Bacharuddin Jusuf Habibie (Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936), putra keempat dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dengan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, adalah presiden RI ke-3. Kepandaiannya sudah terlihat sejak ia di sekolah dasar. Setiap ujian, ia mendapat nilai yang bagus. Habibie adalah seorang jenius yang lahir di Indonesia. Sahabatnya sering kali memanggilnya Rudy.
Habibie merampungkan pendidikan SD, SMP, dan SMU di Bandung (1954). Hanya setelah 6 bulan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia kemudian mendapat beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional untuk belajar di Jerman Barat.
Pada 1960, ia meraih gelar Diploma Ingenieur dari Jurusan Konstruksi Pesawat Terbang, Rheinisch Westfaelische Technische, Aachen, Jerman Barat. Dengan disertasi yang berjudul “Hypersonic Genetic Heatic Thermoelasticity in Hypersonic Speed,” Habibie memperoleh gelar doktor dari Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman Barat, pada 1965.
Setelah belajar dan bekerja di Jerman –terakhir menjadi wakil presiden direktur di Messerschmitt Bolkow Blohm (MBB)– pada 1974 Habibie kembali ke Indonesia dan menjadi penasihat direktur utama Pertamina, Ibnu Sutowo.
Setelah itu, ia mendapatkan beberapa jabatan, antara lain sebagai dirut PT Nurtanio, dirut PT PAL, Surabaya, ketua Dewan Pembina dan Pengelola Industri Strategis Hankam, ketua Otorita Pulau Batam, menteri Riset dan Teknologi, wakil presiden RI (Maret–Mei 1998), serta presiden RI ke-3 (Mei 1998–Oktober 1999).
Ketika Presiden Soeharto turun dari kursi kekuasaannya pada 21 Mei 1998, Habibie yang ketika itu menjadi wakil presiden ditunjuk untuk menggantikannya sebagai Presiden. Dengan demikian ia menjadi presiden ketiga RI. Pada Oktober 1999, ketika pidato pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, Habibie menolak pencalonannya sebagai presiden yang diajukan oleh Partai Golongan Karya.
Sebagai seorang muslim, Habibie melaksanakan kewajiban ritual agamanya secara baik. Selain salat lima waktu, Habibie sudah membiasakan diri untuk melaksanakan puasa Senin-Kamis sejak berusia muda. Pada 1984, bersama istri dan kedua anak lelakinya (Ilham dan Thariq) Habibie menjadi tamu Allah SWT, beribadah haji ke Tanah Suci, Mekah. Di kalangan aktivis muslim, namanya baru dikenal luas ketika ia menjadi ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), di Malang, Jawa Timur, pada 8 Desember 1990.
Munculnya Habibie sebagai ketua umum ICMI membalikkan persepsi sebagian orang, bahwa selama ini Islam selalu dicurigai dan dipinggirkan oleh pemerintah. Dengan tampilnya Habibie sebagai pimpinan puncak ICMI, maka muncul kesan bahwa pemerintah tidak lagi alergi terhadap Islam.
Analisis lain mengatakan bahwa yang berubah adalah pandangan Presiden Soeharto terhadap Islam. Perubahan pandangan Soehartolah yang memungkinkan berdirinya ICMI. Apa pun pendapat orang, Habibie yang menjadi orang kepercayaan Soeharto telah menjadi payung bagi cendekiawan muslim yang sudah dirintis sejak awal tahun 1980-an.
Kehadiran ICMI memang menuai pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri. Bagi para pengkritiknya, ICMI dianggap sebagai wujud penunggangan Islam untuk tujuan politik dan primodial sektarial pemerintah, khususnya bagi Soeharto dan Habibie.
Dalam pidato seusai pemilihannya sebagai ketua umum ICMI, Habibie mengatakan,
“Saya ini orang yang pragmatis. Kalau saya membangun kapal terbang, maka kapal itu harus sampai ke pasaran pada waktunya. Kalau tidak, saya akan rugi. Kalau saya kembangkan sesuatu, produknya harus berkualitas tinggi. Kalau tidak, saya rugi. Kalau saya mengembang kan suatu ilmu pengetahuan, mestilah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga segala biaya, kualitasnya, dan jadwalnya saya bisa kendalikan. Itu sudah mendarah daging.”
Setelah ia terpilih sebagai ketua umum ICMI, di hadapan beberapa pendiri ICMI, Habibie mengatakan,“Saya sekarang sudah berumur 54 tahun, tak bisa diubah karakternya. Sudah saya sampaikan kepada teman dan para pendiri. Kalau Anda harapkan saya membuat madrasah, pesantren, IAIN, menjadi juara MTQ internasional, I’m the wrong man. Tapi kalau saudara harapkan saya membantu memberantas buta huruf iptek, sedemikian rupa hingga anak cucu kita di masa yang akan datang ikut berperan serta aktif dalam proses nilai tambah dalam pembangunan seluruh bangsa Indonesia –di mana umat Islam pegang peran utama karena memang ia yang paling besar– I’m going to do that. Karena itu memang keseimbangan saya sendiri.”
Selama kepemimpinannya, ICMI banyak membuat terobosan baru dan bergerak maju. Dalam menjalankan kegiatan ICMI, Habibie memperkenalkan sebuah program yang sering disebutnya dengan 5K (lima kualitas): kualitas beriman dan bertakwa, kualitas berpikir, kualitas berkarya, kualitas bekerja, dan kualitas hidup).
Dalam dunia politik, Habibie sangat berkaitan dengan kariernya dalam dunia penerbangan. Pada Agustus 1995, ia berhasil membawa tim IPTN menerbangkan pesawat N-250, dan dengan demikian posisinya di mata Soeharto semakin baik dan kuat. Pesawat hasil rancang bangun dan kreasi para teknisi Indonesia itu mendapat perhatian luas, karena menerapkan teknologi fly by wire, sebuah teknologi terbaru dari dunia penerbangan. Ia mendapat julukan “Mr. Crack”, karena kepintarannya dalam soal retakan struktur pesawat.
Dalam kancah pembangunan bangsa Indonesia, Habibie menjadi ikon tersendiri. Konsepnya tentang pembangunan terfokus pada sumber daya manusia yang mempunyai daya saing dan nilai tambah. Ia juga menyatakan bahwa perekonomian yang dikelola secara baik dan mampu bersaing secara internasional adalah perekonomian yang nilai tambahnya konsisten.
Selain itu, menurut Habibie, dalam mempersiapkan diri menghadapi tantangan abad yang akan datang, semua negara harus mencamkan apa yang diajarkan ilmu ekonomi dan apa pula yang ditunjukkan sejarah ekonomi belakangan ini, yakni bahwa peningkatan kekayaan dan kemakmuran berakar pada peningkatan produktivitas, dan kunci bagi produktivitas adalah ilmu pengetahuan dan rekayasa.
Menurut Habibie, pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian pokok dari usaha pembangunan nasional. Usaha ini meliputi pendidikan dan pembinaan, serta kemampuan untuk menangani, menggunakan, dan mengendalikan iptek. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dalam usaha memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat bersaing di pasar dalam dan luar negeri.
Sepanjang kiprahnya, Habibie mencurahkan perhatian terhadap pengembangan sumber daya manusia. Para karyawan perusahaan yang ia pimpin diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Ketika ia menjadi ketua umum ICMI, bermunculan SMU atau pesantren unggulan. Semuanya ini tak bisa lepas dari sentuhan ide Habibie.
Setelah tidak lagi menjadi presiden, Habibie tidak berhenti berbuat sesuatu untuk bangsanya. Pada awal November 1999, Habibie mendirikan Habibie Centre, yang dibiayai dengan dana pribadi sebesar US$3 juta. Lembaga ini juga mendapat bantuan dari lembaga sejenis di luar negeri. Ia mengatakan bahwa, “Saya mendirikan LSM ini yang memperjuangkan HAM dan demokrasi.”
Daftar Pustaka
Habibie, B.J. Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Pembangunan Bangsa: Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. Jakarta: Cides, 1995.
Makka, A. Makmur. B.J. Habibie: Kisah Hidup dan Kariernya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Pratiknya, Umar Juoro, dan Indria Samego. Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie. Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Herry Mohammad