:
“…Dan setan itu mengatakan: ‘Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka…’.”
Tetapi setan dikalahkan dengan bantuan wahyu Allah SWT. Siapa saja yang mengikuti wahyu Ilahi tidak akan takut pada godaan setan. Dalam Al-Qur’an dikatakan:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya…. Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS.2:37–38).
Iblis, jin, dan setan sebagai makhluk halus tercipta dari api. Akan tetapi di dalam Al-Qur’an juga terdapat kata-kata tentang jin maupun setan yang mempunyai arti manusia; setan dalam pengertian kiasan dikenakan juga bagi para pemimpin kejahatan. Berkenaan dengan masalah orang munafik, Allah SWT berfirman,
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok” (QS.2:14).
Orang munafik dalam surah ini disebut setan karena mereka amat jauh dari petunjuk Allah SWT serta jauh dari kebajikan dan kebaikan. Setan-setan itu berarti para pemimpin mereka. Lebih jelasnya bahwa setan itu dapat berbentuk manusia dapat dilihat dari firman Allah SWT yang berarti: “…yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin…” (QS.6:112).
Menurut keterangan para tabiin ahli hadis, antara lain Abu Qatadah (61 H/681 M–118 H/736 M) dan Hasan (21 H/642 M–110 H/729 M), di antara jin dan manusia itu ada yang menjadi setan. Pendapat ini diperkuat oleh dialog Abu Dar dengan Nabi SAW. Nabi SAW bersabda, “Wahai Abu Dar, apakah kamu telah memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan-kejahatan setan yang berasal dari jin dan manusia?” Lalu Abu Dar bertanya, “Ya Rasulullah, adakah pula setan-setan dari manusia?” Nabi bersabda: “Ya, benar-benar ada” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Kalau kata “setan” digunakan untuk pengertian “manusia”, kata “jin” dalam pengertian yang sama juga sudah lazim digunakan dalam perpustakaan Arab sebelum Islam. Kata “jin” juga berarti “sekumpulan orang banyak”. Menurut dialek orang Arab, yang dimaksud dengan sekumpulan orang banyak adalah dunia non-Arab.
Semua orang asing non-Arab disebut jin karena “tersembunyi” dari penglihatan mereka. Dalam pengertian inilah kata “jin” digunakan dalam Al-Qur’an sehubungan dengan kisah Nabi Sulaiman AS yang berarti:
“…Dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya…. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung…” (QS.34:12–13).
Dalam surah yang lain jin tidak disebutkan, tetapi yang disebutkan adalah setan. Dikatakan dalam Al-Qur’an surah Rad (38) ayat 37 dan 38 yang berarti: “Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu.” Jelas sekali bahwa yang membangun gedung dan menyelam di laut bukanlah makhluk halus yang tak kelihatan dan jika itu makhluk halus, maka kakinya tidak perlu dirantai (dibelenggu). Sebenarnya mereka adalah bangsa asing yang ditaklukkan Nabi Sulaiman AS dan harus menjalani kerja paksa.
Daftar Pustaka
Ibnu Kasir. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
ar-Razi, Muhammad Fakhruddin bin Umar. Tafsir al-Fakhr ar-Razi. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Badri Yatim