Hasanuddin, Sultan Maulana

(Cirebon, 1479 – Banten, 1570)

Maulana Hasanuddin adalah sultan pertama Banten yang memerintah 1552–1570. Ayahnya, Syarif Hidayatullah (1448–1556), terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Songo. Setelah ia dewasa, ayahnya pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai tumenggung. Tugas penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin.

Dalam usaha penyebaran Islam di Banten, Maulana Hasanuddin berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Kadang-kadang ia berada di Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Kegiatan dakwah Maulana Hasanuddin menyebabkan penduduk Banten Utara berangsur-angsur memeluk agama Islam.

Upaya penyebaran agama Islam ke seluruh daerah Banten mendapat hambatan dari raja Pajajaran (Hindu) yang mengeluarkan peraturan untuk membatasi masuknya pedagang Islam ke Banten. Di samping itu, raja Pajajaran menandatan gani perjanjian persahabatan dengan Portugis, menyebabkan penduduk yang sudah memeluk agama Islam marah.

Di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin, mereka melakukan pemberontakan terhadap raja setempat. Dengan bantuan pasukan gabungan Demak-Cirebon, Maulana Hasanuddin dapat menguasai seluruh Kadipaten Banten. Atas keberhasilan ini, pada 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sultan Demak sebagai bupati Kadipaten Banten.

Keberhasilan Maulana Hasanuddin memimpin daerah ini membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang sehingga Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak pada 1552 dan ia sendiri yang ditunjuk sebagai sultannya. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang (Banten Hulu) dipindahkannya ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara.

Sultan Maulana Hasanuddin melengkapi pusat pemerintahan yang baru ini dengan berbagai sarana dan prasarana, seperti keraton, benteng, pasar, dan sarana peribadatan berupa masjid. Akhirnya, pada 1568, ketika Kesultanan Demak runtuh dan digantikan Pajang, Sultan Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak.

Selama 18 tahun masa pemerintahannya, ia meletakkan dasar Islam yang kuat di Banten. Ia juga memperluas daerah kekuasaan Banten sampai meliputi seluruh daerah Banten, Jayakarta, Karawang, Lampung, dan Bengkulu. Bahkan Banten menjadi pusat penyiaran agama Islam untuk wilayah Jawa Barat dan Sumatera Selatan.

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pengetahuan keislaman, Sultan Maulana Hasanuddin mengirim mubalig ke berbagai daerah yang dikuasainya. Bahkan banyak orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar agama Islam di Banten, sehingga berdirilah beberapa perguruan Islam, seperti di Kesunyatan. Di sini berdiri Masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung Banten. Di tempat inilah tinggal dan mengajar Kiai Dukuh, yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan.

Untuk menjaga keamanan kota dari serangan musuh, baik dari darat maupun dari laut, Maulana Hasanuddin membentengi seluruh kota dengan potongan kayu besar yang kemudian diganti dengan tembok tebal dari batu karang. Setiap sudut kota dilengkapi dengan meriam. Demikian juga di sekeliling istana dibuat benteng yang dibuat dari tembok batas setebal tujuh telapak tangan.

Di samping itu, ia juga mengadakan kerjasama dengan ayahnya membentuk pasukan pertahanan kuat dan besar, sehingga ketika terjadi serangan Demak ke Pasuruan, Banten mengirimkan 7.000 tentara kerajaan lengkap dengan persenjataannya. Kerjasama itu diperluas ke bidang ekonomi dan politik.

Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, perkembangan Banten semakin pesat terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Para pedagang muslim yang berasal dari berbagai negara merasa enggan singgah di Malaka, sehingga mereka mencari pelabuhan yang dikuasai Islam.

Banten, yang ketika itu menjadi salah satu pelabuhan besar di Nusantara, ramai dikunjungi pedagang dari Arab, Parsi, Gujarat, Myanmar (Birma), Cina, Perancis, Inggris, dan Belanda, yang datang secara rutin ke sana; demikian juga pedagang dari pulau yang tersebar di Nusantara.

Sementara negara Barat berupaya untuk menguasai Banten dan sekitarnya, para pedagang yang berasal dari negeri Islam semakin memperkokoh kedudukan Banten sebagai kerajaan Islam di Nusantara. Selama masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin pembangunan negara meliputi bidang keamanan, perdagangan, dan yang terpenting penyebaran Islam.

Sultan Maulana Hasanuddin wafat dalam usia 91 tahun setelah meletakkan dasar Islam yang kokoh dan meninggalkan satu kerajaan Islam yang kuat di Nusantara pada abad ke-16. Setelah mangkat, ia diberi gelar ”Marhum Sabakingking” dan pekuburannya dinamai “Sabakingking” yang berarti tempat duka cita. Ia dimakamkan dekat Mesjid Agung Banten. Ia digantikan salah seorang anaknya, Maulana Yusuf.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. “Islam dalam Sejarah Nasional, Sekadar Penjelasan Masalah.” Revisi Makalah Seminar tentang Islam dalam Sejarah Nasional. Bandung: LIPI dan Masjid Salman, 1983.
Ambary, Hasan Muarif, et al. Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976. Jakarta: P3N, 1978.
Djajadiningrat, P.R.A. Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan, 1983.
HAMKA. Sedjarah Ummat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Michrob, Halwany. Laporan Pemugaran Banten Lama 1983–1984. Serang: DP4SPB, 1984.
Roesjan, Tb. G. Sejarah Banten. Jakarta: Arief, 1954.
Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.

M. Arfah Shiddiq