Harun Nasution adalah guru besar filsafat Islam, penyeru pemikiran rasional bagi umat Islam Indonesia, dan tokoh pembaru. Ia adalah putra ke-4 Abdul Jabbar Ahmad (ulama, pedagang, kadi, dan penghulu). Ibunya adalah seorang keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan, dan pernah bermukim di Mekah. Pada 1943 Harun menikahi seorang gadis Mesir di Cairo.
Selama 7 tahun Harun belajar di HIS dan tamat pada 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Moderne Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi dan menyelesaikannya pada 1937. Di sekolah ini sudah mulai terlihat kecerdasan dan daya kritisnya. Pada 1938 ia melanjutkan studi ke Ahliyah Universitas al-Azhar, tamat 1940. Harun menyelesaikan studi sosial dengan gelar sarjana muda dari Universitas Amerika di Cairo 1952.
Interupsi terhadap kegiatan studinya terjadi ketika ia memulai karier sebagai diplomat. Pada mulanya ia bekerja di Kantor Delegasi, yang kemudian menjadi Perwakilan Republik Indonesia di Cairo. Pada 1953 ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah.
Tugas diplomatnya di luar negeri berlanjut kembali sejak ia bekerja di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels mulai akhir Desember 1955. Selama 3 tahun bekerja di sana ia banyak mewakili pimpinan ke berbagai pertemuan, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis, serta Inggris dan penguasaannya terhadap masalah politik luar negeri Indonesia ketika itu.
Karena pengaruh komunis semakin kuat di Indonesia, Harun yang antikomunis memutuskan untuk keluar dari kedutaan dan dari Brussels ia langsung ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Ia memilih untuk belajar di ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir tidak dapat diteruskan sebab kekurangan biaya.
Ia menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, di Montreal, Canada, dan Harun pun melanjutkan studinya ke sana. Pada 1965 ia memperoleh gelar magister dari universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi.
Tiga tahun berikutnya (1968), ia memperoleh gelar doktor (Ph.D) dalam bidang studi Islam pada Universitas McGill dengan disertasi yang berjudul The Place of Reason in ‘Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.
Pada 1969 Harun kembali ke tanah air, dan melibatkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), IKIP Jakarta, dan kemudian juga Universitas Nasional.
Kegiatan akademis ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973–1984), menjadi ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta, dan terakhir menjadi dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1982.
Harun dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan dalam Islam dalam arti yang seluas-luasnya, tidak terbatas di bidang pemikiran saja seperti teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih), tetapi juga meliputi seluruh segi kehidupan kaum muslimin.
Ada dua obsesi Harun yang paling menonjol: pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas; kedua, masih terkait dengan yang pertama, bagaimana menumbuhkan pengakuan atas kapasitas manusia kadariyah di kalangan umat Islam Indonesia. Untuk itu ia sering kali menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah dominasi Asy‘arisme yang sangat bersifat Jabariyah (terlalu menyerah pada takdir).
Sebagai usaha ke arah itu Harun dalam berbagai tulisannya selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Al-Qur’an yang demikian penting dan bebas.
Harun, sebagaimana terlihat, sangat tersosialisasi di dalam tradisi intelektual dan akademis kosmopolitan (Barat), tetapi hampir sepenuhnya mewarisi dasar pemikiran Islam Abad Pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran para filsuf Islam itu, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia tasawuf, membuatnya dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat muslim Indonesia.
Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap tetapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri. Hal tersebut di atas ia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang lebih tepat disebut ”Gebrakan Harun”:
(1) Meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. (a) Ajaran yang bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini adalah ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir.
(b) Ajaran yang bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini ialah ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad ulama. Dalam ajaran Islam, yang maksum (dalam arti terpelihara dari kesalahan) hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad ulama bersifat relatif.
Menurutnya, kedinamisan suatu agama ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Dalam Islam jumlah kelompok pertama itu sangat sedikit.
(2) Begitu diangkat menjadi rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1973, langkah pertama yang dilakukannya adalah merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset.
(3) Ia bersama menteri Agama mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana sejak 1982 karena menurutnya di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu ilmu agama, dan menguasai filsafat.
Filsafat menurutnya sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti itu menurutnya diharapkan lahir dari Fakultas Pascasarjana.
Dampak dari usaha yang dilakukan Harun itu terlihat berupa tumbuhnya suasana kreativitas intelektual dan learning capacity, terutama di IAIN Jakarta.
Pemikiran Harun yang demikian inovatif dan progresif sering kali mendapat reaksi keras dari ulama tradisional, bahkan dengan kekhawatiran yang lebih besar keislaman Harun dipandang sangat tipis.
Ada beberapa sifat Harun yang menunjukkan bahwa di samping sebagai pemikir, ia adalah seorang ulama yang sangat warak (patuh kepada Allah SWT) dan qanaah (puas dengan apa adanya).
(1) Ia memiliki sifat qanaah, atau kepuasan memiliki harta seadanya.
(2) Ia memiliki kejujuran ilmiah yang sangat tinggi, tidak pernah menjawab masalah yang dihadapkan kepadanya jika hal itu bukan bidangnya, bahkan sering kali ia bertanya kepada mahasiswanya tentang masalah hukum sebab menurutnya hal itu bukan bidangnya. Pada sisi lain, ia akan segera meninggalkan pendapatnya yang lama apabila ada penemuan yang lebih tepat.
(3) Menurut Harun, akhlak itu bermula dari ibadah. Kalau ibadah tidak berjalan, akhlak pun tidak akan berjalan. Akhlak tidak bisa diajarkan tetapi harus ditanamkan.
Pada umumnya pemikiran Harun Nasution ditulis dalam ketujuh karyanya yaitu:
(1) Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, cet. I, 1974);
(2) Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973);
(3) Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973);
(4) Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972);
(5) Muhammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (Jakarta: UI Press, 1987);
(6) Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1975); dan
(7) Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982).
Di samping itu masih banyak lagi artikel ilmiah yang dimuat dalam berbagai buku, jurnal, majalah ilmiah dalam dan luar negeri, atau seminar dan lokakarya.
Daftar Pustaka
Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Harun Nasution, Jakarta: LSAF, 1989.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.
–––––––. Filsafal dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
–––––––. “Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam,” Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan: 1988.
–––––––. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979.
–––––––. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
–––––––, et al., ed. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
–––––––. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Rasjidi, H M. Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Syahrin Harahap