Haji Miskin adalah seorang pelopor Gerakan Paderi yang paling menonjol di Minangkabau. Ia berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam). Pada 1803, ia pulang dari Mekah bersama Haji Abdurrahman dari Piobang (Luhak Lima Puluh Kota) dan Haji Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar). Ketiganya mempelopori Gerakan Paderi. Hari lahir dan wafatnya tidak diketahui pasti.
Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, di Mekah terjadi perubahan politik yang sangat hebat yang dipelopori Gerakan Wahabi yang dikenal sebagai gerakan pemurnian agama yang sangat keras. Gerakan ini berkeyakinan bahwa umat Islam ketika itu sudah menyimpang dari ajaran Islam yang benar dan sudah terjerumus dalam kemusyrikan.
Kubah yang terdapat di kuburan mereka hancurkan karena dianggap bid’ah. Bahkan hiasan yang terdapat di makam Nabi SAW mereka musnahkan karena dipandang mengundang kemusyrikan. Kiswah sutra yang menutup Ka’bah, dengan alasan yang sama, mereka lepaskan. Dengan kekerasan, kaum Wahabi menyebarkan ajaran mereka.
Haji Miskin dan Haji Piobang (Haji Abdurrahman) menyaksikan perubahan politik dan semua kejadian yang terjadi di Mekah sehingga pandangan mereka juga ikut terpengaruh. Semangat pemurnian Islam tersebut mereka bawa pulang ke negeri mereka di Minangkabau. Mereka melihat bahwa penduduk Minangkabau baru masuk Islam secara formal dan belum mengamalkan Islam secara murni.
Sesampai di kampung masing-masing, mereka mulai mengeluarkan fatwa yang senada dengan Gerakan Wahabi. Mereka mengajar di kampung-kampung. Dengan didukung seorang penghulu Kuncir gelar Datuk Batuah, Haji Miskin melarang penduduk Pandai Sikat, kampungnya, melakukan perbuatan menyabung ayam dan berjudi. Karena larangannya tidak diperhatikan penduduk, Haji Miskin kesal dan membakar balai tempat menyabung ayam.
Kaum adat marah dan Haji Miskin dikejar-kejar sehingga menyingkir ke Kota Lawas, tempat ia mendapat perlindungan dari Tuanku Di Mensiangan yang kemudian bersedia membantunya. Kemarahan kaum adat terus berlanjut, lalu terjadi perkelahian antara mereka dan orang yang bersimpati kepada pemikiran Haji Miskin.
Dia kemudian meninggalkan Kota Lawas dan pergi ke Kamang. Di sana dia bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang dengan giat terus membantu menyebarkan gagasannya yang segera meluas di Luhak Agam. Atas usaha Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin kemudian mendapat teman seperjuangan yang setia di sana, seperti Tuanku Di Kubu Samang, Tuanku Di Ladang Lewas, Tuanku Di Padang Luar, Tuanku Di Galung, Tuanku Di Koto Ambalu, dan Tuanku Di Lubuk Aur.
Bersama Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh, mereka membentuk semacam “Dewan Revolusi” yang dikenal dengan “Harimau Nan Salapan” (Harimau Yang Delapan); dinamakan demikian karena “kegarangan” mereka dalam menyebarluaskan gagasan mereka.
Untuk lebih cepat mencapai tujuan, kelompok Harimau Nan Salapan berusaha melibatkan ulama yang lebih tua, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat. Tetapi, karena ulama ini tidak bersedia membantu, Harimau Nan Salapan marah dan kemudian menuduhnya telah keluar dari ajaran Islam.
Kemudian Harimau Nan Salapan berhasil mengajak Tuanku Di Mensiangan untuk bergabung dan secara formal mengangkatnya sebagai “Imam Perang”. Adapun pemimpin yang sebenarnya adalah Tuanku Nan Renceh, seorang alim yang gagah berani.
Setelah itu, satu per satu daerah di sekitar Agam ditaklukkan. Kalau penduduk suatu daerah menentang, mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan dan membakar kampung itu. Di setiap negeri yang telah berhasil mereka taklukkan, diangkat Tuanku Qadhi untuk menjaga perjalanan hukum syarak dan Tuanku Imam untuk memimpin peribadatan salat dan puasa.
Judi, menyabung ayam, dan minum tuak dilarang keras. Perempuan tidak diperkenankan makan sirih dan keluar rumah tanpa menutup aurat. Kedua tuanku itu bertugas memberikan penerangan dan bimbingan tentang gagasan pembaruan agama yang sedang mereka lancarkan itu.
Gerakan Harimau Nan Salapan ini mendapat banyak dukungan dari golongan adat. Tidak ada pertentangan antara golongan adat dan golongan Paderi. Yang tetap ada adalah pertentangan antara golongan lama dan golongan baru (Paderi). Keberhasilan yang dicapai Haji Miskin ini diikuti pula oleh keberhasilan Haji Abdurrahman asal Piobang (Haji Piobang) dan Haji Arif asal Sumanik (Haji Sumanik).
Tantangan keras yang dihadapi kelompok ini berasal dari golongan keturunan raja. Mereka senantiasa menghambat gerakan ini karena alasan kekhawatiran kehilangan pengaruh dan kekuasaan di kalangan rakyat.
Golongan bangsawan ini kemudian meminta bantuan kepada pemerintah Hindia Belanda yang dengan senang hati bersedia membantu. Kemudian, terjadilah Perang Paderi (1821–1837), perang antara golongan Paderi yang didukung rakyat banyak melawan pasukan Belanda. Pada tahap ini pimpinan gerakan Paderi telah berada di tangan para tuanku.
Daftar Pustaka
HAMKA. Ayahku. Jakarta: Umminda, 1982.
Mansoer, M.D., dkk. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970.
Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Badri Yatim