Hujjatul Islam

(Ar.: Hujjah al-Islam)

Secara kebahasaan hujjah al-Islam berarti “pembela Islam”. Di kalangan ulama Islam, gelar hujjatul Islam diberikan kepada orang yang berjasa mempertahankan prinsip kebenaran Islam dengan argumen yang sulit dipatahkan lawan. Melalui hujjah (argumen), ulama yang diberi gelar hujjatul Islam ini telah berhasil menyanggah serangan yang merancukan ajaran Islam.

Para penyerang Islam ini bukan saja datang dari luar, tetapi juga dari kalangan Islam sendiri yang ingin mengada-adakan sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Sesuatu yang bukan dari tuntunan Islam tersebut bisa berkaitan dengan (1) masalah akidah yang sesat, sehingga dapat mengakibatkan syirik, khurafat, dan takhayul; (2) menyangkut ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasulullah SAW yang biasa disebut bid’ah; dan (3) cara memasukkan ajaran dari agama atau kebudayaan lain yang tidak islami.

Dalam rentangan sejarah Islam yang panjang, di kalangan ulama Islam, Imam al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah dikenal sebagai dua ulama besar yang menyandang gelar hujjatul Islam. Imam al-Ghazali digelari hujjatul Islam karena mem­bela Islam dengan cara yang cukup mengagumkan, terutama terhadap beberapa ajaran yang dibawakan kaum Batiniah.

Salah satu ajaran Batiniah yang diserang olehnya adalah akidah mereka yang menyatakan bahwa imam bersifat maksum (terpelihara dari berbuat dosa). Imam al-Ghazali menunjukkan kesesatan kaum Batiniah ini dalam bukunya Fada’ih al-Bathiniyyah (Kesalahan Kaum Batiniah). Imam al-Ghazali tidak saja mengajukan argumentasi dari Al-Qur’an dan sunah, tetapi juga argumentasi logika yang konsepsional, sistematis, dan ilmiah.

Dengan pembelaan terhadap ajaran Islam yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah ini, Imam al-Ghazali di kalangan ulama sezamannya dikenal sebagai seorang hujjatul Islam yang tiada tandingannya pada waktu itu.

Hal lain yang diserang Imam al-Ghazali adalah kaum filsuf yang telah memasukkan metode pemikiran Yunani ke dunia Islam. Ia menyerang pendapat mereka yang menyatakan bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai permulaan dan tidak berakhir), pembangkitan yang terjadi di akhirat bersifat rohani bukan jasmani, serta Allah SWT tidak mengetahui yang juz’iyyah (parsial, terperinci) yang ada di alam ini.

Dengan tiga pernyataan kaum filsuf tersebut, Imam al-Ghazali menganggap mereka telah keluar dari ajaran Islam atau kafir. Imam al-Ghazali secara panjang lebar menunjukkan kesesatan kaum filsuf tersebut dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kekeliruan para Filsuf). Dalam bukunya ini, ia berargumen berdasarkan Al-Qur’an dan sunah, juga dengan metode logika sebagaimana yang dilakukan kaum filsuf sendiri.

Sementara itu, Ibnu Taimiyah juga diberi gelar hujjatul Islam. Pada 1299 Ibnu Taimiyah terlibat polemik teologis dan sufistis dengan orang yang sepaham dengannya. Polemik itu mengakibatkan ia dituduh sebagai mujassim (menyatakan Tuhan mempunyai jisim).

Pendapat Ibnu Taimiyah yang disalahgunakan lawannya ini berawal dari pertanyaan beberapa orang tentang pengertian sifat Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kemudian, Ibnu Taimiyah menjawabnya melalui sebuah risalah yang diberi nama Risalah al-Hamawiyyah. Selanjutnya, ia harus mempertanggungjawabkan isi buku tersebut di hadapan para hakim dan ahli hukum yang terkemuka pada waktu itu.

Dalam perdebatan itu, Ibnu Taimiyah berhasil mempertahankan prinsipnya sekaligus memenangkan perdebatan tersebut. Inilah awal polemiknya yang berkepanjangan dengan lawannya di kemudian hari. Berbagai perdebatan ilmiah telah dilakukan Ibnu Taimiyah dengan lawannya, namun senantiasa ia berhasil mematahkan argumentasi lawannya.

Bahkan tidak jarang pula, karena keteguhannya memegang prinsip menyucikan ajaran Islam dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, ia harus berhadapan dengan penguasa. Akibatnya ia diadili, dipenjarakan, bahkan harus mengakhiri hidupnya dalam penjara.

Sikap dan pendirian yang teguh mempertahan­kan ajaran Islam secara penuh inilah membuatnya digelari hujjatul Islam. Selain itu, ia juga diberi gelar dengan berbagai predikat, seperti imam al-‘ulama’ (imamnya para ulama), nasir as-sunnah wa qami‘ al-bid‘ah (pendukung sunah dan penentang bid’ah), brilliant polemicus (pakar polemik yang mengagumkan), dan mujaddid al-ummah al-Islamiyyah (pembaru umat Islam).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ibn Taimiyyah hayatuh wa Atsaruh wa Ara’uh wa Fiqhuh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
al-Alim, Mustafa. Ma‘a ‘Aqidah as-Salaf al-‘Aqidah al-Wasithiyyah li Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Beirut: Dar al-‘Arabiyah, 1972.
al-Baitar, Muhammad Bahjah. hayah Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Damascus: al-Maktab al-Islami, 1970.
al-Ghazali, Abu Hamid. Tahafut al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1966.
__________________. Fada’ih al-Bathiniyyah. Cairo: Dar al-Qaumiyah, 1964.
__________________. al-Munqidz min al-dalal. Beirut: Maktabah asy-Sya‘biyah, t.t.
Ziyan, Bahiuddin. al‑Gazali wa Lamhah ‘an al‑hayah al Fikriyyah al‑Islamiyyah. Cairo: Maktabah Nahdah, 1958.

Nasrun Haroen