Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh tasawuf dari Aceh yang menyebarkan paham wahdatul wujud Ibnu Arabi (sufi Andalusia; 1165–1240). Ia juga penyair yang memperkenalkan bentuk syair ke sastra Melayu. Namanya dikenal, tetapi riwayat hidup serta waktu dan tempat lahirnya tidak banyak diketahui. Ia berasal dari keluarga Fansuri di Fansur (Barus), Sumatera Utara.
Hamzah Fansuri diperkirakan telah menjadi penulis pada masa Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1589–1604). Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke berbagai kota di Nusantara (Kudus, Banten, dan Johor), Siam (Thailand), India, Persia, Irak, Arab Saudi (Mekah dan Madinah).
Seperti sufi lain, pengembaraannya bertujuan untuk mencari makrifat Allah SWT. Ketika pengembaraannya selesai, ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu ke Kutaraja (Banda Aceh). Kemudian ia mendirikan dayah (pesantren) di Oboh Simpangkanan, Singkel.
Riwayat hidupnya yang sedikit itu dan pengembaraannya ke banyak tempat diketahui melalui syairnya. Syair Hamzah Fansuri merupakan syair Melayu tertua.
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh aliran wujudiyyah (penganut paham wahdatul wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani (syaikhul Islam Kesultanan Aceh). Syamsuddin kerap kali mengutip ungkapan Hamzah Fansuri. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniri, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Sani (1636–1641).
Dapat dikatakan bahwa karya tulis Hamzah Fansuri merupakan peletak dasar bagi peran bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki. Karya Hamzah tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607–1636) yang mengirimkan kitab Hamzah Fansuri antara lain ke Malaka, Kedah, Sumatera Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makassar, dan Ternate.
Karya syairnya meliputi antara lain Syair Burung Pingai, Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Adapun yang berbentuk prosa mencakup antara lain Asrar al-‘Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid (Keterangan mengenai Perjalanan Ilmu Suluk dan Keesaan Allah) dan Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Orang yang Cinta kepada Tuhan). Karya puisinya tergabung dalam kitab Ruba’i. Karya ini kemudian disyarah (diulas) oleh as-Sumatrani.
Kecuali Syair Dagang, syair Hamzah Fansuri bersifat mistis dan melambangkan hubungan Tuhan dengan manusia. Syair Dagang bercerita tentang kesengsaraan seorang anak dagang yang hidup di rantau. Syair ini menjadi contoh syair dagang yang lahir kemudian.
Syair Burung Pingai bercerita tentang burung pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga Tuhan. Dalam syair ini, Hamzah Fansuri mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dan banyak. Yang Esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka.
Adapun Syair Perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh mara bahaya. Jika berpegang kuat pada keyakinan la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah), manusia dapat mencapai suatu tahap yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya.
Prosa Asrar al-‘Arifin fi Bayan Ilm as-Suluk wa at-Tauhid antara lain berisi pandangan Hamzah Fansuri tentang makrifat Allah SWT, sifat-Nya, dan asma-Nya. Dalam karya ini ia juga mengatakan bahwa pada dasarnya syariat, hakikat, dan makrifat adalah sama; barangsiapa yang mengenal syariat juga akan mengenal hakikat dan makrifat sekaligus.
Syarab al-‘Asyiqin juga sering disebut Asrar al-‘Asyiqin (Rahasia Orang yang Mencintai Tuhan) dan Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Orang yang Mengesakan Tuhan).
Buku ini berisi antara lain tentang perbuatan syariat, perbuatan tarekat, perbuatan hakikat, perbuatan makrifat, kenyataan zat Tuhan, dan sifat Allah SWT. Di sini Hamzah Fansuri memandang Tuhan sebagai Yang Maha Sempurna, Yang Mutlak. Dalam kesempurnaan itu, Tuhan mencakup segalanya. Jika tidak mencakup segala-galanya, Tuhan tidak dapat disebut Maha Sempurna dan Maha Mutlak. Karena Tuhan mencakup segalanya, manusia juga termasuk dalam Tuhan.
Pandangan Hamzah Fansuri tentang Tuhan dan makhluk inilah yang ditentang Nuruddin ar-Raniri. Hamzah Fansuri dianggap menyebarkan ajaran panteisme. Sebenarnya, Hamzah Fansuri kerap kali menampilkan aspek tasybih (keserupaan/kemiripan) antara Tuhan dan alam ciptaan-Nya, namun dalam karyanya ia juga menunjukkan adanya tanzih (perbedaan) antara Tuhan dan makhluk.
Daftar Pustaka
Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas, t.t.
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991.
–––––––. Tafsir Puisi Hamzah Fansuri dan Karya-karya Shufi. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991.
al-Attas, Syed Muhammad Naguib. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University Malaya Press, 1970.
–––––––. “Hamzah Fansuri,” The Penguin Companion to Literatur, Classical and Byzantine, Oriental and African, Vol. 4, London, 1969.
Brakel, L. F. “Hamza Fansuri,” JMBRAS, Vol. 52, 1979.
Drewes, G. W. J. dan L. F. Brakel. The Poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht-Holland/ Cinnaminson USA: Foris Publications, 1986.
Hadi W.M., Abdul. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan, 1995.
–––––––. “Syeikh Hamzah Fansuri,” Ulumul Qur’an, Vol. V, No. 3, 1994.
Ade Armando