Hukum

(Ar.: al-Hukm)

Secara kebahasaan, al-hukm berarti “menetapkan sesuatu atas sesuatu atau tidak menetapkannya” (itsbatu syai’in ‘ala syai’in au nafyun ‘anhu); misalnya, sifat panas atas api dan dingin atas es atau tidak menetapkannya. Menurut ahli usul fikih, hukum adalah perintah Allah SWT (khithab) yang menuntut mukalaf melakukan atau tidak melakukan, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat, atau penghalang­ bagi yang lain.

Menurut istilah ahli fikih, hukum adalah efek yang timbul dari perbuatan yang diperintahkan Allah SWT. Sebagai perbandingan antara definisi ahli usul fikih dan ahli fikih tersebut perhatikan contoh berikut. Dalam Al-Qur’an surah al-‘Ankabut (29) ayat 45 ada perintah aqim as-salah (dirikanlah salat). Yang dikatakan hukum menurut ahli usul fikih adalah tuntutan untuk mendirikan salat sebagaimana tertulis pada ayat tersebut; sedangkan menurut ahli fikih, kewajiban salat itulah yang disebut hukum, pekerjaan yang merupakan efek dari tuntutan itu.

Baik ahli usul fikih maupun ahli fikih sependapat bahwa hukum terbagi atas tiga bagian: hukum taklifi (hukum pemberian beban), hukum takhyiri, dan hukum wad’i. Perbedaan di antara ketiganya terletak pada sudut pandang dengan kerangka seperti tergambar pada contoh tersebut di atas. Oleh sebab itu ada sedikit perbedaan pada istilah dalam pembagiannya.

Hukum Taklifi. Khithab (perintah) Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Umumnya ulama membagi hukum taklifi atas empat macam, yaitu ijab, nadb, tahrim, dan karahah.

Ijab. Khithab Allah SWT menuntut mukalaf untuk mengerjakan suatu perbuatan yang harus dikerjakan. Dengan kata lain, perbuatan itu fardu atau wajib, yang keduanya berarti “mendapat pahala jika dikerjakan dan mendapat siksa jika ditinggalkan”. Bedanya, menurut sebagian ahli usul fikih, fardu didasarkan pada dalil qath‘i (jelas), yaitu nas Al-Qur’an dan hadis mutawatir yang jelas tunjukannya dan tidak memerlukan interpretasi lagi, sedangkan wajib didasarkan pada hadis ahad (hadis) atau hasil ijtihad ulama.

Namun dalam pengalaman sehari-hari tidak dipersoalkan lagi perbedaan istilah tersebut. Karena itu tidak sedikit ulama usul fikih yang menyamakan atau tidak membedakan antara fardu dan wajib.

Untuk menentukan bahwa suatu khithab mengacu pada ijab sehingga berakibat perbuatan itu fardu atau wajib dapat dilihat dari bentuk kalimatnya, yakni biasanya dalam bentuk fi‘l al-’amr (kalimat perintah) yang diyakini menunjuk pada ijab (tidak semua bentuk fi‘l al-’amr menunjuk pada ijab). Bentuk lain dapat langsung menunjuk pada fardu atau wajib, misalnya dengan kalimat farada (diwajibkan berdasarkan dalil yang pasti dari teks Al-Qur’an dan hadis), wajaba (diwajibkan berdasarkan hasil pemahaman ulama atas dalil Al-Qur’an dan hadis), dan kutiba (farada). Sering kali pula digunakan kalimat berita (khabariyah) dengan makna menyuruh.

Kewajiban salat merupakan contoh perbuatan yang fardu dalam Al-Qur’an (lihat surah an-Nisa’ [4] ayat 103) dan contoh perbuatan yang wajib dalam hadis ahad, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah.” Contoh lainnya dengan kalimat berita tetapi mengandung makna perintah, seperti terlihat dalam surah al-Baqarah [2] ayat 228), adalah kewajiban idah bagi perempuan yang ditalak.

Dilihat dari segi kepada siapa kewajiban itu dibebankan, wajib dapat dibagi atas wajib ain (kewajiban individual) dan wajib kifa’i (kewajiban kolektif) atau wajib kifayah. Wajib ain adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukalaf, misalnya salat lima waktu, sedangkan wajib kifa’i adalah kewajiban yang dibebankan kepada sekelompok orang untuk melaksanakannya, misalnya menyelenggarakan pengurusan jenazah. Jika sudah dilaksanakan sebagian orang, orang lain yang tidak mengerjakannya bebas dari tuntutan; jika tidak ada yang mengerjakannya sama sekali, semua mukalaf memikul dosa.

Dilihat dari segi waktu penunaian kewajiban, wajib dibagi atas wajib mutlak dan wajib mu’akkad. Wajib mutlak adalah kewajiban yang dapat dilaksanakan kapan saja, tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, misalnya kewajiban membayar kafarat bagi orang yang melanggar sumpahnya. Wajib mu’akkad adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya sedemikian rupa, misalnya salat lima waktu dan puasa pada bulan Ramadan.

Dilihat dari segi jumlah atau ukuran kewajiban yang harus dilaksanakan, wajib dibagi atas wajib muhaddad dan wajib gair muhaddad. Wajib muhaddad adalah kewajiban yang jumlah atau ukurannya sudah ditentukan secara pasti oleh syarak (hukum Islam), misalnya jumlah rakaat salat, jumlah hari puasa Ramadan, dan ukuran zakat. Adapun wajib gair muhaddad adalah kewajiban yang jumlah atau ukurannya tidak ditentukan secara pasti oleh syarak, misalnya kewajiban mengeluarkan infak (QS.47:38).

Dilihat dari segi boleh tidaknya memilih dalam melaksanakan kewajiban, wajib dibagi pula atas wajib mu‘ayyan dan wajib mukhayyar. Wajib mu‘ayyan adalah kewajiban yang telah ditentukan secara pasti wujud dan bentuk perbuatannya, misalnya salat lima waktu, zakat, puasa, dan pergi haji. Adapun wajib mukhayyar adalah kewajiban yang dalam pelaksanaannya boleh memilih salah satu alternatif dari beberapa pilihan.

Misalnya, dalam melaksanakan kewajiban membayar kafarat karena melanggar sumpah, boleh dipilih memberi makan sepuluh orang fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya (QS.5:89).

Nadb. Khithab Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk mengerjakan suatu perbuatan yang tidak harus dikerjakan, bahkan ditinggalkan pun tidak apa-apa. Dengan kata lain, perbuatan itu sunah atau mandub, yang berarti mendapat pahala jika dikerjakan, tetapi tidak mendapat siksa jika ditinggalkan.

Terdapat perbedaan antara sunah dan mandub. Sunah menunjukkan suatu perbuatan atau amalan yang selalu dikerjakan Nabi SAW, kecuali jika dalam keadaan uzur, misalnya salat tahajud dan salat sunah rawatib, sedangkan mandub menunjukkan amalan yang disukai Nabi SAW, tetapi jarang dilakukannya, misalnya azan dan puasa 6 hari di bulan Syawal.

Untuk menentukan bahwa suatu khithab menunjuk pada nadb sehingga suatu perbuatan menjadi sunah atau mandub, dapat dilihat amalan Nabi SAW berdasarkan hadis atau adakalanya berupa kalimat yang jelas-jelas mengacu pada kesunahannya, misalnya yusannu kadza atau yundabu kadza (disunahkan atau dimandubkan).

Dapat pula dilihat bentuk fi‘l al-’amr yang diyakini berdasarkan indikator lain yang mengacu pada sunah; misalnya sunah menulis utang-piutang sebagaimana termaktub dalam surah al-Baqarah (2) ayat 282 mempunyai indikator ayat berikutnya (ayat 283). Indikator tersebut tidak mesti ayat Al-Qur’an, akan tetapi bisa saja hadis Rasulullah SAW atau ijtihad ulama.

Sunah atau mandub dapat dibagi atas sunah mu‘akkad, sunah za’idah, dan mustahabb. Sunah mu’akkad adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan; tidak berdosa jika tidak dilaksanakan, misalnya salat wajib berjemaah dan membaca ayat Al-Qur’an setelah membaca surah al-Fatihah dalam salat.

Sunah za’idah adalah perbuatan yang dianjurkan Rasulullah SAW untuk dikerjakan. Orang yang melaksanakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat siksa atau cela sama sekali. Perbuatan sunah za’idah ini kadang-kadang dilaksanakan dan kadang-kadang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sendiri, seperti puasa Senin dan Kamis serta salat sunah mutlak dua rakaat.

Mustahabb atau disebut juga fadilah (keutamaan) adalah suatu perbuatan yang dituntut sebagai penambah kesempurnaan amal perbuatan mukalaf, misalnya meniru cara Rasulullah SAW ketika makan, minum, dan berpakaian, dengan maksud memperlihatkan kecintaan kepadanya.

Tahrim. Khithab Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan yang harus ditinggalkan. Dengan kata lain, perbuatan itu haram atau karahah tahrim. Meninggalkan keduanya berarti mendapat pahala dan mengerjakannya berarti mendapat siksa. Haram didasarkan atas dalil qath‘i (jelas), sedangkan karahah tahrim didasarkan atas dalil zanni atau dugaan (seperti pada fardu dan wajib).

Nas yang mengacu kepada yang haram adakalanya: (a) dengan tegas menyebutkan harrama rabbukum (Tuhanmu mengharamkan) seperti pada surah al-An‘am (6) ayat 151; (b) dengan kata hurrima (diharamkan) seperti pada surah al-Ma’idah (5) ayat 96; (c) dengan kalimat la yahillu (tidak halal) seperti pada surah al-Baqarah (2) ayat 228; (d) dengan kalimat larangan (fi‘l an-nahy) seperti larangan zina pada surah al-Isra’ atau Bani Isra’il (17) ayat 32; (e) dengan perintah untuk menjauhinya, misalnya perintah untuk menjauhi minuman keras (khamar), seperti pada surah al-Ma‘idah (5) ayat 90; dan (f) dengan bentuk ancaman hukuman atas perbuatan yang dilarang, misalnya larangan atas perbuatan memakan harta anak yatim dengan cara zalim seperti pada surah an-Nisa’ (4) ayat 10.

Haram terbagi dua, yaitu haram lidzatihi dan haram li‘ardihi. Haram lidzatihi adalah perbuatan yang ditetapkan haram sejak semula karena secara tegas mengandung kemafsadatan (kerusakan), seperti berzina, mencuri, minum khamar, dan makan daging babi. Haram li‘ardihi adalah perbuatan yang pada mulanya tidak diharamkan dan kemudian ditetapkan haram karena ada sebab lain yang datang dari luar.

Misalnya, salat dengan pakaian hasil tipuan dan nikah tahlil (nikah menyelingi agar suami lama yang sudah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya dapat menikah kembali). Salat dan nikah itu sendiri sah sepanjang memenuhi syarat rukunnya. Namun karena ada hal lain seperti tersebut di atas, hukum salat dan nikah tersebut menjadi haram.

Karahah. Khithab Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan. Dengan kata lain, perbuatan itu makruh. Khithab ini disebut juga karahah tanzih, yaitu mendapat pahala bagi yang meninggalkannya, tetapi tidak berdosa bagi yang mengerjakannya.

Khithab yang menunjuk pada karahah yang mengakibatkan suatu perbuatan makruh atau karahah tanzih itu adakalanya menggunakan lafal yang secara tegas menunjukkan kemakruhannya, yaitu karraha (memakruhkan) dan segala bentuk (tasrif) kalimat itu; misalnya hadis riwayat Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya Allah memakruhkan kasak-kusuk, memperbanyak pertanyaan yang bukan-bukan, dan menghambur-hamburkan harta.”

Adakalanya digunakan kalimat larangan (fi‘l an-nahy) yang tidak menunjukkan keharaman, misalnya larangan untuk menanyakan hukum suatu masalah yang nanti justru akan menyulitkan penanya dan bahkan orang lain, sebagaimana diingatkan dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 101. Bisa pula digunakan bentuk kalimat perintah yang tidak mengharamkan, misalnya larangan berjualan ketika azan Jumat sudah dikumandangkan (QS.62:9).

Makruh dapat dibagi atas tiga bagian: makruh tanzih, tark al-aula, dan makruh tahrim. Makruh tanzih adalah suatu perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan, misalnya berjualan ketika azan Jumat dan makan makanan yang berbau ketika akan bergaul dengan orang lain. Tark al-aula adalah meninggalkan suatu perbuatan yang sebenarnya lebih baik dikerjakan, misalnya meninggalkan salat duha. Makruh tahrim adalah suatu perbuatan yang dilarang berdasarkan dalil zanni (dugaan).

Hukum Takhyiri. Khithab Allah SWT yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Khithab ini disebut ibahah. Dengan kata lain, perbuatan itu mubah, disebut juga halal atau jaiz, yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atau tidak dikerjakan maka yang bersangkutan tidak akan mendapat pahala atau siksa.

Berbeda dengan pendapat jumhur (mayoritas) ahli usul fikih di atas, kalangan ulama Mazhab Hanafi mengelompokkan mubah ke dalam hukum taklifi. Mereka membagi hukum taklifi atas tujuh macam, yakni: fardu, wajib, sunah, haram, makruh karahah tanzih, makruh karahah tahrim, dan mubah.

Pada dasarnya segala perbuatan di bidang muamalah menurut asalnya dibolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Prinsip ini disebut bara’ah asliyyah (bebas menurut asalnya), sesuai kaidah al-aslu fi asy-syay’ al-ibahah, hatta yadulla ad-dalilu ‘ala tahrimihi (pada asalnya, segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).

Ada perbuatan yang kehalalannya disebutkan secara tegas dengan kalimat la junaha, la haraja, la itsma (tidak berdosa, tidak ada halangan, tidak berdosa), seperti pada surah al-Baqarah (2) ayat 235 (tentang peminangan dengan menggunakan kata sindiran), surah an-Nur (24) ayat 61 (tentang kebolehan makanan bagi orang buta, pincang atau sakit di rumah orang lain), dan surah al-Baqarah (2) ayat 173 (tentang kebolehan makan makanan yang diharamkan dalam keadaan darurat). Bisa pula digunakan kalimat uhilla (dihalalkan), seperti kebolehan (halal) menggauli istri di malam bulan Ramadan (QS.2:187).

Di samping itu, ada pula yang berbentuk fi‘l al-’amr, setelah suatu perbuatan dilarang sebelumnya, misalnya kebolehan berburu di tanah haram setelah diharamkan sebelumnya karena dalam keadaan ihram (QS.5:2). Mengenai hal ini usul fikih mempunyai kaidah al-’amr ba‘da an nahyi yufidu al-ibahah (perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan).

Hukum Wad’i. Khithab Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Misalnya, salat menjadi sebab wajibnya berwudu (QS.5:6); adanya istitsa‘ah (kemampuan) menjadi syarat wajibnya menunaikan ibadah haji (QS.3:97); dan perbedaan agama antara yang diwarisi dan yang mewarisi menjadi penghalang dalam waris-mewarisi, yang berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim: “Tidak boleh orang muslim mempusakai harta orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mempusakai harta orang muslim.”

Hukum wad‘i terbagi atas tujuh macam, yaitu: sebab, syarat, mani‘ (penghalang); rukhsah (keringanan), ‘azimah (hukum asal), shihhah (sah), dan buthlan (batal).

Sebab. Suatu keadaan atau peristiwa dapat dijadikan sebab adanya hukum. Artinya, adanya keadaan atau peristiwa itu menjadi sebab adanya hukum dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu menyebabkan tidak adanya hukum. Misalnya, peristiwa tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya melaksanakan salat zuhur (QS.17:78) dan adanya tanda awal bulan yang disaksikan manusia pada awal Ramadan menjadi sebab wajibnya puasa Ramadan (QS.2:185).

Syarat. Suatu keadaan atau peristiwa menjadikan adanya hukum, akan tetapi adanya keadaan atau peristiwa itu tidak dengan sendirinya mengharuskan adanya hukum. Misalnya, berwudu merupakan syarat sahnya salat, tetapi dengan melaksanakan wudu tidaklah dengan sendirinya harus ada salat; dan adanya perkawinan merupakan syarat untuk bisa melaksanakan talak, tetapi dengan adanya perkawinan itu tidak dengan sendirinya harus ada talak.

Mani‘. Suatu keadaan atau peristiwa dapat pula menjadi penghalang adanya hukum atau membatalkan hukum. Misalnya, perbedaan agama antara orang yang diwarisi dan orang yang mewarisi menjadi mani‘ hukum waris-mewarisi walaupun sebab untuk waris-mewarisi sudah ada, yaitu hubungan darah. Contoh lain, utang seorang pedagang yang jumlahnya bisa mengurangi hartanya dari satu nisab menjadi mani‘ bagi kewajibannya membayar zakat, walaupun sudah wajib baginya mengeluarkan zakat.

Rukhsah. Ketentuan yang disyariatkan Allah SWT sebagai keringanan diberikan kepada mukalaf dalam keadaan khusus. Misalnya, boleh memakan makanan yang diharamkan dalam keadaan kelaparan karena tidak ada makanan lain; andaikata tidak memakannya, orang yang bersangkutan akan meninggal. Kebolehan itu disebabkan keadaan darurat (QS.2:173). Ada juga rukhsah dalam bentuk kebolehan meninggalkan sesuatu yang diwajibkan karena uzur, misalnya kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan (QS.2:184).

‘Azimah. ‘Azimah adalah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas dan berlaku umum, misalnya wajib melaksanakan salat lima waktu; wajib puasa Ramadan; dan haram memakan bangkai, darah, dan daging babi. Keringanan atas hukum tersebut kepada mukalaf dalam keadaan tertentu (darurat) disebut rukhsah. shihhah dan Buthlan. Perbuatan mukalaf yang berkenaan dengan hukum. Dikatakan shihhah jika syarat dan rukunnya, sebagaimana dikehendaki Allah SWT, dipenuhi; dan dikatakan buthlan jika syarat dan rukunnya tidak dipenuhi. Perbuatan yang shihhah akan mempunyai akibat hukum.

Misalnya, mukalaf yang menjalankan salat, puasa, dan membayar zakat sudah memenuhi segala syarat dan rukunnya, sehingga terpenuhilah kewajiban yang dibebankan atas dirinya; ia bebas dari beban dan berhak menerima pahala. Contoh lain, perkawinan yang shihhah mengakibatkan halalnya pergaulan antara suami istri dan shihhahnya berwudu mengakibatkan sahnya salat yang dilakukan orang itu.

Perbuatan mukalaf juga bisa dikatakan buthlan jika syarat dan rukunnya, sebagaimana dikehendaki Allah SWT, tidak dipenuhi. Perbuatan yang buthlan tidak mempunyai akibat hukum. Artinya, jika perbuatan itu wajib dan dikerjakan tetapi batil, kewajiban yang dibebankan kepada yang bersangkutan belum selesai, tetapi harus diulangi atau dikada.

Istilah shihhah dan buthlan biasanya diterapkan pada perbuatan mukalaf yang berkenaan dengan ibadah. Adapun untuk perbuatan mukalaf yang berkenaan dengan muamalah (masalah kemasyarakatan), di samping ada istilah shihhah dan buthlan, ada juga istilah fasid (rusak).

Suatu muamalah dikatakan fasid jika salah satu syarat atau rukunnya cacat, misalnya jual beli yang dilakukan orang gila atau anak yang belum dewasa. Suatu transaksi yang fasid mempunyai sebagian akibat hukum dan bisa diselesaikan, sehingga menjadi sah dan nantinya mempunyai akibat hukum. Misalnya, jual beli orang gila atau anak yang belum dewasa dapat diselesaikan dengan mengadakan akad dengan masing-masing walinya.

Dalam perbuatan yang mengandung unsur ta‘abbudi (bersifat ibadah, seperti salat, puasa, dan zakat) dan muamalah bisa diterapkan istilah buthlan atau fasid. Misalnya, perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih muhrimnya dianggap buthlan, tetapi perkawinan yang tidak disaksikan dua orang saksi, akad nikahnya disebut fasid.

Al-hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum ‘Alaih. Pembicaraan tentang syarak tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang al-hakim (hakim), mahkum fih, dan mahkum ‘alaih.

Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama hukum Islam bahwa hakikat syarak itu adalah khithab Allah SWT. Demikian juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa memberikan khithab itu merupakan hak Allah SWT sebagai pencipta hukum. Oleh sebab itu yang dimaksud al-hakim dalam hukum Islam hanyalah Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya dalam surah al-An‘am (6) ayat 57 yang berarti:

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan Yang Paling Baik.” Adapun hakim dalam pengertian sehari-hari adalah orang yang bertugas memutuskan suatu perkara di pengadilan, yang dalam hukum Islam disebut kadi.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama hanyalah dalam masalah apakah akal dapat memahami hukum Allah SWT tanpa perantaraan wahyu atau tidak. Golongan Asy‘ariyah (pengikut paham Abu Hasan al-Asy‘ari) berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui hukum Allah SWT jika tidak ditunjukkan oleh wahyu.

Menurut mereka, akal bersifat subjektif, antara satu orang dengan yang lainnya bisa berbeda-beda dalam menilai suatu perbuatan. Golongan Muktazilah (dipelopori Wasil bin Ata) berpendapat bahwa akal bisa mengetahui baik buruknya perbuatan manusia kendatipun belum menerima wahyu. Namun mereka juga berpendapat bahwa ada kebenaran yang dapat diketahui dengan akal secara mudah, ada yang harus diketahui melalui penalaran yang mendalam, dan ada kebenaran yang diberitahu wahyu.

Golongan jumhur ulama mengambil jalan tengah, akal memang bisa mengetahui baik buruk suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu tidak akan mendapatkan pahala atau siksa bagi siapa yang melakukannya sebelum ada petunjuk dan ketetapan dari syariat.

Mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang berkaitan dengan hukum Allah SWT. Tidak semua perbuatan mukalaf disebut Mahkum fih. Misalnya, makan, tidur, dan tertawa adalah perbuatan mukalaf, tetapi tidak berkaitan dengan hukum. Mahkum fih atau perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf itu harus mempunyai tiga syarat.

Pertama, perbuatan itu harus jelas diketahui mukalaf, sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syarak. Misalnya, perintah melaksanakan salat baru dibebankan sebagai perbuatan hukum setelah ada penjelasan tentang tata cara pelaksanaannya oleh Rasulullah SAW.

Kedua, harus diketahui bahwa pembebanan untuk melaksanakan perbuatan itu berasal dari pihak yang mempunyai kekuasaan untuk memberi beban dan dari pihak yang segala hukumnya wajib diikuti, dalam hal ini dari syarak atau dari pemerintah yang adil dan sah yang menjalankan hukum Allah SWT.

Ketiga, perbuatan yang dibebankan itu memungkinkan mukalaf untuk melakukannya, bukan perbuatan yang tidak mungkin dilakukan mukalaf.

Adapun mahkum ‘alaih adalah mukalaf yang dibebani hukum. Tidak semua orang bisa dikatakan mahkum ‘alaih. Syarat sah mukalaf menerima beban hukum ada dua.

Pertama, sanggup memahami khithab Allah SWT tentang pembebanan, baik dengan cara memahami sendiri maupun melalui perantaraan orang lain terhadap nas Al-Qur’an dan sunah.

Kedua, orang tersebut harus mempunyai kemampuan dalam menerima beban, yaitu kemampuan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah al-wujub) dan mempunyai kesanggupan dalam menjalankan kewajiban (ahliyyah al-ada‘). Oleh sebab itu anak kecil dan orang gila tidak termasuk mukalaf.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1968.
Bek, Muhammad Khudari. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Hasaballah, Ali. Ushul at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1976.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1983.
___________________. Khulasah Tarikh Tasyri‘ al-Islami, Kuwait: Dar al-Qalam, 1984.
Usman, Ahmad. Madkhal al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar at-Taba‘ah al-Hurriyah, 1980.
Zahili, Wahbah. al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Maktabah Dar al-Fikr, 1978.

Atjeng Achmad Kusaeri