Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI)

Organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia yang didirikan di Yogyakarta pada 14 Rabiulawal 1366/5 Februari 1947 adalah Himpunan Mahasiswa Islam.Organisasi ini bertujuan untuk membina insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernapaskan Islam, serta mewujudkan masyarakat­ adil dan makmur yang diridai Allah SWT.

Dalam Kongres HMI XVI di Padang (31 Maret 1986) diputuskan bahwa asas HMI ialah Pancasila. Ciri Islam tergambar dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangganya (ART). Disebutkan dalam AD bahwa HMI adalah organisasi mahasiswa Islam yang bersifat independen. Artinya, HMI tidak menjadi bagian dari suatu organisasi massa, golongan, maupun partai politik (parpol).

Kelahiran HMI dilatarbelakangi kepribadian umat Islam atas kesenjangan situasi dan kondisi politik, ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan sosial budaya. Pemrakarsanya ialah Lafran Pane (almarhum), yang disertai 14 orang dari kalangan mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, yaitu Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Joesdi Ghazali, Mansyur, Siti Zainah, Muhammad Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, dan Bidron Hadi.

Perumusan berdirinya HMI terjadi di ruang kuliah STI dengan disaksikan dosen tafsir, Husein Yahya. Dalam rapat itu terpilih pengurus: ketua, Lafran Pane; wakil ketua, Asmin Nasution; penulis I, Anton Timur Jailani; penulis II, Karnoto Zarkasyi; bendahara I, Dahlan Husein; bendahara II, Maisaroh Hilal; dan anggota, terdiri dari Suwali, Joesdi Ghazali, dan Mansyur.

Kongres HMI I diselenggarakan di Yogyakarta pada 30 November 1947. Yang terpilih sebagai pengurus dalam kongres ini adalah M.S. Mintaredja (ketua); Ahmad Tirtosudiro (wakil ketua); Usuluddin Hutagalung (penulis I); Lafran Pane (penulis II); Muhammad Sanusi (bendahara I); Suastuti Notoyudo (bendahara II); dan Amin Syahri, Anton Timur Jailani, Tejaningsih, Siti Bararoh, serta Usep Ranuwiharja (anggota).

Kiprah dan peranan HMI dalam pembangunan bangsa dan agama cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari awal berdirinya organisasi ini. Pada tahap konsolidasi spiritual yang berawal dari gagasan untuk mendirikan HMI (awal Oktober 1946–5 Februari 1947) para pendiri HMI telah berkiprah untuk menanggulangi adanya kesenjangan situasi dan kondisi politik, ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan sosial budaya.

Perjuangan ini akhirnya melahirkan HMI. Setelah HMI berdiri, tantangan pun muncul. Belanda dan Sekutu ingin merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Para anggota HMI ikut terjun ke medan perang untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Di samping itu, terdapat pula tantangan dari dalam negeri sendiri, yaitu pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pada waktu itu, Ahmad Tirtosudiro (wakil ketua PB HMI) bergerak memimpin korps mahasiswa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Tahun 1963–1965, HMI ikut pula menghadapi tantangan PKI dan ormasnya, yang di samping merongrong pemerintah juga ingin menghancurkan HMI sendiri. HMI difitnah sebagai anti-Pancasila, kontra-revolusioner, anti-Bung Karno, terlibat PRRI/Permesta, DI/TII, dan anak kandung Masyumi.

Pengganyangan terhadap HMI dilakukan melalui tiga partai besar (PKI, PNI, dan Partindo), juga melalui 46 organisasi massa dan 23 surat kabar yang menjadi terompet persekutuan tersebut. Tujuan utama pembubaran HMI antara lain adalah untuk menghancurkan kader umat Islam yang dibina HMI. Untuk menghadapi tantangan itu HMI berjuang dengan sekuat tenaga.

Pada 13 Oktober 1965, HMI dan generasi muda Islam se-Jakarta menunjukkan solidaritas dan mengeluarkan pernyataan akan membela HMI sampai titik darah terakhir. HMI membawa spanduk yang bertuliskan “Langkahi mayatku sebelum ganyang HMI”. Pada 17 Oktober 1965, Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi mengeluarkan keputusan bahwa HMI tidak dibubarkan dan berjalan terus.

Pada 1966, HMI menyatakan sikap bahwa pemberontakan 30 September 1965 dilakukan PKI dan siap ikut menumpasnya. Untuk itu para anggota HMI berpartisipasi dalam kegiatan penumpasan tersebut. Fahmi Idris, salah seorang aktivis HMI, duduk sebagai komandan Laskar Ampera di Jakarta dan Pada Mulia Lubis, aktivis HMI di Yogyakarta, menjadi komandan Laskar Ampera Yogyakarta.

Selain itu Mar’ie Muhammad dan Nazaruddin Nasution masing-masing duduk sebagai ketua dan sekretaris jenderal KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), pendukung utama lahirnya Orde Baru.

Di forum internasional, HMI telah berpartisipasi dalam berbagai konferensi, antara lain Kongres Pemuda Islam Sedunia atau International Assembly of Muslim Youth (IAMY) di Karachi, Pakistan (1955); Konferensi Mahasiswa Asia Tenggara di Bandung, Indonesia (1956); Konferensi Pers Mahasiswa Asia I di Manila; Filipina (1957); dan International Students Conference di Lima, Peru (1959).

Pada kurun 1967–1969, Nurcholish Madjid, ketua umum HMI, duduk sebagai presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (Pemiat). Selain itu, HMI juga mempunyai perwakilan di luar negeri (Inggris, Canada, Mesir, Swiss, Amerika Serikat, Belanda, Pakistan, Jerman, Australia, dan Selandia Baru).

HMI sebagai organisasi mahasiswa yang beridentitas Islam hanya dapat menerima anggotanya dari kalangan mahasiswa Islam yang terdaftar pada perguruan tinggi/yang sederajat. Para anggota tersebut terdiri dari:

(1) anggota muda, yaitu mahasiswa Islam yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan tinggi lain yang telah memenuhi syarat;

(2) anggota biasa, yaitu mahasiswa Islam yang telah memenuhi syarat/anggota muda yang telah mengikuti latihan kader I;

(3) anggota luar biasa, yaitu mahasiswa pendengar beragama Islam yang telah mencatatkan namanya, atau mahasiswa Islam luar negeri yang belajar di Indonesia yang telah mencatatkan namanya;

(4) anggota kehormatan, yaitu orang yang telah berjasa kepada HMI yang telah ditetapkan oleh pengurus cabang/pengurus besar.

Sementara itu, jenjang kaderisasi HMI diatur dalam tiga tahap latihan, yaitu basic training, intermediate training, dan advance training. Dalam struktur HMI, kekuasaan tertinggi dipegang oleh kongres tingkat nasional, konferensi wilayah dan cabang di tingkat propinsi serta kabupaten, dan rapat tahunan anggota komisariat di tingkat komisariat.

Pimpinan atau pengurus terdiri atas pengurus besar, pengurus cabang, dan pengurus komisariat. Selain unsur pimpinan tersebut, ada lagi unsur pembantu pengurus, yaitu:

(1) Badan Koordinasi (Badko) yang mengkoordinasi beberapa cabang-cabang di kota propinsi;

(2) Rayon, kesatuan organisasi yang dibentuk secara geografis di lingkungan satu cabang; dan

(3) Koordinator Komisariat (Korkom) yang membantu pengurus cabang. Badan khusus terdiri dari Korps HMI-wati (Kohati) dan lembaga kekaryaan HMI yang terdiri dari Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (Lapenmi), Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI), Lembaga Astronomi Mahasiswa Islam (LAMI), Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI), dan Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi).

Pedoman pokok organisasi tertuang dalam AD dan ART. Anggaran dasar dijabarkan dalam lima penjelasan:

(1) pasal 3 tentang identitas organisasi dirumuskan dalam nilai identitas kader,

(2) pasal 4 tentang asas organisasi dirumuskan dalam penjelasan asas,

(3) pasal 5 tentang tujuan organisasi dirumuskan dalam tafsir tujuan,

(4) pasal 6 tentang usaha organisasi dirumuskan dalam program kerja nasional, dan

(5) pasal 7 tentang sifat organisasi dirumuskan dalam tafsir independensi. Hal-hal di luar penjelasan di atas dirumuskan dalam ART. Semangat perjuangan HMI dituangkan dalam nilai dasar perjuangan.

HMI bergerak dalam beberapa usaha yang meliputi pengembangan:

(1) pembinaan pribadi mahasiswa muslim untuk mencapai al-akhlaq al-karimah (akhlak yang sempurna);

(2) potensi kreatif, keilmuan, sosial, dan budaya;

(3) ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan masa depan umat manusia;

(4) kehidupan umat dalam mengamalkan agama Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

(5) peran aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi, dan kepemudaan untuk menopang pembangunan nasional; dan

(6) usaha lain yang sesuai dengan identitas dan asas organisasi serta berguna untuk mencapai tujuan.

Sebagai organisasi, HMI telah melahirkan banyak tokoh dan pemikir seperti Lafran Pane, Asmin Nasution, Karnoto Zarkasyi, H M.S. Mintaredja, Anton Timur Jailani, Ahmad Tirtosudiro, H M. Sanusi, Siti Baroroh Baried, Deliar Noer, A. Dahlan Ranuwiharja, Ismail Hasan Metareum, Barli Halim, Sulastomo, Syarifuddin Harahap, Mar’ie Muhammad, Nazaruddin Nasution, Nurcholish Madjid, Akbar Tanjung, Ekky Syahruddin, Fahmi Idris, Adi Sasono, Tawangalun, M. Dawam Rahardjo, Ridwan Saidi, dan Imaduddin Abdurrahim. Sampai sekarang HMI merupakan persemaian yang subur bagi kader kepemimpinan bangsa dalam berbagai bidang.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul, ed. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Pengurus Besar HMI. Hasil Kongres XVI dan XVII. Jakarta: PB. HMI, 1986 dan 1988.
_________________. HMI Sepanjang Jalan. Jakarta: PB. HMI, 1975.
_________________. Pedoman Administrasi HMI. Jakarta: PB. HMI, 1971.
_________________. Pedoman Perkaderan HMI. Jakarta: PB. HMI, 1977.
Ranuwihardjo, A. Dahlan. Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi. Jakarta: Yayasan Idayu, 1979.
Sitompul, Agussalim. HMI dalam Pandangan Seorang Pendeta. Jakarta: Gunung Agung, 1984.
_________________. Sejarah Perjuangan HMI 1947–1975. Surabaya: Bina Ilmu, 1976.
Sulastomo. Hari-Hari yang Panjang 1963–1966. Jakarta: Haji Masagung, 1989.
Tanja, Victor. HMI Sejarah dan Kebudayaan di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaru di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Yunasril Ali