Hanbali, Mazhab

Mazhab Hanbali adalah salah satu dari keempat mazhab besar fikih Islam yang didasarkan pada ajaran Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali (164 H/780 M–241 H/855 M) dan muncul paling akhir. Mazhab itu berpegang pada hadis Nabi SAW dan tradisi sahabat. Mazhab Hanbali muncul sebagai reaksi terhadap sikap berlebihan beberapa aliran Islam lainnya, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Kadariyah, dan Murji’ah.

Ketika Ahmad bin Hanbal masih kecil, ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian mendapat pendidikan dari ibunya di bawah pengawasan pamannya di Baghdad, kota yang terkenal sebagai gudang ilmu pengetahuan.

Di Baghdad terdapat berbagai pakar ilmu, seperti ahli qiraah, ahli hadis, sufi, ahli bahasa, dan filsuf. Sejak kecil ia sudah diarahkan untuk menekuni studi keislaman. Setelah menghafal Al-Qur’an, kemudian ia mulai belajar bahasa Arab, hadis, dan sirah (sejarah atau perjalanan hidup) Nabi SAW, sahabat, serta tabiin.

Sejak semula Ahmad bin Hanbal sudah memberikan perhatian yang besar pada hadis, walaupun tetap tidak meninggalkan bidang fikih. Kepada Abu Yusuf al-Qadi (113 H/731 M–182 H/798 M), seorang hakim agung, ia belajar fikih, namun lebih mengutamakan hadisnya. Dari Abu Yusuf ia mendapat pelajaran fikih yang dianut ulama Irak, yaitu fikih yang lebih menekankan penggunaan akal dalam beristinbat.

Ahmad mulai mengadakan lawatan untuk mencari hadis pada 179 H/796 M dalam usia 15 tahun sampai 186 H/802 M. Mula-mula ia melawat ke Baghdad. Kemudian berturut-turut ia pergi ke Basrah, Hijaz, Kufah, dan Yaman untuk menemui para guru hadis.

Pada lawatannya ke Hijaz, ia bertemu dengan Imam Syafi‘i di Masjidilharam, Mekah. Pertemuan dengan Imam Syafi‘i selanjutnya terjadi di Baghdad, ketika yang disebut terakhir ini sedang menyebarkan mazhabnya.

Sunah dan hadis yang dikumpulkan Ahmad bin Hanbal yang berasal dari hadis Nabi SAW serta fatwa sahabat dan tabiin adalah riwayat yang mempunyai keterkaitan dengan persoalan fikih.

Ahmad memiliki keahlian dalam masalah fikih antara lain berkat pertemuannya dengan Abu Yusuf dan Imam Syafi‘i. Pada usianya yang ke-40, Ahmad mulai memberikan fatwa tentang berbagai persoalan fikih dan meriwayatkan hadis. Corak fikih yang diajarkannya adalah fikih yang berpedoman pada sunah dan hadis Nabi SAW.

Ahmad tidak menulis kitab dalam bidang fikih, bahkan melarang muridnya untuk menuliskan fatwa yang disampaikannya. Salah satu kitab di bidang hadis yang ditulisnya adalah al-Musnad. Kitab ini terkenal dengan nama Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kitab ini berisi kumpulan hadis yang diriwayatkan Ahmad dari para rawi atau periwayat tsiqah (kuat dan dapat dipercaya). Susunannya didasarkan pada urutan nama sahabat.

Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut Mazhab Hanbali, menjelaskan bahwa pedoman pokok penetapan hukum dan fatwa yang digariskan Ahmad ada lima dasar.

Pertama, nas (Al-Qur’an dan hadis). Jika ia menemukan nas, ia akan berfatwa dengan Al-Qur’an dan tidak akan berpaling pada dalil lain. Ia lebih mendahulukan nas daripada fatwa sahabat.

Kedua, fatwa sahabat yang tidak diketahui ada yang menentangnya. Jika mendapat fatwa dari sebagian sahabat dan tidak ada yang menyalahinya, ia akan mengambilnya, tetapi tidak dikatakan sebagai ijmak.

Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW. Jika persesuaian pendapat itu tidak jelas dengan Al-Qur’an dan sunah, ia tidak akan menentukan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan keduanya.

Keempat, mengambil hadis mursal dan daif. Hadis mursal adalah hadis yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama sahabat yang meriwayatkan. Hadis daif adalah hadis yang bukan maudu’ (palsu, dibuat-buat) dan dalam bab itu tidak ada hadis sahih yang menolaknya. Dalam hal ini hadis daif didahulukan atas kias. Dalam pada itu, hadis daif menurut Ahmad bukanlah yang dinamakan batil dalam ilmu musthalah al-hadis.

Kelima, kias. Jika tidak menemukan nas dari Al-Qur’an dan sunah atau fatwa sahabat, ataupun fatwa tabiin dalam riwayat yang masyhur, serta tidak pula mendapatkan hadis mursal atau daif, Ahmad menggunakan kias. Baginya kias digunakan dalam keadaan darurat.

Dalam penelitian ulama, dasar istinbat yang terdapat dalam kitab Mazhab Hanbali tidak hanya terbatas pada lima hal di atas. Dasar istinbat dalam Mazhab Hanbali, di luar yang tersebut di atas, adalah sebagai berikut.

Pertama, ijmak. Yang dimaksud di sini adalah ijmak sahabat tentang berbagai kasus hukum. Terjadinya ijmak mereka dapat dipastikan karena mereka semua jelas diketahui dan jumlahnya juga terbatas. Akan tetapi Imam Ahmad meniadakan kemungkinan terjadinya ijmak setelah lewat masa sahabat.

Kedua, kias. Paling tidak sebagian pengikut Ahmad bin Hanbal memandang penting penggunaan kias, walaupun Ahmad bin Hanbal sendiri menggunakannya hanya pada saat terpaksa. Mereka beralasan bahwa para sahabat juga mempergunakan kias. Dalam Mazhab Hanbali, penggunaan kias ini kelihatan sangat diperhatikan dalam rangka menghadapi berbagai persoalan yang tidak didapatkan dalilnya dari Nabi SAW dan para sahabat.

Ketiga, al-maslahah al-mursalah, yakni maslahah (maslahat) yang tidak ada dasarnya, baik dalam bentuk teks (nas) maupun dalam bentuk kias (analogi), dari Al-Qur’an, sunah, atau ijmak sahabat, baik yang bersifat menetapkan ataupun menggugurkan. Hal seperti ini termasuk dalam jenis maslahah yang diakui syarak (hukum Islam) sepanjang muta’im (serasi) dengan maksud syarak secara umum.

Imam Ahmad telah menggunakan dasar ini, terutama dalam siyasah asy-syar‘iyyah (cara penetapan syarak demi kemaslahatan umum), karena para sahabat juga menggunakannya. Sementara itu pengikut Ahmad memandangnya sebagai termasuk kias karena merupakan kias kepada maslahah umum yang bersumber dari sejumlah nas Al-Qur’an dan hadis, meskipun sifatnya bukan kias pada satu nas tertentu saja.

Keempat, istihsan. Penggunaan dasar ini tidak ditentang oleh Imam Ahmad. Dalam usul fikih Mazhab Hanbali, istihsan itu termasuk dalam pengambilan hukum berdasarkan dalil dari nas atau ijmak, ataupun tunduk pada hukum darurat.

Kelima, sadd adz-dzara’i‘, yaitu melarang suatu perbuatan yang dapat menjerumuskan orang pada perbuatan lain yang diharamkan. Misalnya, pria dan wanita dilarang berdua-duaan di tempat sepi agar tidak terjerumus pada perbuatan zina.

Ulama pengikut Mazhab Hanbali menggunakan dasar ini karena dasar ini juga dipakai Imam Ahmad. Alasannya ialah bahwa jika syariat (Allah SWT) menuntut dilakukannya suatu hal, sarana yang memungkinkan pelaksanaannya juga dituntut untuk dikerjakan.

Demikian pula sebaliknya, jika Allah SWT melarang sesuatu, maka semua hal yang menjadi sarana untuk itu juga dilarang. Mazhab Hanbali dalam hal ini termasuk mazhab yang teguh berpegang pada prinsip sadd adz-dzara’i‘.

Keenam, istishab, yaitu suatu hukum asal yang sudah ditetapkan yang akan tetap berlaku terus sampai ada dalil lain yang mengubahnya. Mazhab Hanbali banyak sekali menggunakan prinsip ini. Menurut mazhab ini, pada mulanya segala sesuatu itu diperbolehkan (mubah), sampai ada dalil lain yang melarangnya.

Penyebaran Mazhab Hanbali terutama dilakukan para murid Imam Ahmad, karena ia sendiri tidak menulis kitab dalam bidang fikih, kecuali beberapa catatan yang tidak disebarluaskan. Muridnya mencakup antara lain Saleh (w. 266 H/880 M), Abdullah bin Ahmad (w. 290 H/903 M), Abu Bakar al-Asram (w. 261 H/875 M), Abdul Malik al-Maimuni (w. 274 H/888 M), dan Abu Bakar al-Marwazi (w. 275 H/889 M).

Saleh adalah anak Imam Ahmad sendiri. Ia menyebarluaskan aliran fikihnya melalui surat-menyurat dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Ia sendiri pernah menjadi hakim sehingga dapat menerapkan fikih Hanbali dalam praktek. Adapun Abdullah bin Ahmad lebih banyak menukilkan hadis daripada ikih.

Dari murid Imam Hanbali, fikih Ahmad bin Hanbal dibukukan oleh Abu Bakar al-Khallal. Ada beberapa faktor yang menghambat penyebaran Mazhab Hanbali, antara lain dua yang terpenting:

(1) Mazhab Hanbali muncul setelah tiga mazhab fikih lain tersebar di wilayah kekuasaan Islam, seperti Mazhab Hanafi di Irak, Mazhab Syafi‘i dan Maliki di Mesir, dan Mazhab Maliki di kawasan Magribi dan Andalusia (Spanyol); dan

(2) pengikut Mazhab Hanbali tidak banyak yang menjadi hakim, kecuali di Jazirah Arabia pada masa pemerintahan raja-raja Arab Saudi sekarang ini (abad ke-20) karena mazhab ini merupakan mazhab resmi kerajaan.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Ibn hanbal Hayatuh wa Atsaruh wa Ara’uh wa Fiqhuh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
–––––––. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah as-Siyasah wa al-‘Aqa’id wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Zuhad