Haid

(Ar.: al-haid)

Secara harfiah, al-haid berarti “mengalir”. Dalam istilah fikih, haid berarti “menstruasi”, yaitu darah yang keluar dari vagina dalam keadaan sehat, bukan karena melahirkan, sakit, atau pecah selaput dara. Haid menjadi tanda bahwa seorang gadis telah mencapai usia balig yang mengakibatkannya terkena hukum taklif.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa haid dimulai ketika seorang gadis berumur 9 tahun. Menurut mereka, darah yang keluar sebelum usia itu bukan haid, melainkan darah penyakit atau darah yang disebabkan oleh kerusakan pada organ tubuh tertentu. Tidak ada dalil yang membatasi berakhirnya haid pada usia tertentu. Adakalanya haid berlangsung sampai usia tua.

Warna darah haid berbeda dari warna darah lainnya dan perbedaan itu dapat dikenali oleh Wanita yang bersangkutan. Ada empat macam warna darah haid:

(1) hitam, berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Hubaisy ketika ia dalam keadaan istihadhah:

“Jika memang ia darah haid, ia berwarna hitam dan dikenal; jika demikian, berhentilah melaksanakan salat. Akan tetapi, jika tidak demikian, berwudulah dan laksanakanlah salat, karena sesungguhnya ia adalah keringat” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, Daru Qutni, dan Hakim);

(2) merah, karena merupakan warna dasar darah;

(3) kuning, terlihat seperti nanah dan pada bagian permukaannya berwarna kekuning-kuningan; dan

(4) keruh, yaitu antara putih dan hitam, berdasarkan hadis Alqamah bin Abi Alqamah dari ibunya. Kedua warna terakhir hanya berlaku pada hari-hari masa haid; di luar hari-hari itu dipandang bukan haid.

Mengenai batas maksimal dan minimal masa haid, di antara ulama tidak terdapat kesepakatan karena memang tidak ada hujah yang pasti tentang hal itu. Imam Malik dan Imam Syafi‘i memperkirakan batas maksimal masa haid adalah 15 hari, sedangkan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) memperkirakan 10 hari.

Demikian pula halnya mengenai batas minimal masa haid. Menurut Imam Malik, tidak ada batas minimal karena darah yang keluar seketika pun bisa juga dipandang haid. Sementara itu Imam Syafi‘i memperkirakan batas minimal masa haid adalah sehari semalam, sedangkan Imam Abu Hanifah memperkirakannya sekitar 3 hari. Semua perkiraan tersebut didasarkan pada penelitian mereka terhadap sejumlah wanita.

Sehubungan dengan itu, ada ulama yang memberlakukan kebiasaan sebagai batas maksimal masa haid. Hal ini didasarkan atas hadis Ummu Salamah RA ketika meminta fatwa kepada Rasulullah SAW tentang seorang wanita yang sedang haid. Rasulullah SAW bersabda,

“Suruh dia memperhatikan (hitungan) berapa malam dan hari kebiasaan dia haid dalam sebulan, maka (ketika itu) suruh dia meninggalkan salat. Kemudian suruh dia mandi dan meletakkan robekan kain pada farajnya, lalu laksanakanlah salat” (HR. Khamsah dan at-Tirmizi).

Apabila tidak ada kebiasaan, maka untuk mengetahui apakah seorang wanita sedang dalam keadaan haid atau tidak hendaknya memperhatikan ciri-ciri tertentu pada darah haid.

Ulama bersepakat tidak menentukan batas maksimal masa suci antara dua masa haid. Namun dalam menentukan batas minimalnya, mereka berbeda pendapat. Sebagian ulama memperkirakan 15 hari dan sebagian lainnya memperkirakan 13 hari. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dalil yang memastikan batas maksimal dan minimalnya.

Wanita yang sedang haid dilarang (haram) melakukan beberapa perbuatan tertentu, yaitu: (1) salat, baik salat wajib maupun sunah; (2) tawaf; (3) membaca Al-Qur’an; (4) berdiam diri di dalam masjid; (5) berpuasa, baik puasa wajib maupun sunah; dan (6) bersetubuh.

Penundaan Haid. Di zaman modern, dunia medis menawarkan obat untuk menahan keluarnya haid, sehingga wanita bisa mengerjakan ibadah haji secara sempurna dan melaksanakan puasa Ramadan sebulan penuh tanpa harus mengadanya karena haid. Berbagai pendapat ulama tentang penundaan haid melalui obat-obatan untuk keabsahan dan kesempurnaan suatu ibadah apakah dapat dibenarkan syarak adalah sebagai berikut.

Syekh Mar’i bin Yusuf al-Maqdisi al-Hanbali (w. 1033 H/1624 M), Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dauban (w. 1353 H/1934 M), keduanya tokoh fikih Mazhab Hanbali, dan Yusuf Qardawi, tokoh fikih kontemporer, berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan puasa atau hajinya tidak sempurna, maka ia boleh menggunakan obat untuk menunda haidnya keluar.

Alasan mereka adalah karena wanita ini sulit mengkada puasanya pada hari lain, sedangkan larangan untuk penundaan haid itu tidak ada sama sekali dalam nas. Di samping itu, penundaan haid tersebut tidak membawa mudarat bagi wanita tersebut.

Majelis Ulama Indonesia, dalam sidang komisi fatwanya pada 1984 menetapkan bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusyukan seorang wanita dalam melaksanakan ibadah, maka

1) penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan haji, hukumnya adalah mubah (boleh);

2) penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat menyempurnakan puasa Ramadan sebulan penuh, pada dasarnya hukumnya makruh, tetapi bagi wanita yang mengalami kesulitan untuk mengkada puasanya yang tertinggal di hari lain, maka hukumnya adalah mubah; dan

3) penggunaan pil antihaid selain dari dua ibadah tersebut di atas, tergantung pada niatnya; apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hukum agama maka hukumnya haram.

Daftar Pustaka

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Cairo: Syarikah Mak­ tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damascus: Dar al-Fikr, 1985.

Hery Noer Aly