Al-Hadats berarti “keadaan (tidak suci) yang menghalangi seseorang untuk dapat beribadah secara sah”. Namun tidak untuk semua ibadah diharuskan suci dari hadas, misalnya pelaku puasa. Hadas terutama terkait dengan ibadah salat, haji, dan amalan ibadah lain. Hadas terdiri atas dua jenis: hadas kecil (hadats asgar) dan besar (hadats akbar).
Para fukaha (ahli fikih) sependapat bahwa seseorang disebut berhadas kecil apabila keluar air kencing, air besar (tinja), angin, mazi (air putih bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang bercanda), dan wadi (semacam cairan putih kental yang keluar dari alat kelamin mengiringi air kencing) dalam kondisi fisik sedang sehat.
Selain perkara tersebut terdapat beberapa perkara lain yang oleh sebagian fukaha dipandang membuat seseorang berhadas kecil tetapi oleh sebagian lain tidak dipandang demikian, yaitu (a) segala najis yang keluar dari tubuh; (b) tidur, (c) menyentuh wanita dengan tangan atau dengan anggota tubuh lainnya yang sensitif, (d) menyentuh zakar, (e) memakan-makanan yang dibakar api, (f) tertawa di dalam salat, dan (g) membawa mayat.
Jumhur ulama memandang bahwa hilangnya akal karena pingsan, gila, atau mabuk telah membuat seseorang berhadas kecil dan karenanya wajib melakukan wudu. Mereka mengiaskan hal ini kepada tidur. Artinya, tidur dalam posisi tertentu dipandang sebagai penyebab hadas kecil, demikian pula dengan hilangnya akal.
Orang yang berhadas kecil dilarang melakukan salat; dan apabila hendak melakukannya, ia wajib melakukan wudu. Dalil yang mewajibkan hal ini adalah (a) firman Allah SWT yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku …” (QS.5:6); (b) sabda Nabi SAW yang berarti: “Allah tidak menerima salat tanpa bersuci …” (HR. Muslim); dan (c) ijmak.
Di samping salat, terdapat perkara lain yang dilarang untuk orang berhadas kecil tetapi masih diperselisihkan oleh fukaha, yaitu (a) tawaf (bentuk ibadah dengan berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh kali dengan arah berlawanan arah jarum jam sambil berdoa); Imam Malik dan Imam Syafi‘i melarangnya, sedangkan Abu Hanifah membolehkannya; dan (b) membaca Al-Qur’an dan menyebut nama Allah SWT.
Orang yang berhadas kecil akan kembali kepada keadaan suci apabila telah melakukan thaharah syar‘iyyah yang disebut wudu. Dasar untuk hal ini adalah firman Allah SWT yang berarti: “… atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan….” (QS.4:43) dan sabda Nabi SAW yang berarti: “Allah tidak menerima salat orang yang berhadas sehingga ia melakukan wudu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi dari Abu Hurairah). Taharah ini dalam kondisi tertentu bisa diganti dengan tayamum.
Hadas besar terjadi apabila seseorang dalam keadaan janabah (berhadas besar; orangnya disebut junub [Ar.: junub]) dan apabila wanita dalam keadaan haid. Untuk kembali kepada keadaan suci, seorang junub atau haid wajib melakukan mandi (gusl). Dasar hukum dalam hal ini adalah firman Allah SWT yang berarti: “… dan jika kamu junub maka mandilah…” (QS.5:6), dan firmanNya yang lain yang berarti: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah suatu kotoran…’” (QS.2:222).
Ulama sependapat bahwa kedua hadas berikut ini mewajibkan mandi. Pertama, keluarnya mani dari seseorang, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan sehat, baik pada waktu tidur maupun pada waktu bangun. An-Nakha’i (nama lengkap: Abu Imam Ibrahim bin Yasid bin Qais an-Nakha’i, wafat 96 H/715 M; seorang ulama fikih di Kufah dan seorang tabiin yang mulia) dalam hal ini berpendapat lain, yaitu wanita tidak wajib melakukan mandi karena bermimpi bersetubuh lalu keluar mani.
Sementara jumhur ulama berpendapat bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Dasar yang digunakan oleh jumhur ulama adalah hadis Ummu Salamah (salah seorang istri Nabi SAW) yang berarti: “Ya Rasulullah, wanita bermimpi seperti mimpinya laki-laki, apakah ia wajib melakukan mandi? Rasulullah menjawab, Ya, apabila ia melihat air (mani keluar).”
Kedua, setelah berhentinya darah haid. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an (QS.2:222) dan pelajaran tentang mandi karena haid yang diberikan kepada Aisyah dan wanita lainnya. Ulama juga memasukkan wanita yang telah berhenti dari nifas ke dalam golongan orang yang berhadas besar. Mereka sama-sama dilarang melakukan salat dan tawaf.
Sehubungan dengan hadas besar karena janabah, terdapat perselisihan di kalangan ulama. Pertama, ulama berselisih pendapat tentang sebab pokok yang mewajibkan mandi karena bersetubuh. Sebagian dari mereka, seperti Imam Malik dan para pengikutnya, Imam Syafi‘i dan para pengikutnya, serta sekelompok Ahl az-zahir (ulama yang mendasarkan pendapatnya pada teks dalil) mewajibkan mandi karena bertemunya dua alat kelamin laki-laki dan wanita, baik mengeluarkan maupun tidak mengeluarkan mani.
Akan tetapi, sekelompok lain dari Ahl az-zahir hanya mewajibkannya apabila pertemuan dua alat kelamin itu diiringi dengan keluarnya air mani. Kedua, ulama berselisih pendapat tentang sifat keluarnya air mani yang mewajibkan mandi.
Imam Malik berpendapat bahwa kenikmatan dalam keluarnya air mani itulah yang mewajibkan mandi. Sementara itu, Imam Syafi‘i berpendapat bahwa keluarnya air mani itu sendiri telah mewajibkan mandi, baik disertai maupun tidak disertai dengan kenikmatan.
Di samping itu, ada beberapa perkara yang dilarang bagi orang junub, tetapi hal ini masih diperselisihkan oleh ulama. Pertama, memasuki masjid. Imam Malik dan para pendukung mazhabnya melarang hal itu sama sekali. Ulama lain, seperti Imam Syafi‘i, hanya membolehkan lewat tanpa menetap di dalamnya.
Ulama lain lagi, Dawud dan para pendukung mazhabnya, membolehkan semuanya. Perkara ini mereka perselisihkan juga dalam kaitannya dengan wanita haid. Kedua, membaca Al-Qur’an. Jumhur ulama melarangnya, sedangkan segolongan ulama membolehkannya. Ada segolongan ulama yang menyamakan kedudukan wanita haid dalam hal ini dengan kedudukan orang junub.
Akan tetapi, segolongan lain membedakan antara keduanya. Mazhab Imam Malik membolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an karena panjangnya masa haid. Khusus bagi wanita yang berhadas besar karena haid dan nifas terdapat larangan lain, yaitu mengerjakan saum (puasa) dan bersetubuh.
Sama halnya dengan wudu, mandi dalam kondisi tertentu bisa diganti dengan tayamum.
Daftar Pustaka
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Penang: Sulaiman Mari’i, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: Matba‘ah al-Istiqamah, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
az-Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-‘amm: al-Fiqh al-Islami fi Saubih al-Jadid. Beirut: Dar al-Fikr, 1976.
Hery Noer Aly