Haji

(Ar.: al-Hajj)

Secara kebahasaan, al-hajj berarti “menyengaja” atau “menuju”. Dalam terminologi Islam, al-hajj berarti “perjalanan mengunjungi Ka’bah pada bulan tertentu untuk melakukan ibadah haji serta memenuhi panggilan Allah SWT”. Haji diwajibkan sejak tahun 9 H/631 M, ketika umat muslim pertama kali beribadah haji. Haji mengajarkan persaudaraan, perjuangan, kesabaran, kerelaan berkorban, dan kepedulian.

Haji merupakan rukun Islam kelima. Secara hukum ibadah haji wajib dilakukan sekali seumur hidup oleh setiap orang yang beragama Islam yang mempunyai kesanggupan (QS.3:97). Pelaksanaan haji lebih dari sekali adalah sunah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA yang berarti:

“Rasulullah SAW berkhotbah kepada kami, beliau berkata, ‘Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan haji atas kamu sekalian.’ Lalu al-Aqra bin Jabis berdiri, kemudian berkata, ‘Apakah kewajiban haji setiap tahun ya Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Sekiranya kukatakan ya, tentulah menjadi wajib, dan sekiranya diwajibkan, engkau sekalian tidak akan melakukannya, dan pula tidak akan mampu. Ibadah haji itu sekali saja. Siapa yang menambahi itu berarti perbuatan sukarela saja.’”

Adapun waktu pelaksanaan haji didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 197 yang berarti: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji….”

Kemudian para ulama sepakat bahwa pelaksanaan haji jatuh pada bulan Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah.

Syarat, Rukun, dan Wajib Haji. Syarat supaya dapat melakukan ibadah haji adalah
(1) Islam,
(2) akil balig,
(3) berakal (tidak gila),
(4) orang merdeka, dan
(5) mampu dalam segala hal, misalnya dalam hal biaya, kesehatan, keamanan, dan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan.

Adapun rukun haji adalah perbuatan yang wajib dilakukan. Rukun haji tersebut adalah
(1) ihram,
(2) wukuf di padang Arafah (sebelah timur kota Mekah),
(3) tawaf ifadah,
(4) sai (lari) antara Safa dan Marwah,
(5) mencukur rambut kepala atau memotongnya sebagian, dan
(6) tertib (pelaksanaannya berurutan dari nomor 1 sampai 5). Jika salah satu rukunnya ditinggalkan, maka hajinya tidak sah.

Wajib haji adalah perbuatan yang wajib dilakukan dalam melaksanakan ibadah haji. Adapun wajib haji adalah

(1)  memulai ihram dari miqat (batas waktu dan tempat yang ditentukan untuk melakukan ibadah haji dan umrah),
(2) melempar jumrah,
(3) mabit (menginap) di Muzdalifah (Mekah),
(4) mabit di Mina, dan
(5) tawaf wadak (perpisahan). Jika salah satu wajib haji ditinggalkan, ibadah hajinya tetap sah tetapi harus membayar dam (denda).

Pelaksanaan Ibadah Haji (Manasik Haji). Adapun tata cara manasik haji adalah sebagai berikut:

(1) Melakukan ihram dari miqat yang telah ditentukan. Ihram dapat dimulai sejak awal bulan Syawal dengan melakukan mandi sunah, berwudu, memakai pakaian ihram, salat sunah ihram, dan berniat haji dengan mengucapkan: Labbaik Allahumma hajjan (aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji).

Kemudian jemaah haji berangkat menuju Arafah dengan membaca talbiah (menyatakan niat): Labbaik Allahumma labbaik, labbaik la syarika laka labbaik, inna al-hamda wa an-ni‘mata laka wa al-mulk la syarika laka (aku di sini, wahai Allah, aku di sini di hadapan Engkau; tak ada sekutu bagi engkau, aku di sini; sesungguhnya segala puji adalah kepunyaan Engkau, segala kenikmatan adalah kepunyaan Engkau, kerajaan adalah kepunyaan Engkau, dan tak ada sekutu bagi Engkau).

(2) Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah. Waktunya dimulai setelah matahari tergelincir sampai terbit fajar pada hari nahar (hari menyembelih kurban) tanggal 10 Zulhijah. sekurang-kurangnya tiga helai rambut. Dengan demikian, seluruh perbuatan yang dilarang selama ihram telah dihapus­ kan, sehingga semuanya halal untuk dilakukan­. Selanjutnya mereka kembali ke Mina sebelum­ matahari­ terbenam untuk mabit (bermalam) di sana.

Ketika wukuf, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu: salat jamak­ takdim (pembukaan) dan qasar zuhur-asar, berdoa, berzikir, membaca Al-Qur’an, salat jamak­ takdim, dan qasar magrib-isya.

(3) Mabith (menginap) di Muzdalifah walaupun sebentar. Waktunya sesaat setelah tengah malam sampai sebelum terbit fajar. Di sini jemaah haji mengambil batu kerikil sejumlah 49 butir atau 70 butir untuk melontar jumrah di Mina dan melakukan salat subuh di awal waktu, lalu melanjutkannya dengan berang­kat­ menuju Mina.

Kemudian jemaah haji berhenti sebentar di masy‘ar al-haram (monumen suci) atau Muzdalifah­ untuk berzikir kepada Allah SWT (QS.2:198), dan mengerjakan salat subuh ketika fajar telah menyingsing pada tanggal 10 Zulhijah.

(4) Melontar jumrah ‘aqabah (tempat untuk melempar batu yang terletak di bukit Aqabah) pada 10 Zulhijah dengan 7 butir kerikil, kemudian menyembelih kurban.

(5) Tahalul (berlepas diri dari ihram haji sesudah­ selesai mengerjakan amalan haji) awal yang dilaksanakan­ setelah melontar jumrah ‘aqabah­ dengan cara mencukur/meng­gunting rambut seku­rang-kurangnya tiga helai.

Setelah tahalul jemaah haji boleh memakai­ pakaian biasa dan melakukan­ semua­ perbuatan yang dilarang selama ihram, kecuali berhubungan seks. Yang akan melaksanakan tawaf ifadhah pada hari itu dapat langsung pergi ke Mekah untuk tawaf.

Dengan membaca talbiah, jemaah haji masuk­ ke Mas­jidilharam melalui Babussalam (Pintu Salam yang terdapat di Masjidilharam) dan melakukan­ tawaf ifadhah. Selesai­ tawaf dis­ unahkan mencium Hajar Aswad (batu hitam), lalu salat sunah dua rakaat di dekat Maqam Ibrahim, berdoa di Multazam, dan salat sunah dua rakaat di hijir Isma‘il (terdapat dalam kompleks Masjidilharam).

Kemudian jemaah haji melakukan­ sai antara Safa dan Marwah yang dimulai di Bukit Safa dan berakhir di Bukit Marwah. Setelah sai, mereka melanjutkan­ nya dengan tahalul kedua,­ yaitu mencukur/menggun­ting­ sekurang-kurangnya tiga helai­ rambut.

Dengan­ demikian,­ selu­ruh perbuatan yang dilarang selama ihram telah dihapus­kan, sehingga­ semuanya­ halal untuk dilakukan­. Selanjutnya mereka kembali ke Mina sebelum­ matahari­ terbenam untuk mabit (bermalam) di sana.

(6) Bermalam di Mina pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah) dan setiap siang pada hari tasyrik melontar­ jumrah ula, wustha, dan ‘aqabah masing-masing tujuh kali. Bagi yang menghendaki­ nafar awwal (meninggal­kan­ Mina tanggal 12 Zulhijah setelah jumrah sore hari), melontar jumrah dilakukan­ pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah saja.

Tetapi bagi yang menghendaki nafar akhir atau nafar Tsani (meninggalkan Mina tanggal 13 Zulhijah setelah jumrah sore hari), melontar jumrah dilakukan­ selama 3 hari (11, 12, dan 13 Zulhijah). Dengan selesainya melontar jumrah maka selesai­lah­ seluruh rangkaian kegiatan ibadah haji dan jemaah haji kembali ke Mekah.

(7) Jemaah yang belum me­laksa­nakan­ tawaf ifadha ketika berada di Mekah, harus melakukan­ tawaf ifadha dan sai. Kemu­ dian jemaah melakukan tawaf wadak se­belum mening­galkan Mekah untuk kembali ke kampung halamannya.

Umrah.

Umrah berarti “berkunjung” atau “berziarah”. Set­iap orang yang melakukan ibadah haji wajib me­lakukan um­rah, yaitu perbuatan ibadah yang me­rupakan kesatuan dari ibadah haji.

Pelaksana­an umrah ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam­ surah al-Baqarah (2) ayat 196 yang berarti: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah….” Adapun mengenai hukum umrah ada perbedaan pen­dapat.

Menurut Imam Ahmad dan Imam Sya­fi‘i, hukum­nya wajib. Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, hukumnya sunah mu’akkad (sunah­ yang dipentingkan). Umrah diwajibkan­ bagi setiap muslim hanya satu kali, tetapi melakukan umrah berkali-kali disukai juga, terlebih lagi jika dilakukan pada bulan Ramadan.

Hal ini didasarkan­ pada hadis Nabi SAW yang riwayatkan oleh Imam Muslim yang berarti: “Umrah di dalam bulan Ramadan itu sama dengan melakukan haji sekali.”

Pelaksanaan Umrah. Tata cara pelaksanaan ibadah umrah adalah: mandi, berwudu, di miqat memakai pakaian ihram, salat sunah ihram dua rakaat, niat umrah dengan membaca Labbaik Allahumma ‘umrat (an) (aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk umrah), membaca talbiah serta doa, memasuki Masjidilharam, tawaf, sai antara Safa dan Marwah, serta tahalul.

Syarat, Rukun, dan Wajib Umrah.

Syarat untuk­ melakukan­ umrah sama dengan syarat dalam melakukan ibadah haji. Adapun rukun umrah adalah (1) ihram, (2) tawaf, (3) sai, (4) mencukur rambut kepala atau memotongnya,­ dan (5) tertib (dilaksanakan secara berurutan). Se­mentara itu, wajib umrah hanya satu, yakni melalui­ ihram dari miqat.

Larangan dalam Haji dan Umrah.

Hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sudah memakai pakaian ihram dan sudah berniat melakukan­ ibadah haji/umrah adalah:

(1) mela­kukan­ hubungan seksual atau apa saja yang meng­ antar­ pada perbuatan hubungan seksual;
(2) melaku­kan­ perbuatan tercela dan maksiat;
(3) bertengkar de­ngan orang lain;
(4) memakai pakaian yang berjahit (bagi laki-laki);
(5) mempergunakan­ wewa­ngi­an;­
(6) memakai­ khuff (kaus kaki atau sepatu yang menutupi mata kaki);
(7) me­lakukan akad nikah (menikah);
(8) me­motong kuku;
(9) mencukur atau mencabut rambut;
(10) memakai pa­kaian yang di­celup yang mempunyai bau harum;
(11) membunuh binatang­ buruan; dan
(12) memakan­ daging bina­tang­ buruan.

Macam Haji.

Ditinjau dari cara pelaksanaannya,­ ibadah haji ada tiga macam.

(1) Haji ifrad, yaitu membedakan haji dan umrah; ibadah haji dan umrah masing-masing dikerja­kan tersendiri. Dalam pelaksanaannya, ibadah haji dilakukan terlebih­ dahulu, setelah selesai baru umrah. Cara pelaksanaan haji ifrad adalah:

(a) ihram dari miqat untuk haji dan

(b) ihram lagi dari miqat untuk umrah serta melaksanakan seluruh­ pek­erjaan umrah. Semua ini dikerjakan setelah menye­lesaikan semua pekerjaan haji dan masih dalam bulan haji.

(2) Haji tamattu‘ (bersenang-senang) adalah melakukan umrah terlebih dahulu pada bulan haji dan setelah selesai baru melakukan haji. Cara pelaksanaannya adalah:

(a) melakukan ihram dari miqat untuk umrah (dikerjakan setelah masuk bulan haji) dan

(b) melaksanakan haji setelah­ menyelesaikan­ semua pekerjaan umrah, ke­duanya dikerjakan pada musim haji tahun yang bersangkutan juga. Orang yang mengerjakan haji dengan cara tamattu‘ wajib membayar hadyu atau dam (denda), yakni dengan menyembelih­ seekor kambing.

Jika tidak mampu membayar dam dapat menggantinya dengan puasa 10 hari, yaitu 3 hari ketika masih di tanah haram (suci) dan 7 hari setelah kembali di tanah airnya.

(3) Haji qiran (bersama-sama) adalah melaksa­nakan ibadah haji dan umrah secara bersamaan­. Cara mengerjakannya­ ada­lah:

(a) melakukan ihram dari miqat dengan niat untuk haji serta umrah sekaligus­ dan

(b) melakukan semua pekerjaan haji. Dengan cara ini, berarti seluruh pekerjaan umrahnya sudah tercakup dalam pekerjaan haji. Dasar pelaksanaan haji qiran adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 196 yang berarti: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah….”

Yang melakukan ihram untuk haji dan umrah bersama-sama (qiran) cu­kup melaku­kan tawaf satu kali dan sai satu kali sehingga dapat mengerjakan tahalul untuk keduanya­. Orang yang melakukan haji qiran wajib membayar dam dengan menyembelih seekor kambing. Jika tidak sang­gup membayar dam, dapat­ menggantinya dengan berpuasa 3 hari di tanah suci dan 7 hari setelah kembali ke keluarganya.

Amalan Haji dan Umrah.

Adapun pengertian amalan da­lam ibadah haji dan umrah dijelaskan sebagai berikut:

(1) Miqat adalah batas waktu dan tempat me­lakukan ibadah haji dan umrah. Miqat terdiri dari miqat zamani dan miqat makani. Miqat zamani adalah waktu ketika ibadah haji sudah boleh dilaksanakan­.

Berdasarkan kesepakatan­ ulama yang bersumber dari sunah Rasulullah SAW, miqat zamani jatuh pada bulan Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah (sam­pai tanggal 10 saja). Miqat makani adalah­ tempat mulainya ibadah haji dilaksana­kan. Adapun miqat makani adalah:

(a) dari Zulhulaifah atau Bir ‘Ali bagi orang yang berangkat­ dari arah Madinah (450 km dari Mekah);

(b) dari al-Juhfah atau Rabig bagi orang yang datang dari arah Suriah, Mesir, dan wilayah Magribi (204 km dari Mekah);

(c) dari Yalamlam (sebuah gunung­ yang terletak 94 km selatan Mekah) bagi orang yang datang dari arah Yaman;

(d) dari Qarnul Manazil, bagi orang yang datang dari arah Nejd (94 km sebelah timur Mekah); dan

(e) dari Zatu Irqin (94 km sebelah timur Mekah) bagi orang yang datang dari arah Irak.

(2) Ihram adalah niat melakukan ibadah haji/umrah atau niat melakukan keduanya bersama-sama dan mema­kai pa­kaian ihram. Bagi laki-laki, pakaian ihram adalah dua helai pakaian tak berjahit, sehelai untuk menutup badan bagian atas dan sehelai lagi untuk menutup badan bagian bawah­.

Kepala tidak ditutup dan dikenakan alas kaki yang tidak me­nutup mata kaki. Adapun pakaian ihram wanita adalah kain yang berjahit dan me­nutup se­luruh tubuh kecuali wajah. Sunah ihram adalah memotong kuku, kumis, rambut ketiak, rambut kemaluan,­ dan mandi. Kemudian dilakukan­ salat sunah ihram dua rakaat (sebelum ihram), membaca talbiah, selawat, dan istigfar (sesudah ihram dimulai).

(3) Tawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Tawaf dimulai dari arah yang sejajar dengan Hajar Aswad dan Ka’bah selalu ada di sebelah­ kirinya. Adapun syarat tawaf adalah:

(a) suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis;

(b) menu­tup aurat;

(c) mela­kukan tujuh kali putaran berturut-turut;

(d) mulai dan mengakhiri tawaf di tempat yang sejajar dengan Hajar Aswad;

(e) Ka’bah selalu di sebelah kirinya; dan (f) bertawaf­ di luar Ka’bah.

Adapun sunah tawaf adalah:

(a) menghadap Hajar Aswad ketika memulai tawaf;

(b) berjalan kaki;

(c) al-idtiba (meletak­ kan pertengahan kain ihram di bawah ketiak tangan kanan dan kedua ujungnya di atas bahu kiri);

(d) menyentuh Hajar Aswad atau memberi isyarat ketika mulai­ tawaf;

(e) niat. Niat untuk tawaf yang terkandung­ dalam­ ibadah haji tidak wajib secara hukum karena niatnya­ sudah terkandung dalam niat ihram haji. Tetapi kalau tawaf itu bukan dalam ibadah haji, maka hukum niat wajib, seperti tawaf wadak dan tawaf nazar;

(f) menyentuh rukun yamani (pada putaran­ ketujuh) dan mencium atau menyentuh­ Hajar Aswad; (g) memperbanyak doa dan zikir selama dalam tawaf; dan

(h) tertib, dilaksanakan secara berurutan.

Macam tawaf adalah:

(a) tawaf ifadah, yaitu tawaf sebagai rukun haji yang apabila ditinggalkan­ hajinya tidak sah dan dilaksanakan setelah wukuf di Arafah;

(b) tawaf ziyarah (kun­jungan) yang juga disebut tawaf qudum, yaitu tawaf yang dilakukan setibanya di kota Mekah; (c) tawaf sunah, yaitu ta­waf yang dapat dilakukan­ kapan saja dengan niat mendekat­kan diri pada Allah SWT; dan

(d) tawaf wadak (pamitan), yakni tawaf yang dilakukan­ sesudah­ melakukan­ seluruh­ pekerjaan­ dan akan meninggal­kan­ Mekah untuk kembali ke kampung­ halamannya.

(4) Sai dilakukan dengan berjalan dari Bukit Safa hingga­ ke Bukit Marwah dan dari Marwah ke Safa sebanyak­ tujuh kali. Syarat sai adalah:

(a) se­luruh perjalanan sai dilaku­kan lengkap­ (tidak boleh­ ada jarak yang ter­sisa);

(b) dimulai­ dari Safa dan berakhir­ di Marwah;

(c) dilakukan sesudah­ tawaf; dan

(d) dilakukan­ sebanyak­ tujuh kali perjalanan.

Adapun­ sunah sai ada­lah:

(a) berdoa antara Safa dan Marwah,

(b) dalam keadaan suci dan menutup­ aurat,

(c) berlari­ kecil­ antara dua tonggak­ hijau,

(d) tidak berdesak­an,­

(e) berjalan­ kaki, dan

(f) dikerjakan secara berturut-turut.

(5) Wukuf di Arafah dilakukan dengan berdiam di padang Arafah sejak­ matahari tergelincir­ pada 9 Zulhijah sampai terbit fajar tanggal 10 Zulhijah (hari nahar), baik dalam keadaan suci maupun tidak suci. Haji tanpa wukuf tidak sah dan harus diulang lagi pada tahun berikutnya. Hal ini di­ dasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan­ oleh Abu Dawud yang berarti:

“Haji itu ‘arafah, siapa yang datang pada malam mabit di Muzdalifah sebelum fajar menyingsing, ia sudah­ mendap­ atkan haji.” Ketika melakukan wukuf, disunahkan untuk tidak berpuasa, menghadap ki­blat, berzikir, membaca istig­far, dan berdoa. Menurut riwayat Imam Ahmad, doa Nabi SAW ketika di hari Arafah adalah:­

“Tiada Tuhan kecuali Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya seluruh kerajaan, bagi-Nya pula segala pujian, di tangan-Nya segala ke­baikan, dan Ia maha kuasa atas segalanya.”

(6) Melontar jumrah dilakukan dengan melempar batu kerikil­ ke arah tiga buah tonggak, yaitu ula, wustha (tempat melempar jumrah yang letaknya dekat Masjid Mina), dan ukhra di Mina, masing-masing tujuh kali lemparan.

Hari melontar jumrah­ dimulai­ pada 10 Zulhijah, ke arah jumrah ‘aqa­bah atau jumrah kubrÎ dan dua atau 3 hari dari hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah) ke arah tiga jumrah yang telah disebutkan. Waktu melontar­ jumrah disunahkan sesudah matahari­ terbit (siang hari). Orang yang lemah atau berhalangan­ boleh melakukannya pada ma­lam hari.

Adapun­ melontar jumrah pada 3 hari yang lain hendaknya dimulai pada waktu matahari­ sudah tergelincir ke barat sampai saat matahari­ terbenam. Ketika melontar jumrah disunahkan:

(a) berdiri dengan menjadikan Mekah pada sebelah kirinya dan Mina di sebelah kanannya;

(b) mengangkat­ tangan kanan tinggi-tinggi bagi orang laki-laki; dan

(c) membaca takbir ketika melemparkan batu pertama.

Sementara itu, orang yang terhalang menyelesai­kan­ ibadah haji dengan tidak melakukan wukuf­ di Arafah, tawaf atau sai, apa pun penyebabnya, menurut­ pendapat jumhur (mayoritas) ula­ma, orang tersebut wajib me­nyembelih seekor kambing, sapi, atau unta di tempat ia bertahalul. Apabila ibadahnya itu ibadah wajib, ia harus mengkada pada tahun berikutnya, tetapi apabila bukan­ ibadah wajib ia tidak perlu mengkadanya.

Istilah dalam Ibadah Haji. Dalam ibadah haji ada beberapa istilah yang dijelaskan sebagai berikut:­

(1) Haji akbar (haji yang besar). Istilah ini disebut­ dalam firman Allah SWT pada surah at-Taubah (9) ayat 3 yang berarti:

“Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada­ umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (orang-orang musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu….”

Ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang apa yang dimaksudkan­ dengan haji akbar. Ada yang menga­ta­­ kan bahwa haji akbar adalah hari wukuf di Arafah;­ hari nahar, yakni waktu menyem­belih­ kurban pada 10 Zulhijah; haji yang wukufnya bertepatan dengan hari Jumat; atau ibadah haji itu sendiri dengan wukufnya di Arafah.

Di antara pendapat tersebut yang masyhur adalah pendapat yang menyatakan­ bahwa haji akbar adalah haji yang wukufnya jatuh pada hari Jumat. Adapun haji asgar (kecil) adalah istilah lain untuk umrah.

(2) Haji mabrur (haji yang baik) adalah ibadah haji seseo­rang yang seluruh rangkaian ibadah hajinya­ dapat dilaksan­ akan dengan benar, ikhlas, tidak dicampuri dosa, menggunakan biaya yang halal, dan setelah melaksanakan haji menjadi orang yang lebih baik. Balasan bagi orang yang mendapat haji mabrur adalah surga.

Hal ini di­da­sarkan pada sabda Nabi SAW yang diriwa­yatkan­ Abu Hurairah yang berarti: “Umrah ke satu ke umrah berikutnya adalah penebus dosa di antara dua itu dan haji yang mabrur ganjarannya tiada lain kecuali surga” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dam (Denda).

Dam dalam bentuk darah ada­lah menyem­ belih binatang sebagai tebusan (kafarat) terhadap beberapa perbuatan pelanggaran­ yang dilakukan ketika mengerjakan ibadah haji atau umrah. Adapun jenis dam adalah (1) dam tartib, (2) dam takhyir dan taqdir, (3) dam tartib dan ta‘dil, serta (4) dam takhyir dan ta‘dil.

Dam tartib adalah binatang yang disembelih, yakni kambing. Tetapi apabila tidak mendapatkan kambing,­ ia ha­rus melakukan puasa 3 hari di tanah suci dan 7 hari apabila telah pulang kembali kepada keluarganya. Orang diwajib­ kan membayar dam tartib karena sembilan hal, yaitu:

(1) mengerjakan haji tamattu‘,

(2) mengerjakan haji qiran,

(3) tidak wukuf di Arafah,

(4) tidak melempar jumrah yang tiga,

(5) tidak mabit di Muzdalifah pada malam nahar,

(6) tidak mabit di Mina pada malam hari tasyrik,

(7) tidak berihram dari miqat,

(8) tidak melakukan tawaf wadak, dan

(9) tidak berjalan kaki bagi yang bernazar untuk mengerjakan haji dengan berjalan kaki.

Untuk dam takhyir dan taqdir boleh dipilih membayar dam di antara tiga hal, yaitu apakah menyembelih seekor kambing, berpuasa, atau bersedekah memberi makan kepa­ da enam orang miskin sebanyak tiga sa’ (satu sa’ = 3,1 liter).

Dam jenis ini dikenakan untuk satu di antara alasan berikut, yaitu:

(1) mencabut tiga helai­ rambut atau lebih secara ber­turut-turut,

(2) memotong­ tiga kuku atau lebih,

(3) berpakaian yang berjahit,

(4) menutup kepala,

(5) memakai we­wangian,

(6) melakukan perbuatan yang menjadi pengantar bagi perbuatan hubungan seksual, dan

(7) melakukan hubungan seksual antara tahalul pertama dan ta­halul kedua.

Dam tarib dan ta‘dil adalah pertama kali wajib menyembelih unta; apabila tidak mendapatkannya, baru menyembelih sapi, dan apabila tidak mendapatkan sapi, baru kemudian kambing tujuh ekor.

Apabila tidak men­dapatkan tujuh ekor kambing, si pelanggar harus membeli makanan seharga itu dan menyedekahkannya kepada fakir miskin di tanah suci. Dam jenis ini dikenakan pada pelanggaran­ karena melakukan hubungan seksual.

Dam takhyir dan ta‘dil adalah dibolehkan me­milih di antara tiga hal, yaitu menyembelih binatang­ bu­ruan atau membeli makanan seharga dengan binatang itu dan menyedekahkannya, atau mengganti­ (ta‘dil) dengan puasa satu hari untuk setiap satu mud (5/6 liter).

Dam jenis ini dikenakan­ karena­ alasan berikut: (1) merusak, memburu, atau membunuh binatang buruan; dan (2) memotong pohon­ atau mencabut rerumputan­ di tanah haram.

Waktu dan Tempat Penyembelihan Dam. Waktu pe­ nyembelihan dam yang disebabkan pelanggar­an­ yang tidak sampai membatalkan atau kehilang­an haji harus dilakukan pada waktu melaku­kan ibadah haji. Tetapi bagi dam yang disebabkan­ pelanggaran­ yang berakibat kehilangan haji, pe­laksa­naannya­ wajib ditunda sampai pada waktu melakukan ihram ketika mengkada haji.

Adapun tempat pe­nyembelihan dam dan penyaluran dagingnya­ adalah tanah haram. Bagi orang yang melakukan haji diutamakan menyembelih­ nya di Mina dan bagi orang yang melakukan umrah me­ nyembelihnya di Marwah.

Haji Badal (Mewakilkan Haji). Perwakilan haji berlaku un­tuk seseorang yang mampu melakukan ibadah haji dari segi harta, tetapi dari segi kesehatannya tidak mengizinkan, sep­erti sakit yang sulit di­harapkan­ kesembuhannya atau karena usia tua.

Dalam­ hal ini wajib orang lain untuk menghajikannya dengan biaya dari orang yang bersang­kutan dengan­ syarat orang yang menghajikannya sudah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri. Tetapi apabila setelah dihajikan orang itu sembuh, menurut Imam Syafi‘i, ia tetap wajib melakukan haji.

Perwakilan haji juga dapat dilakukan atas orang yang sudah meninggal, asalkan orang yang meninggal­ tersebut berkewajiban haji, antara lain mempunyai nazar dan belum dapat dilaksanakannya.

Hal ini didasarkan pada hadis yang meriwa­yatkan­ bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Ayah saya sudah meninggal dan ia mempunyai kewajiban haji, apakah aku menghajikannya?” Nabi SAW men­ jawab, “Bagaimana pendapatmu­ apabila ayahmu meninggal­ kan utang. Apakah­ engkau wajib membayarnya?” Orang itu menjawab, “Ya.” Nabi SAW berkata, “Berhajilah engkau untuk ayahmu” (HR. Ibnu Abbas RA).

Ulama fikih sepakat tentang kebolehan melaksanakan ibadah haji atas nama orang lain yang sudah meninggal dunia. Perbedaan pendapat baru muncul ketika ibadah haji dijalankan atas nama seseorang yang masih hidup. Ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali men­yatakan bahwa ibadah haji orang yang masih hidup boleh dilaksanakan orang lain, asalkan syaratnya terpenuhi.

Syarat tersebut adalah orang yang digantikan itu dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkannya pergi ke tanah suci dan sakit ini berlanjut sampai menye­babkan­ kematiannya. Kalau sakitnya­ masih memungkinkannya­ untuk melakukan perjalanan, hajinya tidak boleh digantikan orang lain.

Ulama Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa­ jika orang tersebut dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkannya untuk melaku­ kan perjalanan­ haji, atau karena telah sangat tua, sementara ia mempunyai uang yang cukup, ia boleh menyuruh orang lain untuk melaksanakan­ hajinya, baik suruhan itu disertai upah atau tidak.

Menurut Mazhab Syafi‘i, jika seseorang men­inggal dunia, sedangkan ia telah wajib haji (sanggup secara materiil dan spiritual), ahli warisnya wajib menghajikan­nya­ dan biayanya diambil dari harta peninggalan orang yang wafat itu. Akan tetapi, Mazhab Maliki berpendapat bahwa jika orang tersebut masih hidup, ibadah hajinya tidak boleh diwakilkan kepada orang lain karena ibadah ini merupakan amalan jasmani seperti salat dan puasa, serta bertujuan untuk melatih diri berpisah dengan tanah air dan keluarga.

Selain itu dalam ibadah haji dikerjakan amalan yang tidak bisa ditangkap­ maknanya kecuali apabila dilakukan sendiri oleh orang yang berhajat.

Dasar hukum kebolehan menggantikan haji orang lain adalah hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas tentang seo­rang perempuan yang bertanya, “Ya Rasulullah, ayah saya seorang yang sudah tua, tidak mampu lagi duduk di atas untanya, sedangkan ia dikenakan kewajiban melaksanakan­ ibadah ha­ji. Bagaimana caranya ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “Hajikan ia olehmu” (HR. Ahmad bin hanbal, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Abu Dawud).

Dalam hadis lain diceritakan bahwa seorang perem­puan­ dari suku Juhainah bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya telah bernazar untuk melaksanakan­ ibadah haji, tetapi belum melaksanakannya sampai ia wafat. Apakah saya akan menghajikan­nya?” Rasu­lullah SAW menjawab,

“Benar, hajikan dia. Bagaimana pendapat engkau jika ibumu mempunyai­ utang (kepada seseorang), apakah kamu wajib membayarnya? Lunasilah utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi”­ (HR. Bukhari dan an-Nasa’i dari Ibnu Abbas). Hadis yang senada juga diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah, serta Daruqutni dari Ibnu Abbas.

Dalam hadis lain lagi dinyatakan bahwa seseorang­ yang akan menggantikan haji orang lain harus­ telah melaksanakan­ haji untuk dirinya sendiri. Dalam riwayat itu dikatakan bahwa Nabi SAW mendengar seseorang (ketika melaksanakan iba­ dah haji) berkata, “Labbaika Syubrumah (Telah datang me­menuhi panggilan-Mu Syubrumah).” Rasulullah SAW bertan­ ya, “Siapa Syubrumah itu?” Laki-laki tadi menjawab, “Saudara saya.”

Lalu Ra­sulullah SAW bertanya lagi, “Apakah kamu sen­diri telah melaksanakan haji?” Laki-laki itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah­ SAW bersabda, “Laksanakan­ terlebih dahulu hajimu, baru kamu laksanakan haji orang lain” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Daruqutni dari Ibnu Abbas).

Ulama yang berpendapat boleh mengganti­kan ibadah haji orang lain mengemukakan beberapa­ syarat untuk keabsahan ibadah ini.

(1) Niat haji itu diucapkan atas nama orang yang digantikan,­ seperti ucapan, “Saya berihram atas nama si fulan,” dan “Saya berniat melaksanakan­ ibadah haji atas nama si fulan”.

(2) Orang yang digantikan hajinya itu telah wafat atau dalam keadaan sakit yang diduga keras tidak akan sembuh sampai ia wafat. Syarat ini tidak berlaku bagi ulama Mazhab Maliki, karena mereka tidak membolehkan menggantikan ibadah haji orang lain yang masih hidup.

(3) Biaya pelaksan­ aan haji itu ditang­gung orang yang digantikan, kecuali jika yang menggantikan­ adalah ahli warisnya yang melakukannya­ secara sukarela.

(4) Ihram di­laku­kan­ sesuai dengan kehendak orang yang digantikan­. Umpamanya, jika orang yang di­ gantikan menginginkan haji ifrad (melaksanakan haji lebih dahulu dari umrah), tetapi ia melaksanakan haji tamatuk (umrah dahulu baru haji), hajinya ini tidak sah. Demikian juga halnya dalam soal mikat (tempat memulai ihram haji), yang harus dimulai di tempat mikat orang yang digantikan.

(5) Orang yang menggantikan haji seseorang itu sebelumnya telah melaksanakan ibadah haji untuk dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan kandungan hadis yang disebutkan­ di atas.

(6) Orang yang menggantikan­ haji seseorang itu adalah orang yang cakap bertindak secara hukum (balig dan berakal).

(7) Orang yang meng­gantikan haji itu tidak boleh menggabung­kan haji yang dilaksanakannya dengan haji orang lain yang juga minta untuk dihajikan. Artinya, satu orang pengganti haji hanya boleh menggantikan ibadah haji satu orang pada satu waktu (musim haji).

(8) Orang yang menggantikan haji orang lain tersebut tidak melakukan­ hal-hal yang merusak ibadah hajinya.

Terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehan­ mengambil upah dalam menggantikan ibadah haji orang lain. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan tidak boleh mengambil upah dalam melaksanakan haji orang lain.

Alasannya adalah logika sebuah hadis dari Usman bin Abi al-As ketika ia disuruh Rasulullah SAW untuk mencari seorang muazin (tukang azan). Rasulullah SAW ketika itu bersabda,­ “Cari seorang muazin yang tetap dan jangan diberi upah” (HR. Ibnu Majah).

Menurut ulama Mazhab Hanafi, haji itu merupakan ibadah yang tidak bisa dijadikan transaksi yang bersifat ekonomis­. Ketidakbolehan mengambil­ upah dalam melaksanakan haji orang lain dikiaskan (dianalogikan)­ kepada larangan memberi upah kepada muazin tersebut.

Akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa boleh saja menerima upah dalam melaksanakan ibadah haji orang lain. Alasannya adalah sabda Rasulullah SAW, “Sesungguh­ nya upah yang paling berhak diambil adalah upah dalam­ mengajarkan Kitab Allah SWT” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).

Menurut jumhur ulama, melaksanakan­ ibadah haji orang lain justru lebih berat, karena itu pelaksana itu berhak untuk diberi upah. Namun, ulama Mazhab Maliki berpendapat­ bahwa mengambil­ upah dalam melaksanakan haji orang lain adalah makruh.

Perbedaan pendapat tentang boleh atau tidaknya­ mengambil upah dalam melaksanakan haji orang lain me­munculkan masalah baru. Menurut ulama Mazhab Hanafi, biaya yang diberikan kepa­da orang yang meng­gantikan ibadah haji itu hanya sekadar biaya perjalanan dan nafkah.

Jika ia meninggal­ dunia, sakit, atau tersesat sehingga tidak jadi melaksanakan haji, ia tidak dikenakan ganti rugi secara perdata. Akan tetapi, bagi jumhur ulama yang memboleh­kan mengambil upah dalam menggantikan haji orang lain, berlaku syarat ijarah (sewa-menyewa/upah-mengupah), seperti upahnya harus jelas dan disepakati­. Jika si pengganti­ lalai dalam mengerjakan haji sehingga hajinya tidak sah, ia dikenakan ganti rugi.

Daftar Pustaka

‘Attar, Ahmad Abdul Gafur. Qamus al-Hajj wa al-‘Umrah. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyyin, 1979.
Departemen Agama. Ilmu Fiqh. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983.
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1981.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr. 1978.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-Arab, t.t.
an-Nawawi. al-I’adah fi Manasik al-Hajj. Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1388 H/1968 M.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1984.

Ridlo Masduki dan Nasrun Haroen