Hak

(Ar.: al-Haqq)

Secara semantis al-haqq berarti “milik, harta, dan sesuatu yang ada serta pasti”, seperti tercantum dalam surah Yasin (36) ayat 7 yang berarti: “Sesungguhnya telah pasti berlaku (Haqq) perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, tetapi mereka tidak beriman.”

Para fukaha (ahli fikih) berbeda pendapat tentang pengertian hak. Menurut sebagian ulama, pengertian hak mencakup hal yang bersifat materi, sementara di pihak lain ada ulama yang mengaitkannya dengan hal yang bersifat nonmateri, seperti pada istilah “hak Allah SWT” dan “hak hamba”.

Ada pula yang mengartikan hak sebagai hak atas harta benda dan segala sesuatu yang lahir dari suatu akad (perjanjian), seperti akad jual beli. Pada akad jual beli, hukumnya adalah pemindahan kepemilikan benda yang diperjualbelikan, sedangkan haknya adalah penyerahan barang dan harga.

Ibnu Nujaim (seorang ahli fikih) mendefinisikan hak sebagai suatu kekhususan yang terlindung. Artinya, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu atau kaitan seseorang dengan orang lain tidak dapat diganggu gugat.

Para ahli usul fikih membahas pengertian hak ini ketika membicarakan perbuatan mukalaf yang berkaitan dengan tuntutan syarak (hukum Islam). Mereka membaginya atas dua bagian, yaitu hak Allah SWT dan hak hamba (adami). Yang dimaksud dengan hak Allah SWT di sini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum, tanpa adanya kekhususan bagi seseorang.

Kepentingan umum dinamakan hak Allah SWT karena mengandung manfaat dan juga risiko besar, sedangkan yang dimaksud dengan hak pribadi adalah hak yang berkaitan dengan kemaslahatan pribadi seseorang.

Berkenaan dengan soal pengertian hak, Fathi ad-Duraini (ahli fikih) mengemukakan bahwa hak adalah suatu kekhususan kekuasaan terhadap sesuatu atau keharusan penunaian terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan tertentu. Yang dimaksud dengan kekhususan di sini adalah kekhususan hubungan antara seseorang dan orang lain atau hubungan seseorang dan sesuatu.

Dengan demikian dalam definisi ini tercakup dua hak, yaitu hak Allah SWT dan hak manusia atau subjek hukum yang secara maknawi dikenal dengan badan hukum, seperti negara, wakaf, dan baitul mal. Dengan demikian hak yang bersifat umum bukanlah termasuk suatu kekhususan untuk pribadi, tetapi digunakan untuk kepentingan umum, seperti air yang mengalir di sungai.

Kekhususan terhadap sesuatu tersebut harus diakui oleh syarak. Dengan demikian, pemilikan sesuatu tanpa pengakuan syarak tidaklah dinamakan hak, misalnya seperti hasil curian dan rampasan. Jika pencurian itu tidak diketahui orang, barang curian itu berada pada tangan si pencuri dan secara de facto menjadi hak milik si pencuri.

Tetapi, karena hak ini tidak diakui syarak, maka kekhususan kaitan antara pencuri dan barang curian tersebut tidak dinamakan hak. Kalimat penunaian yang ada dalam definisi di atas mengandung dua pengertian, yaitu yang berbentuk positif, yakni melakukan sesuatu, atau yang berbentuk negatif, yakni tidak melakukan sesuatu.

Menurut fungsinya, hak merupakan perantara untuk mencapai kemaslahatan tertentu. Hak itu sendiri bukanlah suatu maslahat, tetapi merupakan jalan untuk mencapai suatu kemaslahatan. Dengan demikian suatu hak tidak boleh digunakan untuk merugikan orang lain, karena merugikan orang lain bukanlah suatu kemaslahatan.

Dalam hal inilah para fukaha membuat kaidah yang berbunyi la dharara wa la dhirar. Maksudnya, dalam menggunakan haknya, seseorang tidak boleh merugikan orang lain, dan ia tidak boleh pula dirugikan orang lain. Kaidah ini diambil dari hadis Nabi SAW.

Selain itu hak tersebut tidak boleh digunakan untuk tujuan yang tidak diakui syarak. Misalnya, berdasarkan hak yang dimilikinya, seseorang sampai mengharamkan riba atau menggugurkan zakat dengan cara melakukan hibah sebelum sampai haulnya (masa satu tahun).

Jumlah dan bentuk hak pribadi tersebut cukup banyak, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Penentuan kekhususan hak tersebut diperoleh manusia melalui ketentuan syarak. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat digugurkan orang lain, kecuali dengan cara yang dibenarkan syarak pula.

Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai hak atas sebidang tanah berdasarkan transaksi yang dilakukannya dengan orang lain secara sah, hak miliknya terhadap tanah tersebut tidak dapat digugurkan orang lain, kecuali dengan cara yang dibenarkan syarak pula. Misalnya, tanah itu dijual, diwakafkan, atau diambil oleh pemerintah karena dibutuhkan.

Dalam hal yang tersebut terakhir ini tentu gunanya adalah untuk kepentingan umum. Pengambilan hak atas milik seseorang oleh pemerintah dapat dibenarkan oleh syarak dalam bentuk dan cara yang wajar dan demi kepentingan masyarakat umum. Hal ini tentunya bisa dilakukan dengan ganti rugi dari pihak pemerintah kepada pemilik tanah secara wajar.

Contoh lain adalah hak warisan. Jika seseorang membunuh ayahnya, secara hukum ia mendapatkan harta warisan dari harta yang ditinggalkan ayahnya tersebut. Hak waris ini ditetapkan berdasarkan syarak.

Tetapi karena kematian ayahnya disebabkan oleh perbuatan anak itu sendiri, syarak menggugurkan hak warisan anak tersebut, karena dalam salah satu hadis Nabi SAW dikatakan: “Orang yang membunuh tidak berhak mendapatkan waris” (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, dan Ahmad bin Hanbal). Dari prinsip syarak inilah muncul kaidah fikih yang berbunyi: “Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka ia diganjari dengan ketidakberhakannya (terhadap sesuatu tersebut)”.

Maksudnya, dalam contoh pembunuhan dan hak waris di atas, karena ingin cepat mendapatkan warisan dari ayahnya, si anak membunuh ayahnya. Dalam tindakan seperti ini haknya tersebut digugurkan oleh syarak. Dengan demikian, hak hanyalah berfungsi untuk mencapai kemaslahatan yang diakui syarak, dengan cara yang diakui syarak, dan dipergunakan untuk jalan yang z syarak pula.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
ad-Duraini, Fathi. al-Haqq wa Mada Sulthan ad-Daulah fi Taqyidih. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1977.
–––––––. Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islami al-Muqaran. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1977.
–––––––. Nazariyyah at-Ta’assuf fi Isti‘mal al-Haqq. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1977.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.

Nasrun Haroen