Hadramaut adalah sebuah kawasan pantai Arab Selatan dan termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Republik Yaman, mulai dari Aden hingga Tanjung Ras al-Had. Banyak orang Arab yang bermukim di Indonesia berasal dari Hadramaut. Di utara, Hadramaut berbatasan dengan padang pasir Arab Tengah (Arab Saudi) dan sisanya berbatasan dengan Laut Arab.
Ada juga yang memberi batas kawasan Hadramaut hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu pantai di antara desa nelayan Ain Bamakbad dan Saihut, beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya.
Kawasan Hadramaut terdiri dari pantai berpasir dan pegunungan batu yang gersang. Di sepanjang pantai hanya terdapat bukit. Di balik bukit itu berdiri serangkaian gunung atau dataran tinggi yang sangat luas yang memiliki beberapa puncak. Yang tertinggi antara lain adalah Gunung al-Arsyah. Di sana-sini dijumpai padang rumput dan hutan kecil pohon sibr, semacam kaktus berduri. Ada juga pohon yang kayunya menyerupai akasia yang bernama musyt. Di daerah pantai terdapat sejumlah sumber air panas, yang sama sekali tidak dijumpai di daerah pedalaman.
Iklimnya sangat kering. Di pedalaman, hujan turun paling banyak empat kali dalam setahun yang berlangsung dari awal Oktober hingga akhir Februari. Pada musim panas, suhu di Hadramaut sangat panas. Sebaliknya, suhu di musim dingin sangat dingin, terutama jika angin utara bertiup.
Terdapat dua pelabuhan penting di pantai Hadramaut, yaitu asy-Syihr dan Mukalla. Keduanya merupakan pelabuhan yang ramai dikunjungi pendatang untuk kepentingan dagang. Kota penting di Hadramaut antara lain Borum, al-Gail atau Gail Bawazir, al-Hami, ad-Dis, asy-Syirmah, Qosai’ar, al-Gorfah, Saywun, Taribah, as-Sowairi, Inat, al-Qasm, dan Terim.
Nama Hadramaut berasal dari nama tokoh legendaris yang bernama Hadramaut, namun tidak ditemukan informasi mengenai identitas dirinya. Penduduk Hadramaut menganggapnya sebagai keturunan Yakrub bin Qahtan bin Hud. Jadi mereka termasuk ras Arab Selatan atau disebut juga Arab asli (‘Arab ‘aribah) yang dipertentangkan dengan ras Arab Utara yang merupakan Arab keturunan (‘Arab Muta‘arribah).
Seluruh penduduk asli Hadramaut beragama Islam. Agama Islam masuk ke wilayah ini sejak abad pertama Hijriah. Islam dianut penduduk secara turun-temurun. Mereka hanya mengenal satu mazhab, yaitu Mazhab Syafi‘i.
Di Hadramaut terdapat tempat suci umat Islam yang bernama Qabr Hud (makam Hud). Menurut keyakinan penduduk setempat, Qabr Hud adalah makam nenek moyang mereka, Nabi Hud AS. Di dekat makam itu terdapat sebuah masjid yang ramai dikunjungi peziarah, khususnya pada setiap 11 Syakban. Tempat suci lainnya adalah makam Nabi Saleh AS, di Lembah Sarr.
Makam nenek moyang kaum sayid di Hadramaut, yaitu Ahmad bin Isa yang bergelar “al-Muhajir” dan Sayid Ahmad bin Muhammad al-Habsyi, terletak di Sya’ab Ahmad. Makam nenek moyang suku ‘Amud yang bernama Ahmad bin Isa juga dengan gelar “Amududdin” (Tiang Agama) terletak di Qadun. Di samping itu, dijumpai pula makam Aidid, seorang suci, di kota Aidid dan makam al-Aidrus, juga seorang suci, di asy-Syihr.
Penduduk terdiri dari empat golongan utama, yaitu golongan sayid (yang dianggap keturunan Nabi SAW), golongan suku, golongan menengah, dan golongan budak. Golongan sayid menganggap diri mereka sebagai lapisan yang paling atas karena keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW. Mereka bergelar habib (jamak: haba’ib) dan kaum perempuannya bergelar habibah.
Kata sayid (jamak: sadah, dan bentuk femininnya syarifah) hanya digunakan sebagai atribut atau keterangan dan bukan sebagai gelar. Golongan sayid berjumlah sangat besar di Hadramaut. Mereka membentuk kebangsawanan beragam yang sangat dihormati sehingga secara moral sangat berpengaruh di kalangan penduduk.
Mereka terbagi dalam kabilah (suku) dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun-temurun yang bergelar munsib. Para munsib tinggal di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Munsib diakui sebagai pemimpin agama oleh suku yang berdiam di sekitar mereka. Di samping itu mereka juga dianggap sebagai penguasa daerah tempat tinggal mereka.
Selain golongan sayid, dikenal pula kelompok suku (kabilah) yaitu kelompok yang membentuk satu kesatuan suku atau kabilah. Golongan inilah yang biasanya menyandang senjata sebagai tentara atau polisi. Pada mulanya mereka berkelompok dalam keluarga yang terpisah satu sama lain.
Jumlah anggota dalam setiap keluarga sangat bervariasi. Ada kelompok keluarga yang anggotanya lima puluh orang dan ada pula yang sampai dua ratus orang. Untuk membedakan satu keluarga dari lainnya mereka memakai kata “banu” atau “bani” (yang berarti keturunan), misalnya Banu Kindah. Kepala suku disebut mukadam (orang terkemuka), sedangkan kepala keluarga atau cabang disebut abu (bapak).
Mukadam sebuah suku dibentuk dari sejumlah keluarga sekaligus menjadi abu dari keluarganya sendiri. Biasanya mukadam adalah tokoh yang paling tua dan paling kuat dalam suku itu. Apabila seorang kepala suku atau kepala keluarga meninggal, anak laki-laki dari garis ayah dan para sayid yang paling berpengaruh di daerah itu berkumpul untuk memilih penggantinya.
Meskipun demikian, pemilihan itu terbatas. Hanya anak lelaki yang memiliki hubungan darah paling dekat dengan almarhum yang lebih berhak menggantikannya, dengan syarat ia mampu mengemban tugas sebagai kepala suku.
Golongan ketiga adalah golongan menengah, yaitu penduduk secara umum, baik yang bermukim di kota maupun di desa. Mereka bukan anggota suku mana pun dan bukan pula sayid. Mereka terdiri dari kaum pedagang, pengrajin, petani, dan buruh. Sebagian dari masyarakat golongan menengah bergelar “syekh”, yaitu semacam gelar kehormatan bagi orang yang berilmu tinggi.
Golongan keempat adalah budak, yang merupakan lapisan terendah. Meskipun budak berasal dari Somalia atau Nubia, sebagian besar dari mereka lahir di Hadramaut dan bahkan di rumah tempat mereka bekerja. Mereka secara turun-temurun hampir selalu bekerja pada keluarga yang sama dan hanya berganti majikan setelah majikan mereka meninggal dunia.
Budak di Hadramaut beragama Islam. Mereka menikah di antara mereka dan diutamakan di antara budak yang bekerja pada majikan yang sama. Jika suami-istri budak bekerja pada majikan yang berbeda, biasanya majikan si istri menebus suami budaknya. Perkawinan antara orang merdeka dan budak sangat jarang terjadi. Para budak di Hadramaut hampir tidak pernah memakai nama Arab yang lazim, seperti Ahmad, Abdullah, dan Aisyah.
Undang-undang menetapkan bahwa para budak harus diperlakukan sebagai anggota keluarga dan bukan sebagai barang milik. Budak yang dibebaskan menyandang nama suku atau nama keluarga majikannya, tetapi tanpa membubuhkan gelar keturunan seperti sayid atau syekh.
Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut (umumnya laki-laki) ke Indonesia diperkirakan sejak abad pertengahan (abad ke-13). Pada masa itu telah terjalin hubungan dagang yang cukup erat antara Indonesia dan Arab Selatan, khususnya Muskat dan Teluk Persia.
Tujuan utama mereka ke Indonesia adalah berdagang dan mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi ada juga yang datang untuk mengajar agama Islam. Umumnya mereka yang berhasil tidak ingin lagi kembali ke tempat asalnya. Jumlah mereka semakin banyak setelah menikah dengan wanita Indonesia atau keturunan Indonesia-Arab.
Orang Arab Hadramaut yang tampil sebagai ulama dan tokoh masyarakat antara lain adalah Sayid Husein Abu Bakar al-Aidrus di Batavia (w. 1798), Sayid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Habsyi (w. 1853), Salim bin Abdullah bin Sumair (penulis buku SafÓnah an-NajÎh, w. 1854), dan Sayid Usman bin Akil bin Yahya al-Alawi (w. 1913).
Di Indonesia, daerah yang menjadi pusat pemukiman orang Arab dari Hadramaut antara lain adalah: Banten, Batavia (Jakarta), Karawang, Priangan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Madura, Makassar (Ujungpandang), Ternate, Aceh, Palembang, dan Pontianak. Di daerah tersebut mereka hidup membaur dengan penduduk pribumi setempat.
Daftar Pustaka
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Van Den Berg, L.W.C. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta: INIS, 1989.
Musdah Mulia