Batu bundar hitam dan berlubang di sudut timur Ka’bah disebut Hajar Aswad. Batu ini ada di sebelah kiri Multazam (tempat antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah). Tinggi sekitar 1,5 m di atas tanah, lingkaran 30 cm, dan garis tengah 10 cm, lebih besar dari bulatan wajah orang. Yang ingin menciumnya memasukkan wajahnya ke lubang itu. Batu ini terdiri atas tiga pecahan besar yang disatukan dengan pengikat perak.
Asal dan Sejarah Hajar Aswad. Menurut banyak riwayat, antara lain dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Hajar Aswad berasal dari surga. Riwayat Sa‘id bin Jubair RA dari Ibnu Abbas RA dari Ubay bin Ka‘b RA menerangkan bahwa Hajar Aswad dibawa turun oleh malaikat dari langit ke dunia.
Abdullah bin Abbas juga meriwayatkan bahwa Hajar Aswad adalah batu yang berasal dari surga, tidak ada sesuatu selain batu itu yang diturunkan dari surga ke dunia ini. Riwayat di atas disebutkan oleh Abu al-Walid Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Azraki (w. 224 H/837 M), seorang ahli sejarah dan penulis pertama sejarah Mekah. Tidak ditemukan informasi yang jelas tentang siapa yang meletakkan Hajar Aswad itu pertama kali di tempatnya di Ka’bah, apakah malaikat atau Nabi Adam AS.
Pada mulanya Hajar Aswad tidak berwarna hitam, melainkan berwarna putih bagaikan air susu dan mengkilat memancarkan sinar yang cemerlang. Abdullah bin Amr bin As (7 SH/615 M–65 H/685 M) menerangkan bahwa perubahan warna Hajar Aswad dari putih menjadi hitam disebabkan sentuhan orang musyrik.
Hal yang sama diungkapkan pula oleh Zuhair bin Qais (w. 76 H/695 M). Dikatakannya bahwa sesungguhnya Hajar Aswad adalah salah satu batu mulia yang berasal dari surga yang dahulunya berwarna putih berkilauan, lalu berubah menjadi hitam karena perbuatan keji dan kotor yang dilakukan orang musyrik. Namun kelak batu ini akan berwarna putih kembali seperti sediakala.
Menurut riwayat Ibnu Abbas dan Abdullah bin Amr bin As, dahulu Hajar Aswad tidak hanya berwarna putih tetapi juga memancarkan sinar yang berkilauan. Sekiranya Allah SWT tidak memadamkan kilauannya, tidak seorang pun yang sanggup memandangnya.
Pada 606, ketika Nabi Muhammad SAW berusia 35 tahun, Ka’bah mengalami kebakaran besar sehingga harus dibangun kembali. Nabi SAW dan para kabilah secara bersama-sama membangunnya kembali. Ketika pembangunan selesai dan Hajar Aswad hendak diletakkan di tempatnya, terjadi perselisihan di antara kabilah itu tentang siapa yang paling berhak untuk meletakkan batu itu di tempatnya.
Melihat keadaan ini, Abu Umayah bin Mugirah dari suku Makzum, sebagai orang yang tertua, mengajukan usul bahwa yang berhak untuk meletakkan Hajar Aswad di tempatnya adalah orang yang pertama sekali memasuki pintu Safa keesokan harinya. Ternyata orang itu adalah Muhammad, yang ketika itu belum menjadi rasul.
Dengan demikian, dialah yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad itu di tempatnya. Akan tetapi, dengan keadilan dan kebijaksanaannya, Muhammad tidak langsung mengangkat Hajar Aswad itu. Ia melepaskan serbannya dan menghamparkannya di tengah anggota kabilah.
Hajar Aswad lalu diletakkannya di tengahserban itu. Ia kemudian meminta para pemuka kabilah untuk memegang seluruh tepi serban dan secara bersama-sama mengangkat serban sampai ke tempat yang dekat dengan tempat diletakkannya Hajar Aswad.
Muhammad sendiri lalu memegang batu itu dan meletakkannya di tempatnya. Tindakan Muhammad ini mendapat penilaian dan penghormatan yang besar dari kalangan pemuka kabilah yang bertikai ketika itu.
Pada awalnya Hajar Aswad tidak dihiasi dengan lingkaran pita perak di sekelilingnya. Lingkaran itu dibuat pada masa berikutnya. Menurut Abu al-Walid Ahmad bin Muhammad al-Azraki (w. 203 H/819 M; seorang ahli sejarah kelahiran Mekah), Abdullah bin Zubair adalah orang pertama yang memasang lingkaran pita perak di sekeliling Hajar Aswad, setelah terjadi kebakaran pada Ka’bah.
Pemasangan pita perak itu dimaksudkan agar Hajar Aswad tetap utuh dan tidak mudah pecah. Pemasangan pita perak berikutnya dilakukan pada 189 H/805 M, ketika Sultan Harun ar-Rasyid, khalifah Usmani (memerintah 786–809), melakukan umrah di Masjidilharam. Ia memerintahkan Ibnu at-Tahhan, seorang pengukir perak terkenal ketika itu, untuk menyempurnakan lingkaran pita perak di sekeliling Hajar Aswad dan membuatnya lebih mengkilat.
Usaha berikutnya dilakukan Sultan Abdul Majid, khalifah Usmani (1225 H/1839 M–1277 H/1861 M). Pada 1268 H ia mengirimkan sebuah lingkaran emas untuk dililitkan pada Hajar Aswad, sebagai pengganti lingkaran pita perak yang telah hilang. Lingkaran emas itu kemudian diganti dengan lingkaran perak kembali oleh Sultan Abdul Aziz, khalifah Usmani (1861–1876).
Pada 1331 H/1913 M atas perintah Sultan Muhammad Rasyad (Muhammad V, memerintah 1909–1918), lingkaran pita perak itu diganti dengan lingkaran pita perak yang baru. Untuk menjaga keutuhannya, Hajar Aswad itu selalu dililit dan dilingkari dengan lingkaran pita perak.
Penodaan dan Pencurian Hajar Aswad. Dalam perjalanan sejarahnya, Hajar Aswad sudah berkali-kali dibawa pergi dari tempatnya di Masjidilharam. Kabilah yang membawa Hajar Aswad itu antara lain adalah Jurhum, Iyad, Amaliqah, dan Khuza’ah.
Qaramitah merupakan golongan terakhir yang melakukan hal tersebut. Mereka mengeluarkan batu itu dari tempatnya pada 929 lalu membawanya ke Ahsa (Bahrein). Dua puluh tahun kemudian Hajar Aswad dikembalikan ke Ka’bah atas perintah khalifah Fatimiyah, al-Mansur (946–953).
Usaha untuk menodai dan mencuri Hajar Aswad juga berlangsung pada masa berikutnya, meskipun tidak sampai dibawa pergi seperti pada masa sebelumnya. Menurut Rusydi as-Salih Malhas, seorang ahli sejarah yang mengomentari buku Akhbar Makkah (Berita Mekah), pada 363 H/974 M seorang Romawi memasuki Masjidilharam dengan maksud mencuri Hajar Aswad.
Ketika mencoba mengeluarkannya, ia dilihat oleh seorang Yaman. Ia kemudian dipukul hingga menemui ajalnya. Pada 414 H/1023 M sebagian golongan Batiniah datang ke Masjidilharam dengan maksud memecahkan Hajar Aswad dengan tongkat yang mereka bawa. Namun usaha mereka dapat digagalkan.
Pada akhir abad ke-10 H datang pula seorang non-Arab ke Masjidilharam. Dengan tongkat di tangannya, ia berusaha memukul Hajar Aswad. Namun seseorang berhasil menghalanginya dan kemudian memukulnya dengan tongkat pula sampai mati. Pada akhir Muharam 1351 datang pula seorang Afghanistan. Ia berhasil mencuri satu bongkah kecil Hajar Aswad, sepotong kain penutup Ka’bah, dan dua potong perak yang terdapat pada ukiran perak Ka’bah.
Karena kejahatannya itu, ia lalu dihukum mati. Barang yang dicuri itu kemudian dikembalikan ke tempatnya oleh Raja Abdul Aziz Ibnu Sa‘ud pada 27 Rabiulakhir tahun itu juga.
Hajar Aswad dan Ibadah Haji. Dalam pelaksanaan ibadah haji, Hajar Aswad mempunyai pengaruh tersendiri dalam hati setiap orang yang menunaikan ibadah tersebut. Setiap orang yang menunaikan ibadah haji mempunyai keinginan untuk mencium Hajar Aswad. Namun karena tempat itu padat dan ramai, tidak semua orang dapat memenuhi keinginannya.
Sebagian orang beranggapan bahwa haji dan umrah seseorang tidak sah tanpa mencium Hajar Aswad. Pendapat ini merupakan pendapat yang keliru. Mencium Hajar Aswad bukan hal yang wajib dilakukan. Menciumnya hanya sunah bagi laki-laki, sedangkan bagi wanita tidak ada hukumnya sama sekali.
Hal itu dapat dilakukan kalau keadaan di sekitar Hajar Aswad memungkinkan. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal dari Abdurrahman bin Haris, Nabi SAW mengatakan kepada Umar bin Khattab,
“Ya Abu Hafsah (Umar bin Khattab), sesungguhnya engkau seorang yang kuat, janganlah engkau berdesak-desakan di Hajar Aswad karena engkau akan menyakiti yang lemah. Akan tetapi, jika engkau melihat agak lengang dan kosong, engkau dapat memegangnya. Jika tidak, cukup engkau bertakbir dan melewatinya.”
Pernyataan Nabi SAW ini menunjukkan bahwa tidak wajib bagi orang yang melakukan tawaf atau seorang yang melaksanakan haji untuk memegang atau mencium Hajar Aswad. Untuk mencium Hajar Aswad itu harus dipertimbangkan dua hal, yaitu tidak menyakiti (tidak berbahaya bagi) orang lain dan tidak berbahaya bagi diri sendiri.
Walaupun demikian, Abu al-Abbas, seorang ahli fikih, berpendapat bahwa memegang dan mencium Hajar Aswad, sebagaimana memegang Rukun Yamani (sudut sebelah selatan Ka’bah), adalah sunah bagi orang yang mampu.
Sementara itu, Imam Bukhari berpendapat bahwa Hajar Aswad itu hanyalah sebuah batu yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudarat. Umar bin Khattab ketika hendak mencium Hajar Aswad mengatakan,
“Demi Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah sebuah batu. Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, maka aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, dan Malik).
Meskipun Hajar Aswad adalah sebuah batu, sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW telah menciumnya. Banyak hadis yang menerangkan adanya anjuran untuk mencium Hajar Aswad, cara menciumnya, cara memegangnya, dan hal lain yang berhubungan dengannya. Ibnu Umar RA pernah ditanya tentang Hajar Aswad itu. Ia lalu menjawab, “Aku melihat Rasulullah SAW memegang dan menciumnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Aisyah RA pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Perbanyaklah mengusap Hajar Aswad ini, karena kamu sekalian hampir saja meninggalkannya. Sementara banyak orang yang melakukan tawaf di sekelilingnya hingga pagi sedang mereka tidak mengusapnya. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menurunkan sesuatu pun dari surga ke bumi tanpa mengembalikannya ke dalamnya sebelum hari kiamat” (HR. Ibnu Majah dan ad-Darimi).
Cara mencium Hajar Aswad itu telah ditunjukka oleh Rasulullah SAW dalam salah satu hadis. Ibnu Umar RA berkata bahwa ia melihat Rasulullah SAW mendatangi Hajar Aswad, lalu mengusap dan menciumnya dalam waktu yang cukup lama sambil menangis. Setelah itu Nabi SAW menoleh kepada Umar yang juga dalam keadaan menangis. Nabi SAW berkata, “Ya Umar, di sinilah ditumpahkan segalaair mata” (HR. Abu Zar dan Imam Syafi‘i dalam kitab Musnadnya).
Di samping itu banyak pula hadis yang menerangkan cara mengusap Hajar Aswad. Ata bin Abi Rabah, misalnya, menyatakan bahwa ia melihat Abu Sa‘id al-Khudri (w. 84 H/703 M), Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Jabir bin Abdullah mencium tangan mereka apabila mereka telah selesai mengusap Hajar Aswad (HR. Daruqutni).
Hadis ini diperkuat pula oleh hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Yahya as-Sahmi yang menyatakan bahwa ia pernah melihat Ata bin Abi Rabah, Ikrimah bin Khalid, dan Ibnu Abi Mulaikah melakukan tawaf sesudah waktu asar lalu melakukan salat.
Mereka kemudian mengusap Hajar Aswad itu dan Rukun Yamani, mencium tangan mereka, dan menyapu muka mereka dengan tangan mereka.
Meletakkan kedua tangan di atas Hajar Aswad lalu mengusap muka dengan keduanya merupakan sunah Rasulullah SAW. Jabir bin Abdullah al-Ansari mengatakan,
“Suatu ketika aku memasuki kota Mekah pada waktu duha, lalu datanglah Rasulullah SAW di pintu masjid. Setelah mengikat kendaraannya, beliau memasuki masjid. Beliau memulai tawaf tepat pada Hajar Aswad, lalu mengusapnya dan ketika itu pula air mata beliau berlinang-linang.
Beliau lalu melakukan tawaf sebanyak 7 kali, 3 di antaranya dengan berlari-lari kecil dan 4 lainnya dilakukan dalam keadaan berjalan. Setelah selesai tawaf, beliau mencium Hajar Aswad dengan meletakkan kedua tangannya di atasnya, dan menyapu muka dengan kedua tangannya” (HR. Abu Ja‘far Muhammad bin Husain bin Ali bin Abi Thalib).
Apa yang telah ditunjukkan hadis di atas dilakukan oleh jemaah haji maupun umrah. Ketika hendak memulai tawaf, kita memulainya pada Rukun Yamani, tepat pada arah letak Hajar Aswad itu yang ditandai dengan garis berwarna cokelat.
Ketika berada di garis itu pula kita mengangkat tangan sebagai isyarat mengusap Hajar Aswad dari kejauhan sambil membaca Bismi Allah wa Allahu Akbar (Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar), lalu mengecup tangan kita. Hal yang sama dilakukan pula setiap kali melakukan tawaf.
Ketika mengusap Hajar Aswad, Umar bin Khattab membaca doa, “Bismi Allah wa Allahu Akbar ‘ala ma hadana Allah, la ilaha illa Allahu wahdah la syarika lahu, amantu bi Allah wa kafartu bi at-thaguti wa balat wa al-‘izza wa ma yud‘a min duni Allah. Inna waliyyi Allahu al-ladzi nazzala al-kitab wa huwa yatawalla ash-shalihin” (Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar terhadap apa yang telah ditunjukkan Allah kepada kami, tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Aku beriman kepada Allah dan aku ingkar terhadap berhala, Lata dan Uzza dan sesuatu yang dijadikan tempat meminta selain Allah. Pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab [Al-Qur’an] dan Dia pula yang menguasai orang yang beramal saleh).
Daftar Pustaka
al-Azraqi, Abu al-Walid Muhammad bin Abdullah bin Ahmad. Akhbar Makkah wa Ma Ja’a fiha min al-atsar. Mekah: Dar as-Saqafah, 1988.
an-Nawawi. al-I’ddah fi Manasik al-hajj. Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
at-Tabari, Abu al-Abbas Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar Mihubuddin. al-Qira li Qasidi Ummi al-Qura. t.tp.: Dar al-Fikr, 1983.
Ziyarah, Mahmud Muhammad. Dirasat fi at-Tarikh al-Islami, al-‘Arab Qabla
al-Islam, as-Sirah an-Nabawiyyah, al-Khilafah ar-Rasyidah. Cairo: Matba‘ah Dar at-Ta’lif, 1968–1969.
A Thib Raya