Goa adalah nama kerajaan di Sulawesi Selatan sejak abad ke-13 hingga 1947. Wilayahnya meliputi pesisir selatan Makassar sampai Bulukumba, dan kemudian sampai ke Manado, Sumbawa, Gorontalo, dan Tomini. Ibukotanya semula bernama Somba Opu, kemudian Makassar. Kini Goa adalah nama kabupaten di Sulawesi Selatan.
Kapan mulai berdirinya Kerajaan Goa tidak diketahui secara pasti, namun dari fakta yang ada dapat diperkirakan bahwa raja Goa yang pertama memerintah pada akhir abad ke-13. Kerajaan Goa tercatat sebagai salah satu kerajaan tertua di samping Luwu dan Bone dan sangat menonjol peranannya dalam meletakkan adat istiadat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Sejak Kerajaan Goa berdiri, bahan perdagangan penting telah diangkut dari Somba Opu oleh pedagang Jawa, Sumatera, dan Melayu ke pelabuhan-pelabuhan internasional di Indonesia bagian barat.
Pada permulaan abad ke-15 terbentuklah Kerajaan Tallo di samping Kerajaan Goa, yang letaknya di bagian utara daerah Makassar. Pada masa itu raja Goa VI, Tunatangka’lopi, mempunyai dua orang anak laki-laki; yang sulung bernama Batara Gowa, menggantikan ayahnya menjadi raja Goa, dan adiknya diangkat menjadi raja Tallo.
Kedua kerajaan ini adalah kerajaan kembar, dan rakyat merasa berada di bawah satu ke kuasaan. Sejak raja Tallo ketiga, raja-raja Tallo menjadi mang kubumi Kerajaan Goa. Jalannya pemerintahan sehari-hari berada di bawah pengawasan mangkubumi atas nama raja. Ibukota Somba Opu memperkuat pertahanannya dengan mendirikan dindingtembok dari batu bata di sekeliling kota.
Raja Goa IX dan X berusaha keras memperluas daerah kekuasaan Goa sehingga Pangkajene, Sidenreng, Sawito, Soppeng, Lamuru, dan Bulukumba mengakui kekuasaan Goa. Rakyatnya giat sekali mengembangkan keahlian pada berbagai bidang kerajinan, seperti pembuatan barang hiasan emas, berbagai alat senjata, mesiu, dan kapal.
Pada abad ke-16 Goa sudah merupakan salah satu kerajaan yang kuat di Kepulauan Indonesia. Pada 1538, pada saat pemerintahan raja Goa IX, Somba Opu dikunjungi pedagang Portugis. Selain untuk berdagang, mereka juga bermaksud mengembangkan agama Katolik. Tetapi Islam telah lebih dulu berkembang di daerah itu.
Penguasa Islam yang pertama di Goa ialah Sultan Alauddin (1593–1639), dibantu oleh mangkubumi, raja Tallo VI yang bernama Karaeng Katangka atau Sultan Abdullah Awwal al-Islam. Pada 1616 Sultan Alauddin meluaskan kekuasaannya ke luar daerah Sulawesi, yaitu Bima dan Sumbawa, dan pada 1634 ke Manado, Gorontalo, dan Tomini.
Sultan Alauddin wafat pada 1639, ia digantikan oleh Sultan Malikussaid, raja Goa XV, yang wafat pada 1653 setelah memerintah selama 14 tahun. Putranya yang bernama Daeng Mattawang menggan-tikannya sebagai raja Goa XVI.
Setelah dinobatkan menjadi raja, ia mendapat gelar Sultan Hasanuddin (memerintah pada 1653–1669). Pada masa pemerintahannyalah Goa mengha dapi penyerangan kompeni Belanda (VOC).
Peranan Goa dalam Islamisasi Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Bilang, pada masa pemerintahan raja Goa X (1546– 1565), Tunipalangga, telah ditemukan sebuah perkampungan muslim di Makassar, yang penduduknya terdiri dari pedagang Melayu yang berasal dari Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau, dan pada masa pemerintahan Tunijallo (1565–1590) telah didirikan sebuah masjid di Mangallekanna, tempat para peda gang itu bermukim.
Kehadiran para pedagang muslim tersebut mem bawa pengaruh terhadap penduduk setempat. Di antara mereka ada yang tertarik dengan ajaran Islam. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan (melalui Kerajaan Goa) melalui dua tahapan.
Pertama, secara tidak resmi, terjadi dengan cara pendu duk setempat yang berdagang ke luar Sulawesi bertemu dengan pedagang-pedagang muslim di luar Sulawesi, atau melalui pertemuan penduduk setempat dengan peda gang muslim yang datang ke sana.
Kedua, penerimaan Islam secara resmi oleh raja Goa-Tallo pada malam Jumat 9 Jumadilawal 1014 H/22 September 1605 M yang ditandai dengan kedatangan tiga orang datuk yang berasal dari Kota Tengah, Minangkabau.
Di antara para bangsawan yang pertama menerima Islam, menurut Lontara, adalah mangkubumi Kerajaan Goa yang juga menjabat sebagai raja Tallo, bernama I Malingkaang Daeng Nyonri atau Karaeng Katangka yang kemudian mendapatkan nama Islam “Sultan Abdullah Awwal al-Islam”. Pada saat yang sama raja Goa XIV, Manga’rangi Daeng Manra’bia, juga menyatakan keislamannya yang kemudian diberi nama “Sultan Alauddin”.
Setelah itu terjadi konversi ke dalam Islam secara besar-besaran yang ditandai dengan keluarnya dekrit oleh Sultan Alauddin pada tanggal 9 November 1607, bahwa Kerajaan Goa dan Tallo menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh rakyat yang bernaung di bawah kerajaan harus menerima Islam sebagai agamanya.
Penerimaan Islam di Goa yang berlangsung secara damai tersebut kemudian mulai menimbulkan masalah setelah raja Goa menyerukan Islam ke kerajaan-kerajaan tetangga. Tiga kerajaan Bugis yang tergabung dalam Aliansi Tellumpocco menolak seruan itu sehingga terjadi perang antara Kerajaan Makassar yang diwakili oleh Kerajaan Goa-Tallo dan Kerajaan Bugis yang diwakili oleh Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Perang tersebut dalam Lontara Bugis diistilahkan sebagai Musu Selleng atau Perang Islam.
Perang itu dilancarkan Goa-Tallo atas dasar konvensi di kalangan raja-raja Bugis-Makassar yang berbunyi: “Barang siapa menemukan jalan yang lebih baik, maka hendaklah ia menyampaikan kepada orang lain, dan seterusnya”.
Raja Bone merupakan raja terakhir dari Aliansi Tellumpocco yang me nerima Islam setelah ia mengalami kekalahan dalam perang tahun 1611. Dengan masuknya raja Bone dalam agama Islam, maka sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan memeluk agama Islam, kecuali Tana Toraja.
Perjuangan Menentang Penjajah Belanda. Ketika VOC memaksakan keinginannya untuk mendapatkan monopoli dagang, Sultan Hasanuddin dengan tegas mengatakan,
“Tuhan telah menciptakan bumi agar semua manusia mengambil manfaat daripadanya. Apakah Belanda mengira bahwa Tuhan telah menyediakan kepulauan yang begitu jauh dari negaranya hanya untuk ke pentingan perdagangan Belanda saja?”
Dengan penolakan tegas ini mulailah perang Kerajaan Goa melawan kompeni Belanda yang berlangsung dalam tiga gelombang.
(1) Perang berlangsung di laut. Pemerintah Goa memutuskan untuk mengambil tindakan terhadap Buton dan Ternate yang berpihak kepada Belanda. Karena itu, pada Oktober 1666 armada Goa yang terdiri dari 700 kapal berangkat ke Buton. Ternyata Buton dapat ditundukkan, akan tetapi kekosongan di Goa dimanfaatkan oleh Belanda sehingga terjadilah perang antara Goa dan Belanda.
(2) Pada Februari 1667 La Maddaremmeng, raja Bone yang “ditawan” di Goa sebagai akibat kekalahannya dalam “perang saudara” yang diintervensi Goa, diperkenankan kembali ke Bone untuk menduduki kembali takhta kerajaan. Pada waktu bersamaan, Aru Palaka, putra mahkota Bone datang dari Jawa bersama Kompeni dengan tujuan untuk menggempur Goa.
Dari tanggal 7 sampai 10 Juli 1667 pasukan Goa sebanyak 7.000 orang mempertahankan Bantaeng, tempat penyimpanan persediaan padi yang mendapat serangan Kompeni. Karena lawan lebih kuat dan lebih baik persenjataannya, tentara Goa mengundurkan diri dari Bantaeng ke ibukota.
Makam Sultan Hasanuddin di Katangka, Sulawesi Selatan Pertempuran demi pertempuran ini diakhiri dengan lahirnya perjanjian perdamaian 18 November 1667 di Bongaya (Perjanjian Bongaya) yang berisi 29 pasal dan sangat mengun-tungkan pihak Belanda.
(3) Sultan Hasanuddin bersikap acuh tak acuh dalam pembayaran ongkos peperangan dan dalam melaksanakan keputusan-keputusan lain dari Perjanjian Bongaya. Banyak bangsawan yang tidak menyetujui isi perjanjian itu. Karaeng Karunrung menganjurkan agar perang dilanjutkan. P
ada 12 April 1668 perang pecah kembali. Daerah antara benteng Somba Opu dan benteng Jumpandang menjadi medan pertempuran. Tetapi pada umumnya kedua belah pihak mengambil sikap menunggu. Mereka tetap bertahan di dalam benteng mereka masing-masing. Belanda bersikap demikian, karena pasukannya yang terakhir datang dari Bat-avia banyak yang jatuh sakit. Dari jumlah 557 orang Belanda di dalam benteng Rotterdam, 265 orang menderita sakit dan luka-luka.
Pada 12 Oktober 1668 tentara Goa mendapat serangan hebat dari Belanda. Setelah sempat terhenti beberapa saat, pada malam 14/15 Juni 1669 dinding pertahanan kota diledakkan oleh Belanda. Sebagian dinding runtuh. Melalui celah-celah reruntuhan itu tentara penyerang menyerbu ke dalam benteng.
Namun baru seminggu kemudian, yaitu pada 24 Juni 1669, benteng Somba Opu dapat direbut seluruhnya oleh Belanda. Atas perintah Cornelis Jansz Speelman (pemimpin pasukan Kompeni) benteng Somba Opu dihancurkan sama sekali sehingga menjadi rata dengan tanah. Kemudian tempat-tempat pertahanan para pembesar yang tidak menyetujui Perjanjian Bongaya diserang dan dihancurkan Belanda.
Pada 27 Juni 1669 Sultan Hasanuddin memperkuat Perjanjian Bongaya dengan membubuhkan cap kerajaan padanya setelah perjanjian ditandatangani oleh semua anggota majelis pemerintahan Goa. Dua hari kemudian, padal 29 Juni 1669, Sultan Hasanuddin menyerahkan takhta kesultanan kepada putranya yang mendapat gelar Sultan Amir Hamzah.
Sultan baru ini berumur tiga belas tahun pada waktu itu. Sultan yang masih muda ini tidak lama memerintah. Ia wafat pada 7 Mei 1674. Penggantinya ialah saudaranya, Sultan Ali, yang lahir pada 1654.
Mangkubumi Karaeng Karunrung tetap bersikap menen-tang kaum penjajah. Ia meninggalkan ibukota dan pada 1667 di Bulukumba ia mengobarkan lagi perlawanan terhadap Belanda dan Bone, namun dapat digagalkan oleh Belanda bersama Bone.
Karaeng Bontomaranu (pemimpin Goa dalam pertempuran di Buton) bersama saudaranya, Karaeng Galesung meninggalkan Sulawesi dengan membawa tujuh puluh kapal perang bersama anak buahnya. Ia pergi ke Banten untuk melanjutkan perlawanan terhadap Belanda di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam pelayaran dari Banten ke Jawa Timur untuk memberikan bantuan kepada Trunojoyo yang sedang berperang dengan Belanda, Bontomaranu gugur dalam pertempuran laut dengan armada Belanda di perairan dekat Semarang. Tetapi Karaeng Galesung melanjutkan perjalanannya ke Jawa Timur dan meneruskan perjuangan bersama Trunojoyo melawan Belanda yang sedang membantu sultan Mataram, Amangkurat II, mempertahankan mahkotanya.
Sesudah mengalami kekalahan pada 1669, raja-raja Goa sesudah masa pemerintahan Hasanuddin bukan lagi raja-raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan. Mereka tidak lagi mempunyai kekuatan tentara maupun armada ka pal yang teratur. Di mana-mana timbul perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Belanda.
Perlawanan rakyat di Mandar mendapat sokongan dari sultan Goa. Dengan demikian, Belanda tidak menaruh kepercayaan terhadap kaum bang sawan Goa. Mereka dianggap sebagai tenaga penggerak setiap perlawanan rakyat terhadap Belanda. Dan semenjak itu kekuasaan Belanda dipusatkan di kota Makassar, sementara Perjanjian Bongaya selalu diperbarui yang pada 1894 sudah sangat mengikat kekuasaan raja.
Daftar Pustaka
Daeng, Patunru Abdurrazak. Sejarah Gowa. Makassar: KSST, 1969.
La Side. “Peranan Kerajaan Gowa sebagai Negara Maritim Abad 16–17,” Seminar Sejarah Nasional II. Yogyakarta: t.p., 1970.
Mattulada. Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Bhakti Baru, 1982.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Raksakusumah, Said. Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan Melawan Penjajah Belanda Bagian I Gowa. Bandung: Sanggabudaya, 1976.
Syahrin Harahap