Hadis, Kitab

(Ar.: kitab al-Hadits)

Kitab hadis adalah buku yang memuat hadis Rasulullah SAW yang dilengkapi dengan sanadnya. Penyusunan hadis tersebut disistematisasikan sesuai dengan topiknya masing-masing. Kitab hadis itu bisa disyarah atau diberi komentar oleh penyusunnya dan bisa juga tidak.

Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadis. Para ahli hadis menyatakan bahwa penulisan hadis telah dimulai sejak Rasulullah SAW masih hidup. Tetapi, terdapat perbedaan pendapat ulama hadis tentang kebolehan menulis hadis ketika Nabi SAW masih hidup. Perbedaan pendapat ini muncul karena ada hadis yang membolehkan dan ada pula yang melarang menuliskannya.

Di antara hadis yang membolehkannya adalah riwayat dari Abdullah bin Amr bin As. Ia pernah menulis apa saja yang didengarnya dari Rasulullah SAW karena ia ingin menghafalkannya, tetapi orang Quraisy melarangnya.

Menurut mereka, Nabi SAW hanya manusia biasa yang berbicara dalam keadaan senang dan marah. Hal tersebut disampaikan Abdullah bin Amr bin As kepada Rasulullah SAW yang kemudian bersabda, “Tulislah (hadis itu)! Demi Allah, tidak keluar dari Rasul itu kecuali suatu kebenaran” (HR. Bukhari).

Adapun hadis yang melarang menuliskannya, antara lain, adalah hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang berbunyi: “Jangan kamu menuliskan apa-apa yang datang dariku, siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah.”

Abdul Halim Mahmud, mantan rektor Universitas al-Azhar (Cairo), menyatakan bahwa kedua hadis di atas benar. Menurutnya, larangan menuliskan hadis itu bersifat umum, sedangkan kebolehan menuliskannya bersifat khusus bagi orang tertentu.

Muhammad Ajaj al-Khatib (muhaddits [ahli hadis] dari Suriah) bahkan mengatakan, sebenarnya hadis yang membolehkan para sahabat menuliskan dan mengumpulkan hadis lebih kuat daripada hadis yang melarangnya.

Sahabat yang diizinkan menuliskan hadis antara lain adalah Abdullah bin Amr bin As (7 SH/615 M–65 H/685 M), yang memiliki kumpulan hadis yang terkenal dengan nama Sahifah as-Sadiqah. Menurut Subhi as-Salih (ahli hadis), kitab tersebut masih utuh sampai zaman tabiin.

Di samping itu, dijumpai pula kumpulan hadis Sahifah Jabir bin ‘Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin Abdullah al-Ansari (16 H/637 M–73 H/693 M), yang masih tetap utuh sampai zaman tabiin; dan Sahifah-Sahihah yang disusun oleh Humam bin Manabbih (40 H/661 M–131 H/749 M). Akan tetapi, ketiga Sahifah tersebut telah hilang.

Pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar), para sahabat yang bisa tulis-baca juga berminat menuliskan hadis Rasulullah SAW. Akan tetapi niat tersebut tidak dilaksanakan karena mereka khawatir bahwa umat Islam kelak akan lebih mencurahkan perhatiannya kepada hadis dari pada Al-Qur’an.

Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab, misalnya, telah mengumpulkan beberapa hadis, bahkan Abu Bakar sempat menuliskan 500 hadis, tetapi kemudian kumpulan hadis itu mereka bakar.

Penulisan hadis secara resmi dimulai sejak Umar bin Abdul Aziz (682–720) menduduki jabatan khalifah (717–720). Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang.

Dengan dukungan ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117 H/735 M), untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar).

Di samping itu, Khalifah juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H/742 M) untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis.

Sejak saat itu, perhatian ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis, misalnya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (w. 159 H/776 M) di Mekah; Malik bin Anas atau Imam Malik (94 H/716 M–179 H/795 M) dan Muhammad bin Ishaq (w. 151 H/768 M) di Madinah; ar-Rabi bin Sabih (w. 160 H/777 M), Sa‘id bin Urubah (w. 156 H/773 M), dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri (w. 167 H/784 M) di Basrah.

Sufyan as-Sauri (w. 161 H/778 M) di Kufah; Ma’mar bin Rasyid (95 H/714 M–153 H/770 M) di Yaman; Abdurrahman bin Amr al-Auza’i (88 H/707 M–156 H/773 M) di Syam (Suriah); Abdullah bin al-Mubarak (118 H/736 M–181 H/797 M) di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir (104 H/723 M–183 H/799 M) di Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid (110 H/729 M–188 H/804 M) di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab (125 H/743 M–197 H/813 M) di Mesir.

Akan tetapi, penulisan hadis pada zaman tabiin ini masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwaththa’ yang disusun Imam Malik.

Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, ada ulama hadis yang mengatakan bahwa kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad (kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW) dan ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori al-jami‘ (kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela) atau al-mu‘jam (kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru, kabilah, atau tempat hadis itu didapatkan; yang diurutkan secara alfabetis).

Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi‘ at-tabi‘in (generasi sesudah tabiin) yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanadnya yang disebut al-musnad.

Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi (133 H/751 M–203 H/819 M). Langkah ini diikuti generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa (w. 212 H/828 M), Musa al-Abbasi (w. 213 H/829 M), Musaddad al-Basri (w. 228 H/843 M), Nu‘aim bin Hammad al-Khaza’i (w. 228 H/843 M), Ahmad bin Hanbal atau ImamHanbali (164 H/780 M–241 H/855 M), Ishaq bin Rahawaih (161 H/778 M–238 H/853 M), dan Usman bin Abi Syaibah (156 H/773 M–239 H/854 M).

Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi, hadis yang disusun dalam kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudhu‘ (palsu).

Setelah itu muncul pula upaya para ahli hadis untuk memilah hadis yang sahih saja dan menyusunnya sesuai dengan topik permasalahan. Upaya ini dimulai pada abad ke-3 H yang lebih dikenal sebagai abad pembukuan hadis (tadwin), karena pada abad ini muncul ulama hadis terkemuka yang membukukan hadis secara sistematis, antara lain Imam Bukhari (194 H/810 M–256 H/870 M) menyusun kitab Sahih al-Bukhari, Imam Muslim (202 H/817 M–261 H/875 M) menyusun kitab Sahih Muslim, Imam Abu Dawud (202 H/817 M–275 H/888 M) menyusun kitab Sunan Abi Dawud, Imam Abu Isa Muhammad at-Tirmizi (209 H/824 M–279 H/892 M) menyusun kitab Sunan at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i (215 H/830 M–303 H/915 M) menyusun kitab Sunan an-Nasa’i, dan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba‘i al-Qazwini atau Ibnu Majah (209 H/824 M–273 H/887 M) menyusun kitab Sunan Ibn Majah. Keenam kitab hadis tersebut di kalangan mayoritas ahli hadis disebut al-Kutub as-Sittah (Kitab Hadis yang Enam).

Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama hadis ketika menempatkan kitab hadis keenam dalam jajaran al-Kutub as-Sittah. Sebagian ulama hadis menyatakan, kitab hadis keenam itu adalah Sunan Ibn Hibban yang disusun Ibnu Hibban al-Busti (270 H/884 M–354 H/965 M). Sebagian lainnya menempatkan al-Muwaththa’ sebagai kitab hadis keenam.

Di samping al-musnad dan al-Kutub as-Sittah, ada juga yang disebut al-mustakhraj, yaitu kitab hadis yang memuat hadis dari kitab hadis yang ada dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad hadis yang dirujuknya. Kitab al-mustakhraj ini cukup banyak, antara lain:

(1) al-mustakhraj terhadap kitab Sahih al-Bukhari, antara lain kitab al-mustakhraj yang disusun al-Hafiz Abi Bakar al-Isma‘ili al-Jurjani (w. 371 H/982 M), al-Hafiz Abi Bakar al-Barqani (w. 425 H/1034 M), al-Hafiz Abi Bakar bin Mardawaih al-Asbahani al-Kabir (w. 416 H/1025 M), al-Gatrafi (w. 377 H/988 M), dan al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Abbas atau Ibnu Abi Zahl al-Harawi (w. 378 H/989 M);

(2) al-mustakhraj terhadap Sahih Muslim, antara lain kitab al-mustakhraj yang disusun al-Hafiz Abu Auwanah Ya‘qub bin Ishaq Ibrahim al-Asfaraini (w. 354 H/965 M), al-Hafiz Bakar Muhammad bin Muhammad bin Raja‘ an-Naisaburi (w. 286 H/899 M), Abi Bakar Muhammad bin Abdillah al-Jauzqi an-Naisaburi (w. 388 H/998 M), dan al-Hafiz Ahmad bin Salamah an-Naisaburi al-Bazzar (w. 286 H/899 M); dan

(3) al-mustakhraj terhadap kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, antara lain kitab al-mustakhraj yang disusun al-Hafiz Muhammad bin Ya‘qub asy-Syaibani an-Naisaburi atau Ibnu al-Akhram (w. 344 H/956 M), al-Hafiz Abi Zar al-Harawi (w. 434 H/1043 M), al-Hafiz Abi Muhammad al-Baghdadi atau Ibnu al-Khalal (w. 439 H/1048 M), al-Hafiz Abi Ali al-Masarjisi an-Naisaburi (w. 365 H/976 M), dan al-Hafiz al-Musannif Abi Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Asfahani (w. 430 H/1039 M).

Matan hadis dalam kitab al-mustakhraj tersebut sedikit berbeda dengan matan dan makna hadis dari kitab aslinya. Oleh karena itu, apabila menukilkan hadis dari salah satu kitab al-mustakhraj, seseorang tidak boleh mencantumkan perawi hadis itu sesuai dengan perawi hadis pada kitab aslinya.

Misalnya, apabila menukilkan sebuah hadis dari kitab Mustakhraj al-Hafiz Abu Muhammad al-Bagdadi, seseorang tidak boleh mencantumkan nama Bukhari dan Muslim sebagai periwayat hadis itu. Karena, hadis yang dinukil itu bukan dari Sahih al-Bukhari atau Sahih Muslim, dan matan serta maknanya sedikit berbeda dengan matan dan makna hadis dalam kedua kitab tersebut.

Ada beberapa keistimewaan kitab al-mustakhraj yang dikemukakan ulama hadis, antara lain:

(1) penambahan hadis dari kitab aslinya dengan sanad dan matan yang mungkin berbeda;

(2) penambah kekuatan bagi sanad hadis; dan

(3) penyusun al-mustakhraj dapat menjelaskan lebih terperinci keadaan sanad hadis yang ada pada kitab asal. Misalnya, jika di antara sanad dalam kitab asal ada yang cacat atau diragukan, perawinya berubah akal pada akhir hayatnya, atau matan hadis itu bertentangan dengan kaidah bahasa, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (ulama hadis; 773 H/1372 M–852 H/1449 M, penyusun al-mustakhraj dapat menjelaskan dan menyempurnakannya.

Selain itu ada pula yang disebut al-mustadrak, yaitu kitab yang menghimpun hadis berdasarkan syarat yang dikemukakan Bukhari dan atau Muslim, sedangkan hadis tersebut tidak dijumpai dalam Sahih al-Bukhari dan Shahi Muslim. Keistimewaan al-mustadrak lebih kurang sama dengan keistimewaan al-mustakhraj.

Menurut para ahli hadis, kitab al-mustadrak yang terpenting antara lain sebagai berikut.

(1) Al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain oleh al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M. Dalam kitabnya ini, dijelaskan hadis yang dicantumkan berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim atau salah satu di antara keduanya, tetapi hadis ini tidak terdapat dalam Sahih al-Bukhari atau Sahih Muslim. Kitab al-mustadrak ini telah diringkas Imam az-Zahabi (w. 748 H/1348 M).

(2) Kitab al-Ilzamat oleh ad-Daruqutni (w. 385 H/995 M), yang dikenal sebagai amirulmukminin dalam bidang hadis (salah satu gelar tertinggi dalam hadis). (3) Al-Mustadrak ‘ala as-sahihain oleh al-Hafiz Abi Zar al-Harawi.

Kitab Hadis Utama. Kitab hadis utama yang sering dijadikan rujukan ulama hadis dan fikih adalah sebagai berikut:

Sahih Al-Bukhari.

Kitab hadis ini disusun Imam Bukhari, dikenal juga dengan nama al- Jami‘ al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar min Umar Rasulillah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi. Berdasarkan judul yang dikemukakan Imam Bukhari tersebut, hadis yang dikatakan sahih dalam kitabnya adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Ada hadis yang sanadnya terputus atau tanpa sanad sama sekali, namun hadis tersebut hanya bersifat pengulangan dan merupakan pendukung terhadap hadis yang sedang dibahas. Oleh sebab itu, Imam az-Zahabi mengatakan bahwa kitab ini merupakan kitab yang bernilai tinggi dan paling baik setelah Al-Qur’an.

Imam Bukhari menghabiskan hidupnya untuk menulis kitab ini karena ia memperhatikan bahwa kitab hadis yang ditulis ulama hadis ketika itu masih mencampuradukkan hadis sahih dan hadis daif, tanpa membedakan hadis yang maqbul (diterima sebagai hujah) dan hadis yang mardud (ditolak sebagai hujah).

Di samping itu, pengaruh hadis palsu makin meluas, bahkan telah pula tercantum dalam beberapa kitab hadis yang disusun ulama sebelum dirinya. Di sisi lain, ulama hadis pun sering mengabaikan hukum fikih yang dikandung dalam hadis tersebut, sehingga mereka tidak menjelaskan fungsi hadis itu sebagai dalil syarak (hukum Islam).

Selama 16 tahun Imam Bukhari berkeliling ke berbagai wilayah Islam untuk menemui para guru hadis dan meriwayatkan hadis dari mereka. Dalam mencari kebenaran suatu hadis, ia secara tekun menemui para periwayat hadis tersebut sehingga ia yakin benar bahwa hadis itu sahih.

Ia mengemukakan syarat yang ketat dalam meriwayatkan sebuah hadis. Hadis yang diterimanya adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan dan hafalannya, serta antara guru dan murid harus benar-benar bertemu. Misalnya, apabila rangkaian sanad itu terdiri atas Rasulullah SAW –sahabat–tabiin–tabi‘at-tabi‘in–A–B–Bukhari, maka Imam Bukhari perlu menemui B secara langsung, dan B benar-benar bertemu dan menerima hadis dari A secara langsung (al-liqa’); demikian seterusnya sampai kepada Nabi SAW.

Sahih Al-Bkhari memuat hadis sahih yang diseleksi Imam Bukhari dari 600.000 hadis yang dihafalnya. Hadis tersebut diterimanya dari sekitar 90.000 perawi hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, jumlah hadis yang terdapat dalam kitab ini adalah 7.397 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Jika yang berulang itu dihilangkan, jumlah hadis seluruhnya 2.602 buah.

Hadis dalam kitab ini dibagi sesuai dengan babnya yang terdiri atas akidah, hukum, etika makan dan minum, akhlak, perbuatan terpuji dan tercela, tarikh, dan sejarah hidup Rasulullah SAW.

Imam Bukhari dikenal juga sebagai fakih dan mujtahid di zamannya. Karena itu, hadis dalam Sahih Al-Bukhari juga mencakup berbagai persoalan fikih di samping berbagai masalah akidah dan akhlak. Ia menyusun kitabnya ini berdasarkan bab fikih dan menjelaskan setiap kandungan hadis tersebut.

Ada dua cara yang ditempuhnya dalam menjelaskan kandungan hadis yang ditulisnya.

(a) Mencari persesuaian antara hadis. Adakalanya suatu lafal hadis ditafsirkan dengan lafal hadis lain, adakalanya dijelaskan oleh makna hadis lain, dan adakalanya pula ditafsirkan sendiri olehnya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah usul fikih.

(b) Mengemukakan penjelasan umum dari hadis tersebut. Kadangkala ia menjelaskan bahwa sekalipun suatu hadis bersifat umum, maksudnya adalah khusus untuk hukum tertentu, atau sebaliknya hadis khusus mengandung makna yang umum.

Berkaitan dengan itu, ia juga berupaya mengkompromikan antara hadis yang muthlaq (tanpa batasan) dan hadis yang muqayyad (terbatas). Kemudian ia menjelaskan lafal hadis yang sulit dipahami dan melakukan takwil terhadap hadis yang memiliki makna ganda/lebih.

Sahih al-Bukhari banyak disyarah ulama hadis sesudahnya, antara lain oleh al-Khattabi (319 H/931 M–388 H/998 M) dengan judul A‘lam as-Sunan, Ibnu Hajar al-Asqalani dengan judul Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari, Badruddin al-Aini (w. 855 H/1451 M) dengan judul ‘Umdah al-Qari li Syuruh Sahih al-Bukhari, Ahmad bin Abi Bakar al-Asqalani (w. 923 H/1517 M) dengan judul Irsyad asy-Syari‘ Syarh Sahih al-Bukhari, dan Syamsuddin Muhammad bin Yusuf al-Kirmani (w. 786 H/1384 M) dengan judul al-Kawakib ad-Darari Syarh Sahih al-Bukhari.

Di samping itu, ada juga ulama hadis yang meringkas kitab Sahih al-Bukhari, antara lain Jamaluddin Ahmad bin Umar al-Ansari (w. 656 H/1258 M), Badruddin Hasan bin Umar al-Halabi (w. 789 H/1387 M), dan Husain bin Mubarak az-Zabidi (w. 893 H/1488 M).

Sahih al-Bukhari telah sering dicetak, bukan saja oleh penerbit di berbagai negara Arab, tetapi juga para penerbit di berbagai negara Islam.

Sahih Muslim.

Kitab hadis yang disusun Imam Muslim. Menurut ulama hadis, antaralain Imam Nawawi (631 H/1233 M–676 H/1277 M), kitab ini memuat 7.275 hadis (termasuk yang ditulis ulang) yang diseleksi dari 300.000 hadis yang di-hafal Imam Muslim. Jika tanpa pengulangan, jumlahnya 4.000 hadis, yang menurut penyusunnya merupakan hadis sahih, baik dari segi sanad maupun matan. Hadis dalam kitab disusun sesuai dengan sistematika fikih yang topiknya sama dengan Sahih al-Bukhari.

Ada dua persoalan yang melatarbelakangi Imam Muslim untuk menyusun kitabnya ini. (a) Keinginan untuk menyusun sebuah kitab hadis yang hanya memuat hadis sahih yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah SAW. Keinginan ini muncul karena kitab hadis pada zamannya masih mencam puradukkan hadis sahih dengan yang tidak sahih, baik dari segi sanad maupun matan.

Meskipun Imam Bukhari telah menyusun sebuah kitab sahih, menurutnya masih ada kesulitan bagi orang yang tidak ahli dalam bidang hadis untuk memahami penjelasan yang dikemukakan Imam Bukhari.

Upaya kaum zindik, para ahli kisah, dan para sufi untuk menipu masyarakat dengan hadis yang mereka buat, sehingga umat Islam pada saat itu sulit untuk menilai mana hadis yang benar-benar datang dari Rasulullah SAW dan mana hadis yang palsu.

Akan tetapi, Imam Muslim tidak mengemukakan syarat yang terlalu ketat dalam menuliskan hadis pada kitabnya jika dibandingkan dengan Imam Bukhari. Sekalipun mengemukakan syarat yang sama, yaitu sanad hadis bersambung serta diterima dari dan oleh orang yang adil dan dapat dipercaya, keduanya berbeda pendapat mengenai syarat antara murid (penerima hadis) dan guru (sumber hadis).

Menurut Imam Muslim, murid dan guru tidak harus bertemu, tetapi cukup bahwa keduanya sama-sama hidup satu masa (al-mu‘asarah). Namun Imam Bukhari mensyaratkan, murid dan guru harus bertemu (al-liqa’). Atas dasar ini, ulama hadis menempatkan Sahih al-Bukhari lebih baik daripada Sahih Muslim meskipun mereka sepakat menyatakan bahwa kedua kitab itu memuat hadis sahih.

Sahih Muslim banyak disyarah ulama hadis sesudahnya. Menurut Muhammad az-Zuhaili (ahli fikih), jumlahnya mencapai 15 syarah, antara lain yang paling populer adalah al-Minhaj oleh Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marri al-Khazami atau Imam Nawawi, Ikmal al-Akmal oleh Abi al-Farj Isa bin Mas‘ud az-Zawawi (w. 743 H/1342 M), dan Ikmal al-Mu‘allim bi Fawa’id Kitab Muslim oleh Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khalfah al-Ubiyy al-Maliki (w. 828 H/1425 M).

Di samping itu ada juga kitab yang merupakan ringkasan dari Sahih Muslim, antara lain Talkhis Kitab Muslim oleh Ahmad bin Umar al-Qurtubi (w. 656 H/1258 M), Mukhtasar oleh Imam Zakiuddin Abdul Azim al-Munziri (w. 656 H/1258 M), Mukhtasar Zawa’id Muslim ‘ala al-Bukhari oleh Sirajuddin Umar bin Ali al-Mulaqqin (w. 804 H/1402 M) atau Ibnu Mulaqqin, dan Kitab fi Asma’ Rijal Muslim oleh Abu Bakr Ahmad bin Ali al-Asbahani (w. 277 H/891 M).

Di samping itu, ada kitab yang berupaya menghimpun hadis yang sama-sama diriwayatkan Bukhari dan Muslim dengan sanad dan matan yang sama, yaitu al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi ma Ittafaqa ‘alaihi asy-Syaikhan oleh Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (ahli hadis). Cetakan terakhir dari kitab ini diterbitkan oleh Dar Ihya’ at-Turats al-Islami (Kuwait) 1414 H/1994 M.

Sahih Muslim telah beberapa kali dicetak ulang, baik di Timur Tengah maupun di negara Islam lainnya. Cetakan terbaik adalah yang diterbitkan oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah (Cairo) 1375 H/1956 M dengan komentar dari Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.

Sunan Abi Dawud.

Kitab hadis yang disusun Imam Abu Dawud. Kitab ini memuat 5.274 hadis (termasuk yang ditulis ulang), 4.800 hadis di antaranya merupakan hadis hukum. Di antara imam yang enam yang termasuk dalam al-Kutub as-Sittah, Abu Dawud merupakan imam yang paling fakih.

Oleh sebab itu, Sunan Abi Dawid dikenal sebagai kitab hadis hukum, sehingga ulama hadis dan fikih mengakui bahwa seorang mujtahid cukup merujuk Sunan Abi Dawud di samping Al-Qur’an. Abu Dawud menerima hadis dari sejumlah besar guru hadis, antara lain guru Imam Bukhari dan Imam Muslim (seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah, dan Ibnu Qutaibah).

Dalam kitab ini juga dibahas berbagai persoalan sebagai mana yang termuat dalam Hadits al-Bukhari dan Hadits Muslim, yang disusun sesuai dengan bab fikih. Akan tetapi, hadis dalam kitab Abu Dawud ini tidak sahih semuanya, karena di dalamnya terdapat juga hadis hasan, bahkan hadis daif.

Namun ada keistimewaannya, yakni bahwa Abu Dawud senantiasa menjelaskan letak kelemahan hadis tersebut, sehingga para pembaca mudah melihat kualitas hadis itu. Di samping itu, menurut penelitian ulama hadis, dalam kitab ini juga terdapat hadis mursal (hadis yang diriwayatkan tabiin langsung dari Rasulullah SAW).

Sunan Abi Dawud juga banyak disyarah ahli hadis sesudahnya, antara lain oleh al-Khattibi dengan judul Ma‘alim as-Sunan dan Qutbuddin Abu Bakr al-Yamani asy-Syafi‘i (w. 652 H/1254 M) dengan judul Syarh Sunan Abi Dawud. Kemudian kitab ini juga dikomentari oleh Abu Zur‘ah Ahmad bin Abdurrahim al-Iraqi (w. 826 H/1423 M) dan Syihabuddin ar-Ramli (w. 848 H/1444 M).

Di samping itu, Sunan Abi Dawud ini diringkas oleh Zakiuddin Abdul Azim al-Munziri dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691 H/1292 M–751 H/1352 M). Buku ini telah beberapa kali dicetak ulang, antara lain oleh penerbit Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1371 H/1952 M. Di samping itu, Sunan Abi Dawud juga dicetak bersama dengan syarahnya, Ma‘alim as-Sunan di Homs, Suriah, 1394 H/1974 M.

Sunan at-Tirmidzi.

Dikenal juga dengan nama Jami‘ at-Tirmidzi. Kitab ini disusun Abu Isa Muhammad at-Tirmizi dan termasuk ke dalam kelompok al-Kutub as-Sittah.

Kitab ini memuat 3.956 hadis yang terdiri atas hadis sahih, hasan, dan daifbahkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, di dalamnya juga terdapat sekitar 30 hadis maudhu‘ (palsu). Namun, pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah ini dibantah Abu Syuhbah, muhaddits dari Mesir. Menurutnya, jika ada hadis maudhu‘ dalam Sunan at-Tirmidzi, at-Tirmizi pasti menjelaskannya.

At-Tirmizi senantiasa memberikan komentar terhadap kualitas hadis yang dicantumkannya dalam kitab tersebut, dan jika ada hadis yang menurut at-Tirmizi daif, dijelaskannya letak kelemahan hadis tersebut.

Sunan at-Tirmidi memuat beberapa istilah ilmu hadis yang belum pernah diungkapkan para muhaddits sebelum nya, misalnya istilah hadis hasan sahih, hadis sahih garib (asing, ganjil), hadis hasan garib, dan hadis hasan sahih garib. Imam at-Tirmizi sendiri tidak menjelaskan pengertian istilah tersebut.

Ulama hadis sesudahnya mencoba menjelaskan istilah yang digunakan at-Tirmizi tersebut. Misalnya, Ibnu as-Salah menjelaskan bahwa hadis hasan sahih adalah kembali kepada dua hadis yang sanadnya berbeda. Salah satu sanadnya sahih dan yang lainnya hasan. Akan tetapi, penjelasan ini pun tidak diterima seluruh ulama hadis.

Sunan at-Tirmidzi banyak disyarah ulama hadis, antara lain oleh Muhammad bin Abdillah yang lebih dikenal dengan Ibnu al-Arabi al-Maliki (w. 546 H/1151 M) dengan judul ‘Aridah al-Ahwadzi fi Syarh at-Tirmidzi dan al-Mabarkafuri (w. 804 H/1402 M) dengan judul Tuhfah al-Ahwadzi.

Sunan at-Tirmidzi juga diringkas oleh beberapa ulama hadis, antara lain oleh Najmuddin Muhammad bin Aqil (w. 729 H/1329 M) dan Sulaiman bin Abdul Qawi at-Tufi (w. 710 H/1310 M). Kitab hadis ini telah berulang kali dicetak, antara lain dicetak bersamaan dengan syarahnya Tuhfah al-Ahwadzi dengan komentar dari Abdul Wahhab Abdul Latif di Mesir 1383 H/1963 M.

Sunan an-Nasa’i.

Kitab hadis yang disusun Imam an-Nasa’i. Kitab hadis yang lebih dikenal dengan nama Sunan al-Mujtaba atau Sunan as-Sugra ini merupakan hasil seleksi dari hadis yang terdapat dalam kitab as-Sunan al-Kubra karya Imam an-Nasa’i sebelumnya, yang di dalamnya masih bercampur hadis sahih dan hadis tidak sahih; memuat 5.671 hadis. Sunan an-Nasa’i memuat hadis yang menurut Imam an-Nasa’i sahih. Kitab ini termasuk dalam kelompok al-Kutub as-Sittah.

Menurut para peneliti hadis, sedikit sekali dijumpai hadis daif dalam Sunan an-Nasa’i, sehingga kitab ini dinilai lebih baik dari Sunan Abi Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, karena an-Nasa’i dalam menyeleksi hadis lebih ketat daripada keduanya. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa banyak sekali hadis yang diterima oleh Abu Dawud dan at-Tirmizi tetapi ditolak oleh an-Nasa’i.

Sunan an-Nasa’i disusun sesuai dengan sistematika fikih dengan mempergunakan bab yang menjelaskan serta mengistinbatkan (mengambil kesimpulan) berbagai hukum yang dikandung suatu hadis. Oleh karena itu, kitab ini menjadi rujukan para ahli fikih setelah Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena kualitas hadis yang ada di dalamnya menempati posisi di bawah kedua kitab hadis tersebut dan di atas, Sunan Abi Dawud dan Sunan at-Tirmidzi.

Kitab ini pun tidak lepas dari syarah ulama hadis sesudahnya, seperti al-Im‘an fi Syarh Sunan an-Nasa’i oleh Ali bin Khalaf atau Ibnu an-Ni’mah (w. 567 H/1172 M), zahr ar-Rabi oleh as-Suyuti (849 H/1445 M–911 H/1505 M), dan Syarh as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa’i oleh Abu Hasan Muhammad bin Abdul Hadi as-Sindi (w. 1138 H/1725 M). Yang disebut terakhir ini, di samping mensyarah setiap hadis, juga memberi baris (harakat) dan melakukan penelitian yang mendalam tentang lafal hadis dengan menjelaskan lafal yang garib serta struktur kalimat masing-masing hadis.

Buku ini telah beberapa kali dicetak ulang, baik tanpa syarah maupun dengan syarahnya, antara lain diterbitkan oleh penerbit Mustafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1383 H/1964 M. Kelima kitab hadis di atas oleh para ahli hadis disebut al-Kutub al-Khamsah (Kitab Hadis yang Lima).

Sunan Ibn Majah.

Kitab hadis yang disusun Ibnu Majah. Kitab ini memuat 4.341 hadis, 3.002 di antaranya terdapat dalam al-Kutub al-Khamsah dan 1.339 hadis lainnya merupakan hadis yang diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah.

Semula ulama hadis tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ini sebagai salah satu kitab hadis dalam jajaran al-Kutub as-Sittah, karena di dalam kitab ini bercampur hadis sahih, hasan, daif, dan bahkan yang sangat daif seperti hadis munkar. Oleh sebab itu, sebagian ulama hadis menjadikan Sunan ad-Darimi sebagai kitab hadis keenam dalam al-Kutub as-Sittah, dan ada pula yang memasukkan al Muwaththa’ di samping Sunan Ibn Hibban sebagai kitab hadis keenam dalam kelompok itu. Akan tetapi, ketiga kitab yang disebutkan terakhir ini pun tidak disetujui oleh ulama hadis.

Muhaddits pertama yang memasukkan Sunan Ibn Mahjah sebagai kitab keenam dalam al-Kutub as-Sittah adalah al-Hafiz Abu al-Fadal Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H/1114 M) dalam kitabnya, Athraf al-Kutub as-Sittah, dan kemudian diikuti oleh al-Hafiz Abdul Gani al-Maqdisi dalam kitabnya, al-Akmal fi Asma’ ar-Rijal.

Setelah itu ulama sesudahnya menyepakati Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam dalam jajaran al-Kutub as-Sittah. Kalangan ahli hadis menyebut Sunan Ibn Majah, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasa’i dengan as-Sunan al-Arba‘ah (Empat Sunan).

Kitab Sunan Ibn Majah juga disyarah beberapa ulama hadis, antara lain Kalauddin Muhammad bin Musa ad-Damiri (w. 808 H/1405 M), as-Suyuti, Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad al-Halabi (w. 841 H/1437 M), dan Sirajuddin Umar bin Ali al-Mulaqqin. Kitab ini telah beberapa kali dicetak ulang, dan yang terbaik adalah terbitan Mustafa al-Babi al-Halabi, Mesir, dengan komentar Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, 1372 H/1952 M.

Sunan ad-Darimi.

Kitab hadis yang disusun Imam ad-Darimi (181 H/798 M–255 H/869 M). Kitab ini disusun berdasarkan sistematika fikih namun di dalamnya terdapat hadis yang sama sekali tidak berkaitan dengan fikih. Kitab ini juga dikenal dengan sebutan Musnad ad-Darimi, sedangkan penyusunan hadis di dalamnya tidak mengikuti metode kitab al-musnad.

Namun demikian, ad-Darimi juga memiliki kitab hadis lain yang disebut al-musnad dan dianggap muhaddits sebagai kitab sahih. Oleh sebab itu, ada sebagian ulama hadis yang memasukkan Sunan ad-Darimi sebagai kitab hadis keenam dalam al-Kutub as-Sittah, menggantikan Sunan Ibn Majah, karena mereka menganggap kitab ini lebih baik daripada Sunan Ibn Majah.

Akan tetapi, sebagaimana kitab as-sunan lainnya, dalam Sunan ad-Darimi juga dijumpai hadis mursal dan mauquf (perkataan, perbuatan, atau takrir yang dinisbahkan kepada sahabat Nabi SAW), tetapi jumlahnya tidak banyak. Di samping itu, ad-Darimi sangat peduli terhadap status perawi hadis pada setiap sanad hadis yang ditemukannya, sehingga masing-masing penutur hadis dibahasnya secara tuntas.

Al-Muwaththa’.

Kitab hadis yang disusun Imam Malik (94 H/716 M–179 H/795 M); merupakan kitab hadis tertua yang sampai ke tangan umat Islam saat ini. Dalam kitab al-Muwaththa’, Imam Malik mengumpulkan hadis yang dipandangnya kuat, fatwa para sahabat dan tabiin, pendapat fikih yang disandarkan kepada konsensus penduduk Madinah, dan kemudian ia menjelaskan ijtihadnya sendiri dalam permasalahan yang dibahas. Bahkan sering ia secara implisit mengemukakan kaidah usul fikih dalam mengistinbatkan hukum dari hadis yang sedang dibahas.

Oleh karena itu, sebagian ulama hadis menganggap al-Muwaththa’ lebih dekat kepada buku fikih daripada buku hadis, karena banyak sekali persoalan fikih yang diungkapkan dalam kitab tersebut.

Al-Muwaththa’ disusun atas permintaan Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah Abbasiyah, 137 H/754 M–159 H/775 M) pada 144 H/762 M agar dapat dijadikan rujukan oleh umat Islam saat itu. Menurut al-Abhari (ahli hadis), dalam kitab ini ada 600 hadis musnad, 222 hadis mursal, 613 hadis mauquf, dan 285 hadis maqthu‘.

Akan tetapi, banyak hadis dalam kitab ini yang tidak mempunyai sanad. Namun demikian, sebagian ahli hadis menganggap bahwa kajian terhadap sanad belum ada pada saat itu, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Malik tidak mengemukakan sanad hadis dalam kitab ini.

Menurut Imam Malik, sebagaimana dinukilkan as-Suyuti ketika mensyarah kitab ini, setelah selesai disusun al-Muwaththa’ disodorkan kepada 70 ulama terkemuka Madinah dan mereka mendukung dan menyetujuinya. Penyusunan dan revisi kitab ini berlangsung selama 40 tahun.

Ulama hadis dan fikih menerima al-Muwaththa’ sebagai kitab hadis yang memuat hadis sahih dan menyejajarkannya dengan Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, bahkan ada yang menempatkannya setingkat di atas Sahih al-Bukhari. Imam Syafi‘i (150 H/767 M–204 H/820 M) menyatakan bahwa tidak ada satu kitab pun yang ditulis di bumi ini yang lebih dekat kepada Al-Qur’an selain kitab Imam Malik.

Kitab ini banyak disyarah ulama hadis sesudahnya, antaralain oleh Muhammad bin Abdul Baqi az-Zarqani (w. 1122 H/1710 M) dengan judul Syarh al-Muwaththa’ li az-Zarqani dan Imam al-Baji (ahli hadis Mazhab Maliki; 403 H/1013 M–494 H/1101 M) dengan judul al-Muntaqa fi Syarh al-Muwaththa’.

Kitab ini telah beberapa kali dicetak ulang dengan komentar dari Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Imam Hanafi; 131 H/718 M–189 H/804 M) danYahya bin Yahya al-Andalusi (ulama besar dari Magribi [sebutan negara Islam di Afrika Utara]; 151/152–233/234 H atau 768/769–848/849 M).

Yang banyak beredar saat ini adalah yang dikomentari Yahya bin Yahya al-Andalusi. Di samping itu, ada juga kitab al-Muwaththa’ yang dikomentari oleh Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dan diterbitkan 1370 H/1951 M oleh penerbit Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir.

Musnad Ahmad Ibn Hanbal.

Kitab hadis yang disusun Imam Hanbali (164 H/780 M–241 H/855 M); merupakan kitab hadis terbesar dan terbanyak memuat hadis. Menurut Muhammad Abdul Aziz al-Khuli (ulama bahasa penulis biografi tokoh), kitab ini memuat 40.000 hadis (termasuk yang ditulis ulang sebanyak 10.000 hadis) yang diseleksi dari 700.000 hadis yang dihafal Imam Hanbali. Kebanyakan hadis di dalamnya tidak termasuk dalam al-Kutub as-Sittah.

Hadis dalam kitab ini disusun secara berurut, sesuai dengan nama sahabat yang meriwayatkannya dengan memprioritaskan sahabat besar terlebih dahulu, seperti Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Di samping itu, prioritas mendahulukan riwayat para sahabat juga ditentukan berdasarkan tempat tinggal mereka. Misalnya, mendahulukan sahabat yang bermukim di Madinah dari yang di Mekah.

Hadis dalam kitab ini diakhiri dengan riwayat para sahabat wanita, yang dimulai dengan Aisyah binti Abu Bakar, Fatimah az-Zahra, Hafsah bin Umar, dan istri Nabi SAW lainnya. Hadis dalam Musnad Ahmad Ibn æanbal yang ada sekarang tidak seluruhnya diriwayatkan Imam Hanbali sendiri, tetapi juga oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (anak Imam Hanbali) dan Abu Bakr al-Qutai’i (dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal).

Syekh Ahmad al-Banna atau Ibnu as-Sa’ati (ahli hadis abad ke-14 H), menyatakan bahwa ada enam bentuk periwayatan dalam Musnad Ahmad Ibn Hanbal.

(a) Hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang didengarnya langsung dari ayahnya. Bagian inilah sebenarnya yang disebut dengan Musnad Ahmad Ibn æanbal. Bagian ini meliputi tiga perempat kitab Musnad tersebut.

(b) Hadis yang didengar Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya dan orang lain, yang jumlahnya sedikit sekali.

(c) Hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari para guru selain ayahnya. Ulama hadis menyebut bagian ini Zawa’id ‘Abdillah (Tambahan Abdillah). Jumlahnya cukup banyak, tetapi tidak sebanyak yang pertama di atas.

(d) Hadis yang ada pada Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan dibacakannya di depan ayahnya, tetapi Ahmad bin Hanbal belum pernah mendengar hadis tersebut.

(e) Hadis yang belum pernah dibaca dan didengar Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, tetapi ia jumpai dalam lembaran tulisan tangan ayahnya.

(f) Hadis yang diriwayatkan Abu Bakr al-Qutai’i dari jalur selain Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan jalur Ahmad bin Hanbal, yang jumlahnya juga tidak banyak.

Menurut ulama hadis, bentuk periwayatan pertama, kedua, keempat, dan kelima merupakan hadis langsung dari Ahmad bin Hanbal, dan itulah yang disebut Musnad. Bentuk periwayatan ketiga merupakan tambahan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, sedangkan yang keenam merupakan tambahan dari al-Qutai’i.

Hadis yang terdapat dalam Musnad ini ada yang sahih, daif, dan maudhu‘. Ibnu al-Jauzi (ahli hadis Mazhab Hanbali; 510 H/1117 M–597 H/1200 M) mengatakan bahwa paling tidak ada 29 hadis maudhu‘ yang terdapat dalam Musnad Ahmad Ibn Hanbal. Kemudian jumlah ini bertambah sebanyak hadis setelah dilakukan penelitian oleh al-Hafiz al-Iraqi (muhaddits dari Irak).

Imam az-Zahabi, as-Suyuti, dan Ibnu Taimiyah (611 H/1263 M–728 H/1328 M), mengakui bahwa dalam Musnad dijumpai hadis sahih, hasan, dan daif, tetapi mereka tidak menemukan hadis maudhu‘ sebagaimana dikemukakan di atas. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa hampir seluruh hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad Ibn æanbal dilandasi dengan dasar.

Menurutnya, hanya ada tiga hadis yang tidak memiliki dasar. Akan tetapi, Imam Muhammad Abu Zahrah (muhaddits kontemporer 1394 H/1974 M) mengatakan bahwa hadis maudhu‘ yang ada dalam Musnad Ahmad Ibn Hanbal adalah hadis yang diriwayatkan sendiri oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Abu Bakr al-Qutai’i, bukan dari Ahmad bin Hanbal. Oleh sebab itu, bagian pertama, kedua, keempat, dan kelima periwayatan tersebut diterima seluruh ulama hadis dan ulama fikih.

Musnad Ahmad Ibn Hanbal telah dicetak ulang beberapa kali di Mesir, Libanon, dan India dalam enam jilid besar. Cetakan kedua diterbitkan di Libanon 1397 H/1978 M, yang di pinggir setiap halamannya (kiri-kanan dan atas-bawah) terdapat kitab Muntakhab Kanz al-‘Ummal fi Subut Sunan al-Aqwal wa al-Af‘al karya as-Suyuti.

Di samping itu, kitab ini juga dikomentari, antara lain, oleh Ahmad Muhammad Syakir (muhaddits) dan diterbitkan dalam 15 jilid. Kemudian hadis dalam kitab ini dibagi menjadi tujuh bab oleh Ibnu as-Sa’ati, yaitu bab tauhid dan dasar agama, bab sejarah Nabi SAW, bab fikih, bab tafsir, bab tarikh, dan bab lain-lain. Kitab ini kemudian diberi judul al-Fath ar-Rabbani li Tartib Musnad Ahmad Ibn æanbal asy-SyaibÎnÓ dan diterbitkan dalam 22 jilid besar di Mesir, 1353 H/1934 M.

Oleh ulama hadis kontemporer, kesembilan kitab hadis yang dikemukakan di atas disebut al-Kutub at-Tis‘ah (Kitab Hadis yang Sembilan). A.J. Wensinck, orientalis dan guru besar bahasa Arab di Universitas Leiden, menyusun indeks hadis Nabi SAW berdasarkan sembilan kitab hadis tersebut.

Di samping kesembilan kitab hadis di atas, ada beberapa kitab hadis lain yang juga sering dijadikan rujukan para ulama hadis dan fikih, antara lain

(1) al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain yang disusun al-Hakim an-Naisaburi,

(2) Musannaf Ibn Abi Syaibah atau Musnad Ibn Abi Syaibah oleh Usman bin Abi Syaibah (w. 239 H/849 M),

(3) Muœannaf ‘Abd ar-Razzaq oleh al-Hafiz Abu Bakr Abdur Razzaq bin Hummam bin Nafi’ al-Humairi as-San’ani (w. 211 H/627 M),

(4) Sahih Ibn Khuzaimah oleh Abi Abdillah wa Abi Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah as-Silmi an-Naisaburi atau Ibnu Khuzaimah (w. 311 H/924 M),

(5) Sahih Ibn Hibban atau Sunan Ibn Hibban oleh Ibnu Hibban al-Busti,

(6) Sunan al-Kubra oleh Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi (w. 458 H/1066 M),

(7) al-Mu‘jam al-Kabir oleh al-Hafiz Abi al-Qasim Sulaiman bin Ahmad at-Tabrani (w. 360 H/971 M), dan

(8) Bada’i‘ al-Minan oleh Ibnu as-Sa’ati.

Peringkat Kitab Hadis.

Menurut ulama hadis, peringkat kitab hadis dilihat dari segi kualitas hadis yang termuat dalam kitab tersebut adalah sebagai berikut:

Peringkat pertama adalah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ada juga ulama hadis yang menempatkan al-Muwaththa’ sejajar dengan kedua kitab tersebut.

Peringkat kedua adalah Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan an-Nasa’i. Adapun Sunan Ibn Majah, yang termasuk ke dalam al-Kutub as-Sittah, masih diperselisihkan ulama hadis untuk menempatkannya pada peringkat kedua.

Peringkat ketiga adalah kitab yang banyak memuat hadis daif, seperti Musnad Ibn Abi Syaibah, Musnad Abi Dawud Sulaiman at-Tayalisi, Musnad ‘Abdillah Ibn Hamid, dan Musannaf ‘Abd ar-Razzaq. Peringkat keempat adalah kitab hadis yang ditulis oleh ahli kisah, pendakwah, dan para sufi, seperti Musannaf Ibn Mardawih dan Musannaf Abi Syaikh.

Macam Kitab Hadis.

Dalam penulisan kitab hadis, ada beberapa kitab hadis yang dikemukakan ulama hadis. Al-ajza’/al-juz’. Kitab ini menghimpun hadis pada satu topik masalah saja, misalnya Kitab al-Fara’idh yang menghimpun hadis tentang masalah faraid (waris) yang disusun Zaid bin Sabit (11 H/611 M–45 H/655 M).

Al-atraf. Kitab ini menghimpun hadis hanya pada awal matannya, tanpa menyebutkan matan hadis seutuhnya, seperti penulisan “innama al-a‘mal bi an-niyyat” (setiap amalan itu dimulai dengan niat; HR. Jamaah ahli hadis). Contohnya adalah Atraf as-Sunan yang disusun Ibnu Asakir ad-Dimasyqi (w. 571 H/1176 M).

Al-mustadrak. Kitab ini menghimpun hadis tertentu yang memenuhi syarat hadis yang ditulis imam terdahulu, tetapi belum dicantumkan dalam kitabnya, misalnya al-Mustadrak ‘ala as-Sahiain karya al-Hakim an-Naisaburi.

Al-mustakhraj. Kitab ini menghimpun hadis yang di¬ ambilkan dari salah satu kitab hadis dengan menggunakan¬ sanad yang berbeda dengan sanad hadis yang dirujuknya atau buku induknya, mi¬sal¬nya Mustakhraj yang disusun Muhammad¬ bin Ya‘qub asy-Syaibani an-Naisaburi.

Al-jami‘. Kitab ini menghimpun delapan pokok masalah (akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela), misalnya al-Jami‘ al-Musnad as-sahih al-Mukhtaœar min Umur Rasulillah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi.

Al-musnad. Kitab ini disusun menurut hadis yang didasarkan atas urutan nama sahabat yang meriwayatkan hadis, misalnya Musnad Ahmad Ibn Hanbal.

Al-mu‘jam. Kitab ini merupakan kamus besar yang memuat hadis berdasarkan nama sahabat, guru atau kabilah, atau tempat mendapatkan hadis yang diurutkan secara alfabetis, misalnya al-Mu‘jam al-Kabir, al-Mu‘jam al-Wasith, dan al-Mu‘jam as-Sagir yang disusun Imam at-Tabrani.

As-sunan. Kitab ini disusun berdasarkan bab fikih, yang di dalamnya bercampur hadis sahih, hasan, dan daif, dengan memberi penjelasan terhadap hadis itu, misalnya Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud dan Sunan an-Nasa’i.

Dari segi kandungan hadis yang dihimpun di dalamnya, kitab hadis dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Kitab yang menghimpun hadis dari kitab hadis yang disebutkan di atas atau dari kitab hadis lainnya, antara lain sebagai berikut:

(a) Jami‘ al-Ushul min Ahadits ar-Rasul oleh Ibnu Asir al-Jarzi (w. 606 H/1210 M), yang menghimpun hadis sahih dari al-Kutub as-Sittah dan al-Muwaththa’;

(b) Majma‘ az-Zawa’id wa Manba‘ al-Fawa’id oleh al-Hafiz Nuruddin Ali bin Abi Bakr al-Haisami (w. 807 H/1405 M), yang menghimpun hadis tambahan dari al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Abi Bakr al-Bazzar, Musnad Abi Ya‘la al-Mausuli, Ma‘ajim at-Tabrani al-Kabir al-Ausath, dan as-Sagir;

(c) al-Matalib al-‘aliyah bi Zawa’id al-Masanid as-Samaniyyah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, yang merupakan himpunan hadis dari delapan kitab musnad, yaitu Musnad Ibn Abi ‘Umar al-‘Adani, Musnad Abi Bakr al-Humaidi, Musnad Musaddad, Musnad Sulaiman at-Tayalisi, Musnad Abi Muni‘, Musnad Ibn Abi Syaibah, Musnad ‘Abd Ibn Humaid, dan Musnad al-Harits;

(d) al-Jami‘ al-Kabir yang disebut juga Jami‘ al-Jawami‘ oleh as-Suyuti, yang menghimpun hadis dari berbagai kitab hadis; dan

(e) at-Taj al-Jami‘ li al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul oleh Syekh Mansur Ali Nasif, ulama hadis Mesir kontemporer, yang menghimpun hadis dari al-Kutub al-Khamsah.

Kitab hadis yang disusun dengan motivasi beragam, antara lain at-Targib wa at-Tarhib oleh Zakiuddin Abdul Azim al-Munziri, Riyad as-salihin min Kalam Sayyid al-Mursalin oleh Imam Nawawi, dan Kasyf al-Khafa’ wa Mazil al-Ilbas ‘Anma Isytahara min al-Ahadits ‘ala Alsinah an-Nas oleh Syekh Ismail bin Muhammad bin Abdul Hadi al-Ajluni al-Jarahi (w. 1162 H/1749 M) yang memuat berbagai hadis yang banyak diriwayatkan para muhaddits, tetapi tidak diketahui kualitas matan dan sanadnya.

Kitab yang khusus memuat hadis mutawatir, antara lain al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Ahadits al-Mutawathirah oleh as-Suyuti, Nuzm al-Mutanasir min al-Hadits al-Mutawatir oleh Muhammad bin Ja‘far al-Kinani, dan al-Ahadits al-Mutawatirah oleh Sayid Mahmud bin Nasib atau Ibnu Hamzah (mantan mufti Damascus).

Kitab yang menghimpun hadis maudhu‘, antara lain al-Fawa’id al-Majmu‘ah fi al-Ahadits al-Maudhu‘ah oleh Muhammad bin Ali asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M) dan Kitab al-Maudhu‘at oleh Ibnu al-Jauzi.

Kitab yang menghimpun hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya berasal dari Nabi SAW), antara lain al-Ittihafat as-Sanniyyah i al-Ahadits al-Qudsiyyah oleh Zainal Abidin Muhammad bin Abdur Ra‘uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Manawi (w. 1031 H/1622 M) dan al-Kalimah at-Tayyibah oleh Ibnu Taimiyah.

Kitab yang menghimpun hadis hukum, antara lain Sunan Abi Dawud, Syarh Ma‘ani al-Atsar oleh Abu Ja‘far Ahmad bin Muhammad at-Tahawi (w. 321 H/933 M), Nasb ar-Rayah li Ahadits al-Hidyah oleh Jamaluddin Abdullah bin Yusuf az-Zaila’i (w. 762 H/1360 M), Tarh at-Tasrib fi Syarh at-Taqrib oleh Zainuddin Abdurrahim bin al-Husaini al-Iraqi (w. 906 H/1404 M), at-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi‘i al-Kabir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Subul as-Salam oleh Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani (1099 H/1688 M–1182 H/1772 M), dan Nail al-Autsar oleh Muhammad bin Ali asy-Syaukani.

Daftar Pustaka

Abu Rayyah, Mahmud. Adwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difa ‘an al-Hadits. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
Abu Zahw, Muhammad. al-Hadits wa al-Muhadditsin. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1984.
Azami, Muhammad Mustafa. Studies in Hadith: Methodology and Literature. Indianapolis-Canada: American Trust Publications, 1977.
al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Katib. al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah. Cairo: Dar al-Hadisah, 1972.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Haits. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
–––––––. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Pres, 1995.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits Usuluh wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
as-Salih, Subhi. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyyin, 1977.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Nasrun Haroen