Ulama mujtahid di bidang fikih dan salah seorang di antara empat imam mazhab terkenal di dunia Islam adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Ia juga dinamai Abu Abdullah, karena putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dengan banyak pengikut, ia dikenal dengan panggilan Imam Hanbali dan mazhabnya disebut Mazhab Hanbali.
Ayah Imam Hanbali bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin Ali bin Baqa bin Qashid bin Aqsy bin Dami bin Jadlah bin As‘ad bin Rabi‘ah bin Nizar.
Pada Nizar inilah bertemu silsilah Imam Hanbali dan Nabi Muhammad SAW. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah bin Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur asy-Syaibani, berasal dari bangsawan Bani Amir.
Ayahnya meninggal dalam usia muda, Hanbali diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri. Pendidikannya diawali dengan belajar Al-Qur’an dan ilmu agama pada ulama di Baghdad sampai usia 16 tahun. Kemudian, ia memperdalam ilmu agama dengan mengunjungi ulama ternama di berbagai tempat, seperti Kufah, Basrah, Syam (Suriah), Yaman, Mekah, dan Madinah.
Guru-gurunya meliputi antara lain Hammad bin Khalid, Isma‘il bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Mu’tamar bin Sulaiman, Abu Yusuf al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i, Abdurrazaq bin Human, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Ibnu Hanbal mendalami ilmu fikih, hadis, tafsir, kalam, usul, dan bahasa Arab.
Ibnu Hanbal adalah seorang yang cerdas, rajin, dan tekun, serta sangat cinta kepada ilmu pengetahuan. Begitu cintanya ia pada ilmu pengetahuan, sehingga setiap kali mendengar ada seorang guru atau ulama terkemuka di suatu tempat, dengan serta merta ia berangkat ke sana untuk berguru pada ulama tersebut, walaupun ia harus menempuh jarak yang jauh dan menghabiskan waktu lama.
Karena perhatiannya yang besar kepada ilmu, Ibnu Hanbal baru menikah setelah berusia 40 tahun. Ia menikah pertama kali dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra yang bernama Saleh. Setelah istri pertama wafat, ia menikah lagi dengan Raihanah dan dikaruniai pula seorang putra yang bernama Abdullah.
Kemudian sepeninggal istri keduanya, ia menikah untuk ketiga kalinya dengan seorang jariyah (hamba perempuan) yang bernama Husinah, dan dianugerahi lima anak, yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Sa’id. Imam Hanbali dikenal sangat taat beribadah dan sangat zuhud.
Imam Ibrahim bin Hani (seorang imam fikih dan sahabat Imam Hanbali) mengatakan bahwa ia berpuasa hampir setiap hari dan tidurnya hanya sedikit pada malam hari. Ia menggunakan kebanyakan waktunya untuk salat malam dan salat witir sampai masuk waktu subuh.
Pengakuan lain disampaikan putranya, Imam Adullah, “Ayah itu setiap hari membaca sepertujuh Al-Qur’an dan waktu malam juga sepertujuh Al-Qur’an. Salat isyanya sering kali bersambung dengan salat subuhnya.”
Selain itu, Imam Hanbali juga masyhur dengan sifat kedermawanannya. Ia tergolong orang kaya. Setiap kali memperoleh rezeki, ia selalu membaginya kepada orang lain yang dianggap lebih membutuhkan. Tentang hal ini Imam Yahya bin Hilal (seorang imam fikih dan sahabat Imam Hanbali) mengemukakan,
“Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu’.”
Imam Hanbali mempunyai perhatian yang amat besar terhadap hadis Nabi SAW. Di mana saja ia mendengar ada ulama ahli hadis, ia pun mendatanginya untuk mendapatkan hadis darinya. Ketekunannya belajar dan meneliti hadis itu pulalah yang kemudian mengantarkannya menjadi ulama hadis yang menghafal ratusan ribu hadis.
Imam Hanbali hidup pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Pada waktu itu, aliran Muktazilah sedang mengalami masa kejayaannya. Al-Ma’mun menjadikan aliran ini mazhab resmi negara dan selanjutnya dengan menggunakan kekuasaannya ia memaksakan aliran ini kepada pembesar kerajaan serta tokoh masyarakat.
Di antara ajaran Muktazilah yang dipaksakan itu ada paham yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk atau ciptaan Tuhan. Peristiwa ini disebut mihnah. Peristiwa ini menyebabkan terbunuhnya beberapa ulama terkemuka yang mempertahankan pendiriannya dengan tegas bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk yang hadits melainkan sabda Allah yang qadim.
Ulama yang dengan tegas mempertahankan pendiriannya antara lain adalah Imam Hanbali. Bahkan ia kemudian dipandang sebagai pemuka kelompok oposisi yang menentang keinginan penguasa untuk memaksakan paham Muktazilah ini.
Karena membangkang terhadap penguasa, Ibnu Hanbal ditangkap dan dikirim menghadap al-Ma’mun di Tarsus. Sebelum sampai ke kota itu, al-Ma’mun wafat dan digantikan putranya, al-Mu’tasim, yang kemudian memenjarakan Imam Hanbali.
Selama dalam penjara, Imam Hanbali mendapat perlakuan yang sangat kejam. Setiap hari ia dicambuk dan dipukul.
Walaupun sangat menderita, ia tetap teguh pada keyakinannya. Penganiayaan terhadapnya terus berlangsung sampai masa pemerintahan al-Wasiq, putra al-Mu’tasim. Sikap Ibnu Hanbal yang tegas, teguh memegang prinsip, dan tidak takut mati menimbulkan simpati umat kepadanya, sehingga ia mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tidak setuju dengan paham Muktazilah.
Setelah al-Wasiq meninggal, ia digantikan al-Mutawakkil. Pada masanyalah Imam Hanbali memperoleh kebebasan. Pada masa al-Mutawakkil ia dihormati dan dimuliakan. Sebagai ulama namanya semakin harum dan orang pun berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk mendengarkan fatwa dan mendapatkan ilmu darinya. Dengan demikian, muridnya pun semakin banyak.
Muridnya yang terkenal antara lain adalah Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Abu Zur’ah ad-Dimasyqi, Imam Abu Zur’ah ar-Razi, Imam Ibnu Abi ad-Dunia, Imam Abu Bakar al-Asram, Imam Hanbal bin Ishaq asy-Syaibani, Imam Saleh, dan Imam Abdullah. Dua yang disebut terakhir adalah putranya sendiri yang juga berhasil menjadi ulama besar pada masanya.
Di bidang fikih, prinsip yang digunakan Imam Hanbali dalam mengistinbatkan (menyimpulkan) suatu hukum adalah (1) nas Al-Qur’an dan hadis sahih, (2) fatwa para sahabat, (3) hadis mursal (bersambung) dan hadis daif (lemah) yang bukan disebabkan kecurigaan akan kebohongan perawinya, dan (4) kias.
Dalam menetapkan suatu hukum, Imam Hanbali pertama-tama merujuk kepada nas Al-Qur’an dan, jika tidak menemukannya, ia merujuk kepada hadis/sunah Nabi SAW yang sahih. Apabila dalam hadis/sunah sahih tidak ditemukan hukumnya, ia mencarinya dalam fatwa sahabat Nabi SAW yang disepakati.
Kalau dalam fatwa itu tidak pula menemukannya, ia mencarinya dalam fatwa sahabat yang masih dalam perselisihan. Jika belum juga menemukan hukumnya, ia merujuk kepada hadis mursal dan hadis daif.
Imam Hanbali lebih mengutamakan hadis daif daripada pemikiran akal (ra’yu). Apabila sudah mencari hukumnya dalam hadis mursal dan hadis daif tetapi belum juga menemukannya, barulah ia memakai kias. Kias hanya dipakai dalam keadaan terpaksa (darurat). Prinsip inilah yang kemudian dikenal dengan dasar Mazhab Imam Hanbali.
Kemampuannya di bidang hadis terbukti dari kesanggupannya menyusun al-Musnad, yaitu suatu kitab hadis yang menghimpun sekitar 40.000 hadis dan disusun berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkannya. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad (putra sulung Imam Hanbali), 40.000 hadis yang termuat dalam kitab ini merupakan hadis seleksi dari 700.000 hadis yang dihafal Imam Hanbali.
Penelitian Muhammad Abdul Aziz al-Khuli (seorang ulama bahasa yang menulis banyak biografi tokoh sahabat dan tabiin) menunjukkan bahwa ada 10.000 hadis yang berulang dalam Musnad Ahmad ibn hanbal. Jadi jumlah sebenarnya adalah 30.000 hadis. Umumnya hadis yang terdapat di dalamnya mempunyai derajat sahih dan sedikit sekali yang berderajat daif.
Pentingnya buku itu bagi ulama hadis terlihat dari betapa banyak ulama yang mensyarah isinya, antara lain Abu Amr Muhammad bin Abdul Wahid, Sirajuddin bin Amr bin Ali, Muhammad bin Muhammad al-Jazari, Ali bin Husain bin Urwah, dan Abu Hasan Muhammad bin Abdul Hadi as-Sindi.
Dalam memahami Al-Qur’an Imam Hanbali lebih senang mengambil arti lafal daripada melakukan takwÓl, terutama terhadap ayat yang menjelaskan sifat Tuhan atau ayat-ayat mutasyabihat (mengandung penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, seperti Tuhan mempunyai wajah dan tangan).
Imam Hanbali, di samping menghafal Al-Qur’an dengan fasih dan lancar, juga mengerti tafsirnya secara mendalam. Imam Hanbali meninggalkan banyak karya tulis, terutama tentang Al-Qur’an, antara lain Tafsir Al-Qur’an, Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh (Kitab mengenai Ayat yang Menghapuskan dan Dihapuskan Hukumnya).
Lainnya Kitab Jawaban Al-Qur’an, Kitab al-Muqaddam wa al-Mu’akhkhar fi Al-Qur’an (Buku tentang Ayat yang Terdahulu dan yang Kemudian Diturunkan), Kitab at-Tarikh (Buku Sejarah), Kitab al-Manasikh as-sagir (Buku Kecil tentang Ayat yang Dihapuskan), Kitab al-Manasikh al-Kabir (Buku Besar tentang Ayat yang Dihapuskan), Kitab al-‘Illah (Buku tentang Sebab Hukum), Kitab Ta‘at ar-Rasul (Buku mengenai Ketaatan kepada Rasul), Kitab as-Shalah, dan Kitab al-Wara‘ (Buku mengenai Ketakwaan).
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Ibn Hanbal Hayatuh wa Atsaruh wa Ara’uh wa Fiqhuh.Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
–––––––. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah as- Siyasah wa al-‘Aqa’id wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Mulya, 1957.
–––––––. Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Musdah Mulia