Haba’

Secara kebahasaan, haba’ berarti “debu yang beterbangan”. Dalam terminologi tasawuf, haba’ berarti “materi dasar” (materia prima) atau substansi universal yang menjadi dasar cipta alam semesta. Konsep haba’ dalam tasawuf dipengaruhi konsep hayula (materi) dalam filsafat metafisika Aristoteles (384–322 SM).

Bagi Aristoteles, hayula pada dasarnya tidak memiliki bentuk dan sifat, tetapi memiliki substansi atau potensi. Materi baru berwujud apabila memiliki bentuk (Hurah). Dengan adanya bentuk, akan terwujud materi dalam kenyataan empiris. Konsep ini mempengaruhi pemikiran para sufi, seperti Ibnu Arabi (w. 1240 M) dan Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (w. 1428). Dari para sufi ini berkembang pemikiran tentang konsep haba’ dalam tasawuf.

Menurut para sufi, penciptaan alam dimulai dengan adanya tajali Tuhan pada diri-Nya atau disebut martabat ahadiyyah (kemahaesaan). Pada martabat ini, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak, karena belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apa pun sehingga Ia belum dikenal siapa pun kecuali oleh diri-Nya sendiri.

Kemudian, tajali Tuhan berlanjut pada martabat wahidiyyah (kemahaunikan). Dalam martabat ini Tuhan mewujudkan diri-Nya secara ilahiah yang unik (di luar batas ruang dan waktu) dan dalam citra kualitas (sifat). Sifat itu terjelma dalam nama (asma) Tuhan. Nama yang pertama muncul ialah al-Badi’ (Maha Pencipta).

Nama ini bertajali pada “akal pertama” sebagai ciptaan pertama Tuhan yang belum mempunyai eksistensi sendiri. Dari “akal pertama” muncul “jiwa universal” atau lauh mahfuz. “Jiwa universal” dipandang sebagai wadah tajali nama Tuhan al-Ba‘its (Maha Membangkitkan).

Setelah “jiwa universal”, muncul pula “sifat universal” yang merupakan wadah tajali nama Tuhan al-Bathin (Maha Gaib). Setelah “sifat universal”, selanjutnya muncul haba’. Oleh para filsuf haba’ disebut hayula dan merupakan wadah tajali nama Tuhan al-Akhir (Maha Akhir).

Kendati tajali Ilahi pada martabat wahidiyyah ini menampakkan a‘yan (realitas) yang berbeda, semuanya merupakan kesatuan total yang tidak dapat dipilah-pilah. Realitas tersebut memiliki banyak aspek, tetapi aspek itu tidak lebih dari proses pengetahuan Ilahi dalam diri-Nya. Sekalipun dipandang sebagai materia prima yang menjadi asal alam ini, sebenarnya haba’ belum mempunyai wujud tersendiri dan masih tersimpan dalam ilmu Tuhan.

Dengan demikian, alam semesta tidak muncul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang telah ada dalam ilmu Tuhan. Hal ini dinamakan haba’. Haba’ tidak mempunyai bentuk tetapi merupakan substansi (jauhar) yang dapat menerima bentuk. Dari haba’ muncul jism al-kull (jasad universal) yang mengambil bentuk asy-syakl al-kull (bentuk universal). Dari bentuk universal secara berturut-turut muncul arasy (kursi) seperti planet, eter, api, udara, air, tanah, mineral, dan makhluk lainnya.

Daftar Pustaka

Ibnu Arabi. al-Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Jili, Abdul Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Jurjani, Ali bin Muhammad. Kitab at-Ta‘rifat. Jiddah: al-Haramain, t.t.
Stumpf, Samuel Enoch. Philosophy. New York: McGraw-Hill, 1983.

Yunasril Ali