Segala hak yang dimiliki manusia serta melekat pada dirinya karena ia manusia disebut hak asasi manusia (HAM). Hak ini bersifat asasi karena mutlak perlu agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita, serta martabatnya. Hak ini juga bersifat universal tanpa membedakan negara, bangsa, ras, suku, agama, jenis kelamin, dan lain-lain.
Konsep hak asasi manusia (HAM) lahir dari dan dipengaruhi oleh pandangan hukum kodrat (natural law). Wacana tentang HAM muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-17 yang ditandai dengan kemunculan Habeas Corpus Act (1679), sebuah dokumen bersejarah yang menjamin kemerdekaan warga negara Inggris terhadap berbagai penangkapan sewenang-wenang: penahanan dalam kurungan harus didahului surat perintah hakim; orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu 3 hari kepada seorang hakim; dan orang yang ditahan harus diberitahukan tuduhan penahanannya.
Juga, muncul Bill of Rights, sebuah dokumen yang memberikan hak rakyat Inggris dalam parlemen Inggris pada masa Raja Willem III pada 1689.
Jauh sebelum konsep HAM diformulasikan dalam kedua dokumen tersebut, sebenarnya sudah ada beberapa dokumen hukum yang dipandang memberikan kontribusi dalam pengembangan konsep perlindungan HAM, antara lain Kode Hukum Hammurabi (abad ke-8 SM); di kalangan umat Islam, Piagam Madinah pada 622, masa Nabi SAW di Madinah; dan Magna Charta Libertatum di Inggris (1215).
Hak asasi manusia sebagai hak dasar diberikan kepada manusia, karena martabat kemanusiaannya semakin menemukan momentum setelah diproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948.
DUHAM merupakan hasil kerja Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) yang dibentuk pada 1946. Meskipun bukan berupa ketetapan hukum yang mengikat –karena hanya sebatas deklarasi– DUHAM memiliki pengaruh signifikan dalam standarisasi pelaksanaan HAM di negara-negara dunia, tak terkecuali Indonesia.
Dalam rangka pemberian perlindungan HAM, Indonesia telah melakukan ratifikasi beberapa konvensi HAM dalam perundang-undangan. Dan secara spesifik rumusan HAM di Indonesia telah dimasukkan dalam UUD 1945 hasil amandemen kedua pada pasal 28 dan dijelaskan secara terperinci dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
Diskursus mengenai HAM dalam dunia pemikiran Islam berkembang merespons klaim universalisme HAM yang dideklarasikan DUHAM. Setidaknya ada dua kelompok besar yang muncul dalam dunia pemikiran Islam mengenai konsep HAM.
Pertama, kelompok yang menolak klaim universalisme HAM. Argumen kelompok ini dibangun atas postulat:
(1) HAM tidak dapat diterima begitu saja antarsatu negara dengan negara lain. Setiap negara mempunyai ciri, sejarah, norma, dan nilai yang berbeda; karena itu, HAM tidak dapat berlaku secara umum di luar konteks suatu negara tertentu. DUHAM adalah produk Barat dengan konteks sosial, politik, dan bu daya yang berbeda dari dunia Islam.
(2) Islam adalah ya‘lu wa la yu‘la ‘alaih (tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya). Islam merupakan agama yang sempurna dan holistik (kaffah). Konsep HAM yang tertuang dalam DUHAM dianggap tidak sesuai dengan konsep Islam, dan Islam mempunyai konsep HAM tersendiri.
Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa HAM berlaku secara universal. Menurut mereka ini, HAM bersifat sangat mendasar dan bersumber dari keadaan alamiah manusia karena kemanusiaannya.
Ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT pada prinsipnya bertujuan untuk melindungi dan menjaga nilai mendasar tersebut yang dalam bahasa Islam disebut fitrah. Nilai HAM yang tertuang dalam DUHAM sama sekali tidak bertentangan dengan konsepsi Islam. Nilai tersebut bersifat universal dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu, karena bersumber dan berasal dari fitrah manusia.
Rumusan HAM dalam DUHAM hanyalah merupakan ikhtiar manusia untuk memelihara fitrah kemanusiaannya dalam segala tempat dan konteks. Hal ini secara substansial sejalan dengan semangat ajaran dan nilai Islam.
Sebagai agama universal yang berbasis pada kemas lahatan manusia, konsep HAM pada dasarnya merupakan konsep built in dalam Islam. Menurut Harun Nasution (1919–1998), tokoh pembaru Islam Indonesia dan ahli filsafat Islam, dalam konsep tauhid yang merupakan esensi sekaligus pintu masuk dalam Islam terkandung nilai kesetaraan dan kemanusiaan.
Tauhid menegaskan bahwa semua manusia dan makhluk sama di hadapan Tuhan, dan hanya Tuhan yang berhak diagungkan. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan yang diberikan Allah SWT dalam Al-Qur’an, misalnya surah an-Nisa’ (4) ayat 1, surah al-A‘raf (7) ayat 189, surah al-Hujurat (49) ayat 10 dan 13.
Terdapat banyak ayat dan hadis lain yang menerangkan tentang hak kemanusiaan yang harus dilindungi dan dijaga, misalnya surah al-Baqarah (2) ayat 256 menerangkan hak kebebasan untuk memilih agama; surah al-Baqarah (2) ayat 279 dan surah al-Balad ((90) ayat 13 mengajarkan musawah (equality); dan surah an-Nisa’ (4) ayat 58 dan 135 serta surah al-Ma’idah (5) ayat 8 menjelaskan tentang persamaan hak di muka hukum (equality before the law).
Nabi SAW dalam masa hidupnya telah memberikan teladan dan ajaran dalam menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan. Piagam Madinah merupakan salah satu langkah konkret yang dicontohkannya untuk menjaga perdamaian dan memberikan hak persaudaraan dan persamaan antara kaum muslim Madinah dan kabilah nonmuslim.
Hadis Nabi SAW yang menunjukkan konsistensi dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan ada lah: “Demi Tuhan yang ditangan-Nya terletak kehidupanku, andai kata anak perempuanku Fatimah melakukan pencurian, tentu akan saya potong tangannya” (HR. Bukhari).
Nabi SAW juga mengatakan, “Tidak lebih mulia orang Arab dari orang non-Arab atau sebaliknya, orang berwarna dari orang putih atau sebaliknya, kecuali karena takwanya” (HR. Muslim).
Dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW itu kemudian dideduksi sebuah konsep HAM Islam yang sudah dikenal dalam teori usul fikih dengan nama ad-daririyyat al-khamsah (perlindungan atas lima hal). Konsep ini meliputi perlindungan terhadap agama (ad-din), harta (al-mal), jiwa serta martabat manusia (an-nafs wa al-‘ird), pemikiran (al-‘aql), dan keturunan (an-nasl).
Kelima hal pokok ini harus dijaga oleh individu umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi berdasarkan penghormatan antara individu dan individu, individu dan masyarakat, masyarakat dan masyarakat, masyarakat dan negara, serta satu komunitas agama dan agama lain.
Penamaan ad-daruriyyat al-khamsah dalam konteks ini mengandung arti bahwa penjagaan kelima unsur di atas tidak bersifat pasif, tetapi aktif. Karena pemeliharaan kelimanya tidak sekadar sebagai sebuah hak (al-huquq), tetapi lebih dari itu sebagai sebuah kewajiban (daruriyyat).
Perjuangan untuk merumuskan dan memformulasi HAM Islam tersendiri di dunia muslim yang diperjuangkan oleh kelompok pertama di atas termanifestasi dalam dua konferensi dunia Islam yaitu Konferensi Islam di Mekah (1981) dan di Mesir (1990) yang melahirkan Deklarasi Cairo.
Kelahiran Deklarasi Cairo, selain didasarkan pada semangat untuk merumuskan HAM Islam, juga didasarkan pada fakta bahwa negara muslim, yang mayoritas negara dunia ketiga, adalah negara yang banyak mendapatkan perlakuan tidak adil dari Barat dalam pelaksanaan HAM.
Ada makna perlawanan simbolis dalam Deklarasi Cairo terhadap hegemoni Barat terhadap dunia Islam. Hasil rumusan HAM dalam Deklarasi Cairo mencakup berbagai hak, antara lain:
(1) hak persamaan dan kebebasan (pasal 19 ayat a, b, c, d, dan e): surah an-Nisa’ (4) ayat 8, 105, 107, 135; surah al-Isra’ (17) ayat 70; dan surah al-Mumtahanah (60) ayat 8;
(2) hak hidup (pasal 2 ayat a, b, c, dan d): surah al-Ma‘idah (5) ayat 45 dan surah al-Isra’ (17) ayat 33;
(3) hak memperoleh perlindungan (pasal 3): surah at-Taubah (9) ayat 6; surah al-Insan (76) ayat 8; dan surah al-Balad (90) ayat 12–17;
(4) hak kehormatan pribadi (pasal 4): surah at-Taubah ayat 6;
(5) hak menikah dan berkeluarga (pasal 5: a dan b): surah al-Baqarah (2) ayat 221; surah an-Nisa’ (4) ayat 1; surah ar-Rum (30) ayat 21; dan surah at-Tahrim (66) ayat 6;
(6) hak kebebasan memilih agama (pasal 10): surah al-Baqarah (2) ayat 56; surah al-Kahfi (18) ayat 29; dan surah al-Kafirun (109) ayat 1–6;
(7) hak bekerja (pasal 13): surah al-Baqarah (2) ayat 286; surah at-Taubah (9) ayat 105; dan surah al-Mulk (67) ayat 15;
(8) hak kebebasan bertindak dan mencari suaka (pasal 12): surah an-Nisa’ (4) ayat 97 dan surah al-Mumtahanah (60) ayat 9;
(9) hak milik pribadi (pasal 15 ayat a dan b): surah al-Baqarah (2) ayat 29 dan surah an-Nisa’ (4) ayat 29; dan
(10) hak tahanan dan narapidana (pasal 20–21): surah al-Mumtahanah (60) ayat 8.
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1999.
Haroen, Nasrun, et al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997.
Suseno, Franz von Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1997.
Ubaidillah, et al. Civic Education (Pendidikan Kewargaan). Jakarta: IAIN Press, 2000.
Ahmadie Thaha