Hizbul Wathan (pembela tanah air) adalah nama organisasi kepanduan Muhammadiyah yang didirikan Ahmad Dahlan pada 1918. Pada mulanya kepanduan ini bernama Padvinder. Setelah kemerdekaan, Hizbul Wathan dilebur ke dalam Pandu Rakyat Indonesia (1945), diaktifkan kembali menjadi Hizbul Wathan (1950), lalu dilebur ke dalam Gerakan Pramuka (1961).
Hizbul Wathan berasaskan: (1) agama Islam, dengan maksud (a) memasukkan pelajaran agama Islam dalam undang-undang serta perjanjian Hizbul Wathan dan dalam syarat mencapai tingkat kelas; dan (b) memperdalam dan meresapkan jiwa Islam dalam latihan kepanduan dan memajukan amal ibadah sehari-hari; (2) ilmu jiwa, yang dipakai dalam kegiatan belajar dan bermain; dan (3) kemerdekaan dalam bekerja dan latihan.
Tujuan dan maksud Hizbul Wathan adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti. Hizbul Wathan pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan KH Mas Mansur di Surabaya pada 1916 setelah ia meninggalkan organisasi Nahdlatul Wathan yang dibentuknya bersama KH Abdul Wahab Hasbullah. Muhammadiyah mengambil nama itu menjadi nama perkumpulan pandunya yang didirikan pada 1918 di Yogyakarta.
Gagasan pembentukan barisan kepanduan Hizbul Wathan dalam Muhammadiyah muncul dari KH Ahmad Dahlan sekitar 1916 ketika ia kembali dari perjalanan tablig di Surakarta pada pengajian SAFT (Sidik, Amanah, Fatanah, Tablig) yang secara rutin diadakan di rumah KH Imam Mukhtar Bukhari. Di kota tersebut ia melihat anak-anak JPO (Javansche Padvinder Organisatie) dengan pakaian seragam sedang latihan berbaris di halaman pura Mangkunegaran.
Sesampainya di Yogyakarta, ia membicarakannya dengan beberapa muridnya, antara lain Sumodirjo dan Sarbini, dengan harapan agar pemuda Muhammadiyah juga dapat diajar tentang kepanduan guna berbakti kepada Allah SWT. Sejak pembicaraan itu mulailah Sumodirjo dan Sarbini merintis berdirinya pandu Muhammadiyah.
Kegiatan pertama banyak diarahkan kepada latihan baris-berbaris, olahraga, dan pertolongan pertama pada kecelakaan. Pada setiap Ahad sore para pandu dilatih dengan kegiatan di atas, pada malam Rabu mereka diberikan bekal keagamaan. Semula, Hizbul Wathan bernama Padvinder Muhammadiyah. Kemudian karena dianggap kurang relevan, atas usul H Hajid nama ini ditukar menjadi Hizbul Wathan.
H Mukhtar Bukhari dan H Hajid menjadi ketua dan wakil ketua organisasi ini yang pertama. Para pengurus mengambil pedoman pelajaran dari JPO Surakarta.
Setelah 1924 Hizbul Wathan berkembang pesat di Jawa, bahkan telah dapat melebarkan sayapnya ke luar Jawa. Cabang baru Hizbul Wathan semakin banyak. Cabang pertama di luar Jawa berdiri di Sumatera Barat, yang dibawa para wakil yang menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta 1928. Dalam kesempatan itu wakil tersebut tinggal beberapa lama di Yogyakarta setelah kongres usai guna mempelajari dan ikut latihan kepanduan; dengan modal itu mereka mengembangkan kepanduan di daerah yang mengutusnya.
Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta tanah air kepada para pemuda. Dari benih itu menjelmalah kekuatan untuk bertekad ikut serta dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping itu, latihan kepanduan mempunyai andil yang besar dalam melatih kader bangsa dalam mengÂhadapi kaum kolonial yang sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia.
Dari barisan Hizbul Wathan ini muncul sederetan tokoh yang cukup handal, seperti Sudirman, KH Dimyati, Surono, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik, Soeharto, M. Sudirman, dan Sunandar Priyosudarmo.
Ketika Jepang masuk, secara organisatoris Hizbul Wathan lebur, sesuai dengan kehendak Jepang yang membubarkan segenap organisasi kepemudaan yang ada pada waktu itu. Meskipun demikian, aktivis Hizbul Wathan tetap berkiprah dalam organisasi yang didirikan Jepang, seperti Keibodan, Seinendan, Peta, dan Hizbullah. Dalam organisasi tersebut malah para mantan anggota Hizbul Wathan memegang peranan yang penting.
Setelah kemerdekaan Indonesia, para pemuda banyak diarahkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Segala perkumpulan pandu yang ada sebelumnya dilebur dan disatukan dalam satu wadah kepanduan, yaitu Kesatuan Kepanduan Indonesia.
Dalam rapat kepanduan yang diadakan di Surakarta 27–30 Desember 1945 diputuskan pembentukan Pandu Rakyat Indonesia yang menyatukan segenap pandu yang ada di Indonesia dalam satu naungan guna mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang masih amat muda pada saat itu.
Beberapa tahun kemudian situasi politik mulai berubah dan Pandu Rakyat Indonesia yang dibentuk 1945 dirasakan tidak begitu efektif lagi. Oleh karena itu, pada 1950 Hizbul Wathan mulai diaktifkan kembali. Sejak itu Hizbul Wathan mulai menata kembali anggotanya dan organisasinya secara umum di samping mengembangkannya ke seluruh tanah air di mana Muhammadiyah ada.
Kegiatan tersebut berjalan terus sampai terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 238 tahun 1961 tentang gerakan Pramuka yang mengharapkan agar segenap organisasi kepanduan yang ada di Indonesia meleburkan diri dalam perkumpulan Pramuka.
Dalam rangka memenuhi seruan tersebut, gerakan kepanduan Hizbul Wathan dalam suratnya 8 Juni 1961 kepada Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka menyatakan bersedia meleburkan diri dalam Perkumpulan Gerakan Pramuka. Surat tersebut ditandatangani M.H. Mawardi dan H. Amin Lutfi, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris Majlis Hizbul Wathan Yogyakarta.
Sebagai anak dari organisasi Muhammadiyah, Hizbul Wathan terkait erat dengan cita-cita Muhammadiyah. Hal ini tercermin dari keputusan Kongres 1938 yang menyatakan bahwa sebagai pemuda Muhammadiyah, anak-anak Hizbul Wathan harus membiasakan diri mengamalkan pekerjaan dalam Muhammadiyah; mereka harus siap menolong dan berjasa untuk keperluan Muhammadiyah khususnya dan agama Islam umumnya.
Keanggotaan Hizbul Wathan terdiri dari tiga tingkatan: (1) Tingkat Atfal (Ar.: athfal) yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berumur 6–12 tahun, yang dibedakan lagi menjadi Atfal Melati, Atfal Bintang Satu, dan Atfal Bintang Dua; (2) Tingkat Pengenal, diperuntukkan bagi yang berumur 12–17 tahun, yang terdiri dari Tangga I Kelas III, Tangga II Kelas II, dan Tangga III Kelas I; dan (3) Tingkat Penghela, untuk 17 tahun ke atas. Perbedaan yang ada dalam tingkat ditentukan oleh kemampuan masing-masing anggota dalam latihan dan pelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
BKP Yogyakarta. Melati Tunas Pemuda Muhammadiyah. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah, 1971.
HAMKA. Muhammadiyah di Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1975.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1980.
Pasha, Mustafa Kamal. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Persatuan. Yogyakarta: Persatuan, 1975.
Salam, Solichin. Muhammadiyah dan Kebangunan Islam di Indonesia. Jakarta: Mega Djakarta, 1965.
Wathan, Hizbul. Pustaka H.W. Tahun III. Yogyakarta, 1925–1929.
_____________. Tuntunan H.W. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah, 1961.
Yunasril Ali