Khalifah kelima Dinasti Abbasiyah bernama Harun ar-Rasyid (memerintah 786–809). Dinasti ini mencapai puncak kejayaannya di bidang ekonomi, perdagangan, wilayah kekuasaan dan politik, ilmu pengetahuan, dan peradaban Islam. Ia terkenal sebagai dermawan, penyair, dan figur legendaris karena cerita tentang dirinya dalam Alf Lailah wa Lailah (Seribu Satu Malam).
Harun ar-Rasyid adalah putra khalifah ketiga Abbasiyah, al-Mahdi bin Abu Ja‘far al-Mansur (memerintah 159 H/775 M–169 H/785 M). Ibunya bernama Khaizuran, seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan dan dinikahi al-Mahdi pada 159 H/775 M. Ia amat berpengaruh dan berperan dalam pemerintahan suaminya dan putranya. Harun ar-Rasyid naik takhta menggantikan Musa al-Hadi (memerintah 785–786), khalifah keempat.
Harun ar-Rasyid memperoleh pendidikan di istana, baik pendidikan agama maupun ilmu pemerintahan. Ia banyak mendapat pendidikan dari Yahya bin Khalid (w. 805; salah seorang menteri pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid), keluarga Barmak (Baramikah) yang berperan dalam pemerintahan Bani Abbas, sehingga ia menjadi terpelajar. Ia seorang yang cerdas, fasih berbicara, dan mempunyai kepribadian yang kuat.
Sejak terlibat dalam urusan pemerintahan dalam usia muda dan selama menjadi khalifah, Harun ar-Rasyid menjalin hubungan yang akrab dengan ulama, ahli hukum, hakim, qari, penulis, dan seniman. Ia sering mengundang mereka ke istana untuk mendiskusikan berbagai masalah.
Ia sangat menghargai setiap orang yang berhadapan dengannya dan menempatkann ya pada kedudukan yang tinggi. Karenanya, Harun ar-Rasyid dikagumi banyak orang, baik dari golongan masyarakat tertentu maupun masyarakat umum.
Ia gemar beribadah, setiap hari ia melakukan salat sunah seratus rakaat; melakukan ibadah haji dan umrah dua kali setahun dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Mekah. Apabila ia pergi beribadah haji, ulama dan anaknya menyertainya.
Apabila ia tidak pergi, ia menghajikan tiga ratus orang dengan biaya penuh dari istana. Keamanan dan kesejahteraan rakyat diperhatikannya. Untuk ini ia sangat teguh menghadapi pemberontakan yang timbul di berbagai wilayah, tidak menyia-nyiakan rakyat yang berbuat baik, tidak melambatkan pembayaran upah, dan sangat pemurah.
Selama masa pemerintahan ayahnya, al-Mahdi, Harun ar-Rasyid dipercayakan dua kali memimpin ekspedisi militer untuk menyerang Bizantium (779–780 dan 781–782) sampai ke pantai Bosporus. Ia didampingi para pejabat tinggi dan jenderal veteran. Ia memangku jabatan gubernur selama dua kali, di as-Saifah pada 163 H/779 M dan di Magribi 164 H/780 M.
Pada 166 H/782 M Khalifah al-Mahdi mengukuhkannya menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah sesudah saudaranya, al-Hadi. Empat tahun kemudian, 15 Rabiulawal 170/14 September 786, Harun ar-Rasyid memproklamasikan diri menjadi khalifah untuk menggantikan saudaranya yang meninggal.
Setelah Harun ar-Rasyid menduduki takhta khilafah (kekhalifahan), ia mengangkat Yahya bin Khalid sebagai wazir (perdana menteri) untuk menjalankan roda pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas. Harun ar-Rasyid berkata kepada Yahya, “Sungguh aku serahkan kepadamu urusan rakyat, tetapkanlah segala sesuatu menurut pendapatmu, pecat orang yang patut dipecat, pekerjakanlah orang yang pantas menurut kamu, dan jalankan segala urusan menurut pendapatmu.”
Keluarga al-Barmak adalah orang non-Arab pertama yang mendapat kekuasaan tertinggi dalam urusan pemerintahan Bani Abbas. Keluarga ini menguasai urusan pemerintahan sejak tahun 786 hingga 803. Kebijakan keuangan berada di tangan keluarga ini. Pengangkatan wali (gubernur) dan pejabat lain ditetapkan atas usul dan saran keluarga ini kepada khalifah. Keluarga ini juga ikut menentukan urusan rumahtangga istana.
Setelah Yahya, jabatan wazir dipegang anaknya, Ja‘far. Kejayaan keluarga ini berakhir ketika Harun ar-Rasyid menghancurkannya pada 803. Ja‘far dihukum mati; ayahnya (Yahya) dan saudaranya (Fadl) dipenjarakan.
Tindakan ini diambil Harun ar-Rasyid setelah menerima laporan dari pihak lain bahwa keluarga ini menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan khalifah dengan memperkaya diri sendiri dari harta dan keuangan negara sehingga kemewahannya menyamai kemewahan keluarga khalifah, dan keluarga ini sering mengadakan pertemuan rahasia ketika khalifah mengadakan kunjungan ke daerah dengan menyamar (incognito). Harta kekayaan keluarga ini yang berjumlah sekitar 30.676.000 dinar dirampas untuk negara.
Untuk peningkatan kesejahteraan negara dan rakyat, Harun ar-Rasyid memajukan ekonomi, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan dalam sektor ini menjadikan Baghdad, ibukota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu dengan pertukaran barang dan valuta dari berbagai penjuru.
Negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan dagang tersebut, ditambah pula perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi, sehingga negara mampu membiayai pembangunan sektor lain, seperti pembangunan kota Baghdad dengan gedung yang megah, pembangunan sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, dan perdagangan, serta membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian. Negara mampu memberi gaji yang tinggi kepada ulama dan ilmuwan.
Di samping gaji yang mereka peroleh setiap bulan, mereka juga dibayar mahal oleh negara untuk setiap tulisan dan karya serta penemuan mereka. Mereka ditempatkan pada status sosial yang tinggi. Khalifah Harun ar-Rasyid dan pejabat negara dapat memperoleh dan menikmati segala kemewahan menurut ukuran zaman itu. Kehidupan rakyat juga makmur.
Harun ar-Rasyid yang berperawakan tinggi, berkulit putih, gemuk, dan tampan, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, terbentang dari daerah Laut Tengah di sebelah barat sampai ke India di sebelah timur.
Selama masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi pemberontakan, seperti pemberontakan kaum Khawarij pimpinan Walid bin Tahrif (794), Musa al-Kazim (799), dan Yahya bin Abdullah bin Abi Taghlib (792). Idris, saudara Yahya, berhasil melarikan diri ke Magribi dan berhasil mendirikan Kerajaan Idrisiyah di Maroko (789).
Pemberontakan Rafi’ al-Lais baru dapat dipadamkan pada masa al-Ma‘mun (813–833). Untuk mengatur keadaan di Afrika Utara, ar-Rasyid mengangkat Ibrahim bin Aghlab sebagai gubernur turun-temurun (800), yang kemudian menjadi Dinasti Aghlabiyah. Ia juga mengadakan hubungan dengan negeri non-Islam.
Menurut sumber Barat, ia pernah mengadakan tukar-menukar duta besar dengan Karel Agung (742–814). Menurut sumber Cina, ia pernah mengirim utusan ke Cina.
Usaha terpenting Harun ar-Rasyid yang membawa namanya ke puncak kemasyhuran adalah perhatiannya yang tinggi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam dengan mencapai taraf yang belum pernah dicapai sebelumnya. Ia mendirikan Baitulhikmah sebagai lembaga penerjemah.
Pada masa putranya, al-Ma‘mun, fungsinya diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Ia juga mendirikan Majlis al-Manakarah, lembaga pengkajian masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah, masjid, dan istana khalifah.
Lembaga ini mengalami perkembangan pesat pada masa Khalifah al-Ma‘mun. Di berbagai masjid di kota besar Islam dibuat ruangan baca dan perpustakaan. Ia juga menaruh perhatian terhadap ilmu kedokteran. Pendidikan dokter digalakkan, rumah sakit dan farmasi didirikan, sehingga pada saat itu kota Baghdad saja memiliki 800 dokter.
Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan putranya, Khalifah al-Ma‘mun, yang disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun 800 Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota utama bagi dunia Islam, yakni sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran dan peradaban Islam, serta pusat perdagangan, ekonomi, dan politik, dan telah berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.
Harun ar-Rasyid adalah seorang raja besar Islam di zaman itu dan hanya Karel Agung di Eropa yang dapat menjadi bandingannya. Jasanya di bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran masih dapat dinikmati sampai sekarang, yaitu buku dalam berbagai cabang ilmu karya ulama dan sarjana yang dikembangkan dan dihasilkan ketika itu atas dorongan, rekayasa, dan biaya Harun ar-Rasyid. Setelah meninggal, ia digantikan putranya, al-Amin (194 H/809 M–198 H/813 M) dan kemudian al-Ma‘mun.
Daftar Pustaka
al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. Tarikh Bagdad ‘au Madinah as-Salam. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Brockelmann, Carl. Geschichte der Islamischen Volker und Staaten, atau History of Islamic Peoples, terj. Joel Carmichael and Moshe Perlmann. New York: Capricon Book, 1960.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Ibnu Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: t.p., 1977.
Kennedy, Hugh. The Prophet and the Age of the Caliphates: the Islamic Near East
from the Sixth to the Eleventh Century. London: Longman, 1986.
–––––––. The Early Abbasid Caliphate: A Political History. London, 1981.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press, 1985.
Omar, F. “Harun ar-Rasyid,” Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1979.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1971.
Zettersteen, K.V. “Harun ar-Rasyid,” First Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1987.
J Suyuti Pulungan