Istri Rasulullah SAW yang keempat (Ummul Mukminin), yakni putri Umar bin Khattab, bernama Hafsah binti Umar. Hafsah dinikahi Rasulullah SAW setelah ditinggal mati suaminya, Khunais bin Huzafah bin Qais bin Adi as-Sahm al-Quraisyi. Khunais adalah satu-satunya sahabat Nabi Muhammad SAW dari Bani Sahm.
Khunais ikut dalam Perang Badar (2 H/624 M) dan termasuk sahabat yang ikut melakukan hijrah dua kali, yakni ke Habasyah (Ethiopia) bersama kaum Muhajirin dan kemudian ke Madinah. Dia juga mengikuti Perang Uhud (3 H/625 M). Khunais meninggal dunia di Madinah karena luka yang dideritanya dalam perang tersebut.
Ayah Hafsah, Umar bin Khattab, merasa sedih melihat putrinya yang baru berusia 18 tahun telah menjanda. Muncullah ide dalam benaknya untuk memilihkan suami bagi putrinya. Setelah memakan waktu lebih kurang 6 bulan, pilihannya jatuh kepada Abu Bakar as-Siddiq, orang yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW.
Tanpa ragu-ragu Umar mengemukakan maksudnya kepada Abu Bakar yang mendengarkannya dengan penuh rasa iba, tetapi tak sepatah pun kata keluar darinya. Maka dengan rasa kecewa Umar pergi meninggalkan Abu Bakar. Seraya menyembunyikan kekesalannya atas penolakan Abu Bakar, Umar kemudian mendatangi Usman bin Affan untuk maksud yang sama.
Akan tetapi, Usman yang kala itu tengah berduka karena istrinya, Ruqayyah binti Muhammad (putri Rasulullah SAW), meninggal dunia, menjawab, “Aku tidak ingin menikah sekarang.” Amarah Umar pun bangkit, lalu ia pergi menemui Rasulullah SAW untuk mengadukan perihal kedua sahabatnya.
Sambil tersenyum Nabi SAW berkata, “Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Usman, dan Usman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafsah.” Tidak lama sesudah itu, pada bulan Jumadil akhir tahun 3 H/625 M Usman menikah dengan Ummu Kalsum (putri Rasulullah SAW) dan pada bulan Syakban di tahun yang sama Hafsah menikah dengan Rasulullah SAW.
Kehadiran Hafsah di tengah para istri Rasulullah SAW membuat Aisyah binti Abu Bakar cemburu kepadanya. Keadaan ini berlangsung sampai kemudian hadir istri yang lain, dan akhirnya Hafsah justru menjadi madu Aisyah yang paling akrab.
Akan tetapi, ketika melihat Nabi SAW lebih dekat kepada Aisyah dibandingkan kepada istrinya yang lain, Hafsah tampak sering bersedih. Pada suatu hari dia memprotes Rasulullah SAW. Umar yang mendengar kabar itu segera mendatangi putrinya seraya berkata,
“Duhai putriku, janganlah engkau terpedaya oleh wanita (Aisyah) yang bangga dengan kecantikannya dan kecintaan Rasul kepadanya. Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahwa Rasul tidak mencintaimu; dan sekiranya tidak karena aku, niscaya dia telah menceraikanmu.”
Kecemburuan Hafsah terhadap Aisyah seperti itu antara lain disebabkan oleh kemanjaan dan usianya yang masih muda. Akhirnya Rasulullah SAW berhasil mendekatkan kembali Hafsah dengan Aisyah.
Pada suatu hari Hafsah melihat Rasulullah SAW berdua dengan istri yang lain di rumahnya. Dia kembali bersedih dan merajuk, lalu menceritakan hal itu kepada Aisyah yang kemudian memimpin para istri Rasulullah SAW untuk melakukan protes. Akibatnya, Rasulullah SAW meninggalkan mereka selama sebulan, sehingga tersebarlah berita bahwa Rasulullah SAW menceraikan para istrinya.
Umar, ketika mengetahui bahwa peristiwa itu diakibatkan oleh ulah putrinya, segera mendatanginya dan memarahinya. Bahkan Umar mengatakan, jika Rasulullah SAW menceraikan Hafsah, ia tidak akan mengajak putrinya itu berbicara untuk selama-lamanya. Selanjutnya Umar mendatangi Rasulullah SAW dan menyatakan dukungannya terhadap sikap Rasulullah SAW.
Akan tetapi, Nabi SAW menenangkannya dan memberitahukan bahwa ia tidak pernah menceraikan istrinya, tetapi hanya meninggalkan mereka selama sebulan. Sesudah itu Umar pergi ke masjid dan berteriak di hadapan orang banyak, “Rasulullah SAW tidak menceraikan istrinya!” Kemudian Rasulullah SAW menyusul dan membacakan firman Allah SWT surah at-Tahrim (66) ayat 1–5.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Hafsahlah yang dipilih di antara istri Nabi SAW untuk menyimpan naskah pertama Al-Qur’an. Hal itu diawali dengan saran Umar kepada Khalifah Abu Bakar as-Siddiq untuk segera menghimpun Al-Qur’an yang tercecer dalam banyak lembaran.
Setelah mushaf (kumpulan lembaran) terhimpun, Abu Bakar menitipkannya kepada Hafsah. Demikianlah mushaf tersimpan dengan aman sampai kemudian Usman mengambilnya untuk diperbanyak menjadi empat salinan yang dikirim ke berbagai kota dan membakar naskah yang lain.
Pada akhir hayatnya, Hafsah mengasingkan diri untuk beribadah. Ia memang pernah bermaksud menemani Aisyah keluar dari Mekah untuk menuntut kematian Usman. Akan tetapi, maksud itu tidak terlaksana karena saudaranya, Abdullah bin Umar bin Khattab, melarangnya.
Hafsah meninggal dunia pada akhir masa kekhalifahan Usman atau pada tahun pertama pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Ia dimakamkan di Ummahat al-Mu’minin di Baqi’ (sebelah Masjid Madinah).
Daftar Pustaka
Bintu asy-Syati’. Nisa’ an-Nabi. Cairo: Dar al-Hilal, 1967.
Ibnu Hisyam. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: al-Halabi, 1936.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972.
–––––––. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Hery Noer Aly