Hira, Gua

(Ar.: al-Gar al-Khira)

Gua Hira adalah nama sebuah celah sempit di Gunung/ Bukit Hira (Hara) yang terletak ± 6 km di sebelah timur laut kota Mekah, di pinggir jalan menuju Ji’ranah. Gua Hira sering digunakan Nabi Muhammad SAW untuk bertafakur (tahannuts) dan beribadah sebelum menjadi nabi. Di gua ini Nabi SAW menerima wahyu pertama dari Allah SWT sekaligus dinobatkan sebagai rasul.

Gunung Hira berupa batu terjal yang kering dan hampir tidak ditumbuhi tumbuhan kecuali lumut halus. Untuk mencapai puncak Hira, diperlukan waktu sekitar satu jam berjalan kaki dari kaki bukit melalui jalan setapak. Kira-kira 20 m menjelang puncak terdapat sebuah gua yang dikenal dengan nama gunung itu sendiri.

Gua ini sempit dan hanya bisa menampung empat orang duduk atau tidak lebih dari seorang berbaring tidak sempurna. Tingginya sekitar 155 cm. Di sekitarnya terdapat bebatuan besar yang berwarna hitam kemerah-merahan. Karena cahaya terhalang masuk oleh bebatuan itu, ruang dalam gua selalu gelap. Sangat sukar masuk ke dalam Gua Hira karena jalan (pintu) yang terletak antara dua batu besar amat sempit.

Kondisi gua dan sekitarnya yang demikian menimbulkan rasa takut bagi orang yang menyaksikannya. Karena itu, jarang ada orang yang bisa bertahan lama di dalamnya kecuali orang yang betul-betul berani, apalagi pada waktu malam hari.

Sejak Gua Hira mulai dikenal 15 abad yang lalu, sampai sekarang keadaannya masih belum banyak berubah. Gua Hira tidak dibangun dan tidak dikembangkan. Sebelum masa pemerintahan keluarga Sa‘ud, di puncak Gunung Hira pernah dibangun sebuah kubah sebagai tanda tempat bersejarah yang menjadi objek ziarah jemaah haji setelah selesai menunaikan ibadah haji.

Selain itu, untuk kepentingan para peziarah di sana didirikan pula warung kopi. Akan tetapi, setelah keluarga Ibnu Sa‘ud berkuasa di Hijaz, semua bangunan yang dibangun di tempat yang dianggap keramat mereka hancurkan, termasuk kubah, warung kopi, dan kolam tempat penampungan air hujan di atas puncak Gunung Hira.

Alasan perusakan itu adalah untuk menjauhkan kaum muslimin dari syirik, takhayul, dan khurafat. Meskipun demikian, gunung itu tetap menarik untuk diziarahi.

Ketika menginjak usia 40 tahun, Muhammad SAW lebih banyak melakukan tahannuts daripada waktu sebelumnya. Pada bulan Ramadan ia membawa perbekalan lebih dari biasanya, karena akan bertahannuts lebih lama dari waktu sebelumnya. Dalam melakukan tahannuts kadang­kadang ia bermimpi, mimpi yang benar (ar-Ru’ya as-sadiqah).

Pada malam 17 Ramadan, bertepatan dengan 6 Agustus 610, pada waktu Muhammad SAW sedang bertahannuts, datanglah Malaikat Jibril AS menyuruhnya membaca. Katanya, “Bacalah!” Dengan terkejut dan ketakutan Muhammad SAW menjawab, “Saya tidak bisa membaca.”

Ia dirangkul oleh Malaikat Jibril AS sehingga napasnya sesak. Jibril melepaskannya dan menyuruhnya membaca sekali lagi, “Bacalah!” Akan tetapi, Muhammad SAW masih tetap menjawab, “Saya tidak bisa membaca.” Begitulah berulang sampai tiga kali, dan akhirnya Muhammad SAW berkata, “Apa yang saya baca?”­ Maka Jibril AS membacakan awal surah al-‘Alaq (96) ayat 1–5.

Inilah wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW dan ini pula saat pengangkatannya menjadi rasul terakhir untuk seluruh alam. Sejak itu Gunung Hira masyhur dengan sebutan Jabal Nur (Ar.: Jabal an-Nur = Gunung Cahaya) karena wahyu itu turun laksana cahaya yang menguak gulita, yakni gulita jahiliah.

Pada waktu menerima wahyu pertama ini, usia Nabi SAW telah mencapai 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut tahun syamsiah.

DAFTAR PUSTAKA

Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Ibnu Hisyam. Sirah Sayyidina Muhammad Rasulullah. Gottingen: H.F. Wustenfeld, 1855.
Rida, Muhammad. Muhammad Rasul Allah. Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1966.

Yunasril Ali