Secara kebahasaan, hudnah berarti “berdamai setelah perang”. Dalam hukum Islam hudnah berarti “melakukan perdamaian dengan ahl al-harb (musuh yang memerangi negeri Islam) untuk menghentikan perang dalam jangka waktu tertentu, baik dengan konsesi ganti rugi atau tanpa ganti rugi”.
Istilah hudnah termasuk dalam pembahasan fikih tentang masalah perang (al-harb) dan damai (as-salam). Istilah ini sering disinonimkan dengan al-muwdda‘ah (damai), al-musalamah (dari salam=damai), atau al-mu‘ahadah (dari ‘ahd=perjanjian). Hudnah dapat dilakukan tanpa harus masuk Islam. Orang yang berhak melakukan hudnah dari pihak Islam adalah kepala negara atau wakilnya (dalam istilah fikih disebut imam).
Dalam pembahasan fikih, perang antara negeri Islam dan non-Islam dapat dihentikan karena dua hal: (1) adanya pernyataan menyerah dan masuk Islam dari pihak musuh, dan (2) adanya perjanjian untuk menghentikan perang oleh kedua belah pihak. Perjanjian ini dapat bersifat selamanya atau dalam jangka waktu tertentu.
Jika musuh Islam menyatakan diri menyerah dan sekaligus masuk Islam, persoalan menjadi selesai. Mereka diperlakukan sama dengan umat Islam lainnya. Mereka juga mendapat pembagian dari harta rampasan perang. Jika hanya sebagian warganya yang masuk Islam, sedangkan antara kedua negara telah terikat perjanjian damai yang bersifat permanen, warga yang belum masuk Islam berstatus aman dalam negeri Islam dengan syarat tertentu.
Apabila seseorang atau sekelompok orang dari pihak musuh ingin berdamai dan meminta perlindungan kepada pihak Islam, permintaan itu boleh diterima dengan syarat tertentu yang ditetapkan syarak dan kepala negara. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah at-Taubah (9) ayat 6 yang berarti: “Dan jika seorang di antara kaum musyrikin itu meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya”
Firman ini mengandung pengertian bahwa sekalipun satu orang yang memohon perdamaian dan perlindungan kepada kepala pemerintahan Islam, permohonan itu boleh diterima dan orang bersangkutan harus dilindungi. Dalam sebuah hadis Nabi SAW dikatakan bahwa Rasulullah SAW mengesahkan sikap Ummu Hani ketika ia menerima permohonan seorang musyrik yang berlindung kepadanya (HR. at-Tabrani dari Ummu Salamah).
Ulama membolehkan perjanjian damai yang bersifat sementara antara negeri Islam dan negeri non-Islam, namun mereka mengemukakan syarat yang harus dipenuhi: (1) perdamaian tersebut dilakukan kepala negara Islam atau wakilnya dengan kepala negara dari pihak musuh, dan (2) umat Islam dalam keadaan lemah sementara musuh dalam keadaan kuat.
Dalam keadaan kuat, umat Islam tidak dibenarkan menerima perdamaian sementara yang diajukan musuh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Muhammad (47) ayat 35, “Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas (kuat) dan Allah pun beserta kamuh” Selain itu, Allah juga berfirman “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah…” (QS.8:61).
Dalam hadis diketahui bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan perdamaian dengan kafir Quraisy yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah (HR. Bukhari dari al-Miswar bin Makhramah dan Muslim dari Anas bin Malik). Firman Allah SWT dan hadis Nabi SAW tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu melanjutkan perang, umat Islam boleh memberikan konsesi dengan membayar ganti rugi perang.
Ulama fikih memahami hal ini bersifat umum, dalam arti tidak membedakan konsesi perang dari pihak musuh atau dari pihak Islam. Berdasarkan hal ini muncul pendapat bahwa negara Islam boleh memberi konsesi perang jika mereka berada dalam keadaan lemah dan melihat adanya kemaslahatan besar bagi mereka.
Apabila perdamaian yang bersifat sementara ini telah dilaksanakan dan memenuhi syarat yang disepakati bersama, kedua belah pihak harus tunduk sepenuhnya kepada isi perdamaian tersebut. Nyawa, harta, dan keturunan kedua warga negara harus dihormati.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perdamaian melalui hudnah tidak mengikat dan bisa dicabut atau dibatalkan. Menurut mereka, kepala negara boleh mencabut perdamaian dengan musuh Islam tersebut, apabila dalam pandangannya pencabutan perdamaian itu memberikan kemaslahatan bagi umat Islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Anfal (8) ayat 57, “Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran.”
Selanjutnya pada surah yang sama ayat 58, Allah SWT berfirman yang berarti: “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.”
Adapun menurut jumhur ulama, hudnah bersifat mengikat (tidak boleh dibatalkan) kecuali apabila terbukti adanya pengkhianatan dari pihak musuh. Jika tidak terbukti maka perjanjian tersebut tidak boleh dibatalkan. Alasan mereka juga berdasarkan pada ayat tersebut di atas.
Menurut Mazhab Hanafi, hudnah dianggap batal apabila masa berlaku akad itu telah berakhir atau jika dalam perjanjian ditentukan bahwa kepala negara berhak membatalkannya. Ketika kepala negara menyatakan batal, berakhir pula masa berlaku akad tersebut.
Namun, jumhur ulama mengatakan bahwa hudnah hanya gugur apabila dibatalkan oleh pihak musuh dengan kondisi sebagai berikut: (1) pihak musuh memulai perang, (2) munculnya musuh baru yang bergabung dengan musuh pertama, dan (3) pihak musuh membunuh seorang muslim dari negara Islam, merampas harta orang muslim, melakukan kegiatan mata-mata di negara Islam, mencaci maki Allah SWT dan Rasul-Nya, atau salah satu warga musuh itu memperkosa wanita muslimah.
Alasan jumhur ulama itu adalah firman Allah SWT yang berarti: “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjianmu) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai habis batas waktunya” (QS.9:4).
“Jika mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti” (QS.9:12).
Alasan lain yang mereka kemukakan adalah hadis tentang orang-orang Quraisy yang membatalkan perjanjian Hudaibiyah, sehingga Nabi SAW dan umat Islam ketika itu menyerang mereka sampai berhasil merebut kota Mekah (HR. al-Baihaqi dari Marwan bin Hakam dan Miswar bin Makhramah).
Ulama menyatakan bahwa akad hudnah harus bersifat sementara (tidak dibenarkan bersifat permanen). Namun, mereka berbeda pendapat tentang jangka waktu berlakunya akad hudnah itu.
Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa jika umat Islam dalam keadaan kuat, perjanjian itu hanya boleh berlaku antara 4 bulan sampai 1 tahun. Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT dalam surah at-Taubah (9) ayat 2. Di samping itu Nabi SAW melakukan hudnah dengan Sufyan bin Umayah selama 4 bulan pada tahun pembukaan kota Mekah, dan tidak lebih dari 1 tahun. Jika umat Islam dalam keadaan lemah, hudnah boleh dilakukan selama 10 tahun.
Ini merupakan jangka waktu maksimal berlakunya hudnah. Alasannya, Rasulullah SAW melakukan hudnah Hudaibiyah dengan kafir Quraisy selama 10 tahun. Akan tetapi, jika dalam jangka waktu itu umat Islam ternyata masih belum kuat, kepala negara bisa memperpanjang masa berlakunya. Pendapat ini juga dikemukakan ulama Syiah Imamiyah, dan merupakan salah satu pendapat Imam Hanbali.
Sementara itu, Mazhab Hanafi, Maliki, dan Zaidiyah menyatakan tidak ada batas waktu maksimal berlakunya hudnah. Persoalan itu diserahkan kepada pertimbangan kepala negara. Menurut mereka, hudnah bisa dilakukan selama 10 tahun atau lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahhab. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Dar al-Ansar, 1977.
al-Qasimi, Zafir. Nizam al-hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1980.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑‘Alaqat ad‑Dauliyyah fi al‑Islam: Muqaranah bi al‑Qanun ad‑Dauli al‑hadits. Beirut: Mu’asasah ar-Risalah, 1981.
________________. Asar al‑harb fi al‑Fiqh al‑Islami: Dirasah al-Muqaranah. Beirut: Dar al‑Fikr, 1981.
Nasrun Haroen