Hanafi, Mazhab

Salah satu aliran terkemuka dalam Islam adalah Mazhab Hanafi yang didirikan Abu Hanifah (699–767). Mazhab ini berkembang di Irak dan dikenal sebagai paling rasional. Mazhab Hanafi pernah menjadi mazhab resmi Abbasiyah dan Usmani. Ketika itu muncul berbagai soal hukum yang menuntut solusi, karena dalam Al-Qur’an dan hadis tidak jelas ketentuannya. Imam Hanafi pun berijtihad dengan menggunakan akal.

Abu Hanifah berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman serta ulama Mekah dan Madinah. Dari Hammad, ia mempelajari fikih ulama Irak yang merupakan saripati fikih Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‘ud (Ibnu Mas‘ud), dan fatwa an-Nakha’i.

Dari sini Abu Hanifah mempelajari berbagai metode fikih, yakni fikih Umar yang didasarkan pada maslahat dan fikih Ali yang didasarkan pada istinbat dan pencarian hakikat syarak (hukum Islam), kemudian ilmu Abdullah bin Mas‘ud yang didasarkan pada takhrij (pengeluaran riwayat), dan ilmu Ibnu Abbas tentang Al-Qur’an serta pendalamannya.

Sepeninggal gurunya, Hammad bin Abi Sulaiman, ia menggantikan kedudukannya sebagai pengajar. Dalam pengajarannya itu ia mengarah pada pencarian hakikat serta inti persoalan dan pengenalan terhadap ilat (alasan) serta hukum di balik teks yang tertulis. Ia mengajarkan penggunaan kias dan‘urf (kebiasaan, adat) sebagai dasar hukum dan penggunaan istihsan ketika keduanya tidak dapat dipergunakan.

Adapun metode istinbat, hukum yang digariskan dalam Mazhab Hanafi, didasarkan pada tujuh hal pokok.

(1) Al-Qur’an, merupakan pilar utama syariat dan sumber dari segala sumber hukum.

(2) Sunah, merupakan penjelasan dari Al-Qur’an dan perincian mujmal (umum)-nya.

(3) Fatwa sahabat (aqwal as-Sahabah), karena mereka merupakan penyampai risalah yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui munasabah (keserasian) antar-ayat Al-Qur’an serta hadis, dan pewaris ilmu dari Nabi SAW untuk generasi berikutnya. Sementara fatwa tabiin tidak mempunyai kedudukan seperti fatwa sahabat.

(4) Kias, digunakan jika tidak ada teks dari Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW serta fatwa sahabat. Kias adalah penyamaan hukum suatu persoalan yang tidak disebutkan secara tegas dalam teks dengan persoalan yang ditegaskan hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan ilat antara keduanya.

(5) Istihsan, yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika analogi (kias) yang tampak nyata menuju pada hukum lain yang menyalahinya, karena kias pada sebagian juz’iyah (Juz’iyah dan kulliyah) tidak tepat, atau kias itu berlawanan dengan nas.

(6) Ijmak, yaitu kesepakatan para mujtahid (ahli ijtihad) tentang suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.

(7) ‘Urf, yaitu adat kebiasaan (perbuatan) orang Islam dalam suatu masalah tertentu yang tidak disebut oleh atau belum ada dalam nas Al-Qur’an, sunah Nabi SAW, dan praktek sahabat.

Penyusun pendapat, fatwa, dan hadis dari Abu Hanifah adalah muridnya, yang kemudian menjadi pegangan dalam Mazhab Hanafi. Murid yang paling terkenal dan merupakan pengikut pandangan Mazhab Hanafi adalah antara lain:

(1) Ya’kub bin Ibrahim al-Ansari, yang terkenal dengan sebutan Abu Yusuf, penyusun Kitab al-Asa. Kitab ini berisi kumpulan masalah fikih yang diistinbatkan menurut metode Abu Hanifah dan menjelaskan kedudukan istinbat dan ijtihadnya.

Kitab lainnya, Ikhtilaf ibn Abi Laila, berisi kumpulan perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila (w. 148 H/765 M). Kitab ini merupakan pembelaan terhadap pendapat Abu Hanifah yang diriwayatkan dari Abu Yusuf oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.

(2) Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (132 H/750 M–189 H/805 M), yang sempat belajar kepada Abu Hanifah untuk beberapa saat dan menyempurnakannya pada Abu Yusuf. Atas bantuan Abu Yusuf, ia dianggap sebagai penyusun pertama masalah fikih Mazhab Hanafi.

Enam kitab yang disusunnya dipandang sebagai sumber pertama dalam masalah fikih, yaitu Kitab al-Asl atau al-Mabsuth, Kitab az-Ziyadah, Kitab al-Jami‘ as-sagir, Kitab al-Jami‘ al-Kabir, Kitab as-Sair as-Sagir, dan Kitab as-Sair al-Kabir. Selain itu, ia juga menulis dua kitab lainnya, yaitu Kitab ar-Radd ‘ala Ahl al-Madinah dan Kitab al-Asar.

Faktor pendorong pertumbuhan dan perkembangan Mazhab Hanafi antara lain adalah:

(1) banyaknya murid Abu Hanifah yang giat menyebarluaskan pendapatnya dan menjelaskan prinsip dasar mazhab fikihnya;

(2) datangnya generasi berikutnya, setelah masa muridnya, yang mengembangkan metode istinbat berdasarkan ilat (sebab) hukum yang kemudian mencocokkannya dengan setiap peristiwa pada setiap masa, lalu menyusun kaidah fikih yang mencakup berbagai masalah yang serupa; dan

(3) tersebarnya mazhab ini di berbagai negara yang mempunyai tradisi yang berbeda-beda, yang kemudian melahirkan putusan hukum menurut Mazhab Hanafi, karena mazhab ini diakui sebagai mazhab resmi pemerintahan Daulah Abbasiyah. Mazhab ini dapat bertahan selama lebih dari 500 tahun.

Mazhab Hanafi tersebar secara luas di berbagai negara yang berada di bawah kekuasaan Daulah Abbasiyah, Kerajaan Usmani Turki (Ottoman), daerah Asia Tengah (Anatolia, Transoksania, Turkistan), dan India. Mazhab ini tersebar juga di Suriah, bahkan pernah menjadi mazhab negara. Demikian juga di Mesir, Mazhab Hanafi pernah menjadi mazhab resmi negara dan semakin dikukuhkan sejak pemerintahan Muhammad Ali (1805–1849).

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah as-Siwa al-‘Aqa’id wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1957.
–––––––. Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Zuhad