Salah satu kerajaan Islam tertua di Pulau Jawa adalah Kesultanan Giri yang terletak dekat Gresik, Jawa Timur. Kesultanan ini sangat berjasa mengislamkan daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan juga wilayah Indonesia bagian timur.
Ketika Tomé Pires, pengembara Portugis yang pernah melakukan perjalanan mengelilingi Nusantara 1512–1515, singgah di Gresik (meninggalkan Jawa 1515), ia menyaksikan dua penguasa yang berperang. Daerah mereka dipisahkan oleh sungai kecil yang dangkal.
Pate Cucuf (Yusuf) dari keturunan Melayu memerintah bagian kota yang paling besar dan penting, tempat perdagangan laut. Penguasa lainnya, Pate Zeinall (Zainal Abidin), memerintah bagian pedalaman yang agraris, merupakan penguasa Islam tertua di kota-kota pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan bersahabat dengan Pate Rodin dari Kesultanan Demak, yang menurut Tomé Pires, berasal dari Gresik.
Tomé Pires tidak menjelaskan asal-usul kedua penguasa itu lebih jauh lagi. Yang jelas, berdasarkan data-data arkeologis, proses islamisasi di Gresik sudah berlangsung sejak akhir abad ke-13.
Gresik pada permulaan abad ke-16 adalah sebuah kota perdagangan laut internasional yang kaya dan paling penting di seluruh Jawa. Di sana berlangsung transaksi antarpeda-gang dari India (Gujarat, Calicut, Benggala), Siam (Thailand), Cina, Banda, Maluku, dan lain-lain.
Apa yang disampaikan Tomé Pires itu sejalan dengan cerita tambo Jawa, yang dikumpulkan penulis-penulis Eropa pada abad ke-19, tentang keturunan para sultan di Giri. Menurut cerita itu, Giri-Gresik dan Surabaya memang sudah sejak lama merupakan pusat kerohanian dan kemasyarakatan.
Meskipun bermuatan unsur legenda dan dongeng, seperti dikatakan Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam Tertua di Jawa, hubungan antara Giri dan Blambangan serta dengan tempat-tempat lain mempunyai nilai sejarah yang penting karena tahun-tahun kejadian yang disebutkan di dalamnya tampaknya dapat dipercaya.
Cerita itu menyebutkan bahwa seorang ahli agama berkebangsaan Arab asal Jiddah, yang bernama Wali Lanang (Maulana Ishak), memperistri putri raja “kafir” Blambangan, Dewi Kasiyan, yang telah disembuhkannya dari suatu penyakit. Dari perkawinan itu, lahir seorang putra.
Akan tetapi, karena merasa gagal mengislamkan raja, Wali Lanang meninggalkan Blambangan. Ketika lahir, putranya dibuang kakeknya ke laut, namun kemudian diselamatkan seorang nakhoda perahu milik Nyai Gede Maloka (w. 1477) dari Gresik, seorang wanita Islam, janda patih Samboja (Cambodia). Anak itu dipungutnya sebagai anak angkat.
Setelah menginjak remaja, anak itu disuruh berguru kepada Sunan Ampel (salah seorang Wali Songo, w. 1481) dari Surabaya, yang mempunyai anak sebaya dengannya, Maulana Makdum Ibrahim (Santri Bonang). Sunan Ampel menamai anak pungut itu Raden Paku. Santri Bonang dan Raden Paku kemudian dikirim oleh Sunan Ampel ke Malaka untuk berguru kepada Wali Lanang, ayah Raden Paku sendiri, yang kemudian memerintahkan keduanya untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Timur.
Sekembalinya di Gresik, beberapa waktu kemudian, pada 1485 Raden Paku menetap di Gunung (= Giri) sebagai kiai besar dengan gelar Prabu (Raja) Satmata. Waktu itu ia membangun sebuah keraton (istana) dan masjid yang bergonjong tujuh.
Dengan demikian, ia mendirikan sebuah kerajaan Islam dalam rangka memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan bagi kepentingan para pedagang Islam yang sejak abad ke-14 sudah bertempat tinggal di kota-kota kecil Jawa.
Para sejarawan menyebutnya sebagai raja-ulama, sebagaimana juga Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah, salah seorang Wali Songo; w. 1570) di Cirebon kemudian. Prabu Satmata dapat dianggap sebagai orang pertama yang membangun tempat khalwat dan kuburan di atas sebuah bukit. Tradisi ini kemudian diikuti oleh, misalnya, Tembayat (desa di selatan Yogyakarta), Prawata (dekat Demak), dan Gunung Jati (dekat Cirebon).
Prabu Satmata meninggal dunia 1506 dan digantikan oleh putranya. Menurut daftar tarikh Jawa, penguasa (ulama) kedua di Giri ini dikenal dengan nama Sunan Dalem. Pada masa Sunan Dalem, Giri mulai memperlihatkan kekuatannya. Keberhasilannya membuat Majapahit memandang bahwa pengislaman yang dilakukan Giri dapat membahayakan kekuasaan Majapahit.
Karena Tomé Pires tidak menceritakan Prabu Satmata dan Giri dalam Summa Orientalis-nya, diperkirakan bahwa Giri ketika itu (1515) belum berkembang secara berarti, dan baru pada masa sesudahnya, setelah mendapat pembinaan lebih lanjut dari Sunan Dalem ini, menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh Majapahit.
Kemungkinan lain adalah bahwa yang dimaksudkan dengan Zeinall (Zainal Abidin) dalam laporan Tomé Pires itu ada lah Zainal Abidin, raja Ternate yang memerintah 1486–1500. Menurut cerita yang berkembang di Maluku, seperti yang dicatat Valentijn (sejarawan Belanda), Zainal Abidin ini pernah menjadi penguasa di Giri dan menjadi putra mahkota.
Giri, pada waktu Tomé Pires berkunjung ke Gresik, sudah menjadi pusat kekuasaan yang mulai berkembang, dan yang dilapor-kannya sebagai daerah Gresik bagian pedalaman yang berada di bawah kekuasaan Zeinall itu adalah Giri sendiri. Waktu itu Zeinall menjabat sebagai putra mahkota Giri.
Tampaknya kemungkinan kedua ini lebih sejalan dengan fakta-fakta sejarah yang diperoleh dari sumber-sumber lain. Oleh karena itu, sejak awal abad ke-16, raja-raja Majapahit beberapa kali berusaha membunuh penguasa Islam dan memerangi kekuatan di Giri itu. Akan tetapi, semua upaya itu tidak ber-hasil. Maka dapat dipahami bahwa Sunan Dalem ikut dalam tentara Kesultanan Demak yang dipimpin Sultan Trenggono (1524–1546) dalam pendudukan Kerajaan Majapahit 1527.
Pada 1535 penguasa “kafir” dari Sengguruh, Malang, Jawa Timur, berhasil menduduki Giri dan memaksa Sunan Dalem meninggalkan pusat kekuasaan Islam itu. Sunan Dalem kemudian pergi ke Gumena, sebuah desa di Gresik, yang telah diislamkannya dan dipimpin Syekh Manganti.
Orang-orang kafir memang masih tetap berusaha membendung meluasnya Islam ke pedalaman Jawa Timur. Orang-orang Sengguruh yang berasal dari selatan itu menghancurkan makam Prabu Satmata dan kemudian kembali ke Sengguruh. Sunan Dalem juga kembali ke Giri dan memugar makam Pra-bu Satmata.
Setelah itu, Kesultanan Demak terus meluaskan wilayah kekuasaannya sampai jauh ke timur, seperti Pasuruan (1535) dan Lamongan (1541). Sejak itu, Giri, yang mengakui kepemimpinan politik Demak, merasa aman dari serangan lewat darat dari sebelah selatan, karena Demak sendiri tetap mempertahankan kepemimpinan Giri di tingkat lokal.
Sunan Dalem wafat pada 1545 atau 1546. Ia digantikan oleh anaknya yang dua tahun kemudian meninggal dunia, yang diberi nama anumerta Sunan Sedaing-Margi, yang artinya “sunan yang menemui ajal dalam perjalanan”. Ia gugur sebagai syahid ketika ia ikut dalam ekspedisi bala tentara Demak yang dipimpin Sultan Trenggono dalam menaklukkan Panarukan, di ujung timur Pulau Jawa.
Pemimpin agama Giri ketiga ini, pada 1548 digantikan kakaknya yang bernama Sunan Mas Ratu Pratikal, yang setelah meninggal lebih dikenal sebagai Sunan Prapen (Prapen adalah tempat ia dimakamkan). Orang Belanda menggelarinya dengan julukan “paus orang-orang Mohammedan”.
Ia berkuasa sampai 1605 dan berjasa menyebarkan agama Islam, baik di Jawa Timur dan Jawa Tengah maupun Indonesia bagian Timur. Pada masa pemerintahannya, Giri menjadi sebuah kota yang makmur, pusat peradaban Islam pesisir, dan pusat ekspansi Jawa di bidang ekonomi dan politik di Indonesia Timur.
Setahun setelah menduduki jabatan (1549), ia membangun keraton baru karena keraton lama yang dibangun Prabu Satmata tidak sesuai lagi dengan kejayaan dan kemajuan yang telah dicapai. Namun, ia tidak ingin mencampuri urusan politik yang berpusat di Demak, Jawa Tengah. Ia hanya memusatkan usahanya untuk memperluas kekuasaan rohani dan hubungan dagang lewat laut ke arah timur.
Akan tetapi, ketika Demak jatuh dan Kesultanan Pajang bangkit sebagai pengganti pusat kekuasaan Islam di Jawa, Sunan Prapen memelopori raja-raja Jawa Timur untuk mengakui raja Pajang sebagai maharaja. Pada 1581, di keraton Sunan Prapen di Giri, raja Pajang, Joko Tingkir, dilantik sebagai raja Islam utama dan sebagai sultan.
Hadir dalam pelantikan ini raja-raja dari Jipang (Bojonegoro), Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Kehadiran mereka itu menunjukkan suatu kemenangan bagi Sunan Prapen dari Giri sebagai negarawan.
Setelah Kesultanan Pajang berakhir (1582) dan digantikan oleh Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati (memerintah 1582–1601), raja pertama Mataram, mengadakan ekspedisi ke Jawa Timur dan memaksa hampir semua penguasa di sana mengakui kekuasaan tertinggi Panembahan Senopati.
Yang paling lama bertahan dari serangan Panembahan Senopati itu adalah Surabaya. Pada 1589 Sunan Prapen bertindak sebagai penengah ketika terjadi pertempuran antara Mataram dan Surabaya. Dalam hal ini ia berusaha bersikap netral, tetapi pada masa selanjutnya terlihat adanya indikasi bahwa ia sebenarnya berpihak pada Mataram.
Sejak itu, keraton Giri menjadi tempat berlindung bagi raja-raja Jawa Tengah dan Jawa Timur yang wilayah kekuasaannya diduduki Mataram. Sunan Prapen wafat pada 1605 dalam usia lebih dari 100 tahun.
Sunan Prapen, seperti terdapat dalam kisah Lombok, pernah sampai ke Pulau Sulat (Lombok) dan Sungian, di daerah Lombok, dan memaksa raja “kafir” di Teluk Lombok mengakui kekuasaan Islam.
Meskipun nama disebut dengan jelas dalam kisah-kisah ini, tahun-tahun peristiwa tidak tertera. Ia juga sampai ke Tanah Sasak di barat daya Lombok dan kemudian berlayar ke Sumbawa dan Bima.
Ia juga pernah mengirim ekspedisi orang-orang Jawa Islam untuk menduduki kota Kerajaan Lombok, Selaparang, dan bahkan merencanakan merebut Bali selatan dari sebelah timur demi penyebaran agama Islam di sana, tetapi rencana itu digagalkan karena mendapat perlawanan.
Pengislaman Makassar (Sulawesi Selatan) juga tidak lepas dari peran Giri. Makassar diislamkan oleh Datok ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal) yang berasal dari Minang kabau, seorang murid pemimpin agama di Giri, dan bahkan, menurut cerita Lombok, mempunyai hubungan keluarga dengan pemimpin agama Giri itu melalui perkawinan. Datok ri Bandang juga berjasa mengislamkan Kalimantan Timur.
Pengaruh Giri juga terdapat di wilayah Kalimantan lainnya. Cerita setempat di Pasir, daerah di Banyumas, menceritakan terjadinya perkawinan antara pangeran-pangeran Giri dan putri-putri Kalimantan Selatan. Raja Matan dari Sukadana (Kalimantan Barat), yang mulai memerintah 1590, memakai nama Giri Kusuma. Penggunaan nama ini diduga karena adanya pengaruh Giri di sana.
Cerita-cerita di Maluku dan Ternate juga memperlihatkan adanya pengaruh Giri di sana. Orang-orang Hitu (Ambon) pada 1565 mengadakan perjanjian dengan penguasa Giri untuk mendapat perlindungan dari Portugis.
Hubungan antara Maluku dan Giri terus berlangsung sampai abad ke-17. Untuk jangka waktu yang lama, anak-anak orang terkemuka menuntut ilmu ke pesantren Giri. Setelah kembali ke daerah asal, mereka menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam yang mereka terima di Giri.
Setelah Sunan Prapen wafat (1605), Kesultanan Giri masih tetap bertahan untuk beberapa lama, meskipun pengaruhnya, terutama dalam bidang politik, sudah sangat merosot. Sebagaimana pendahulu-pendahulunya, pemimpinnya bergelar Sunan Giri.
Sunan Prapen masih dapat mempertahankan pengaruh politiknya ketika Panembahan Senopati berusaha menguasai kesultanan-kesultanan di Jawa Timur, namun pada masa Mataram dikuasai Sultan Agung (1613– 1645), Jawa Timur tidak dapat bertahan dan secara politik jatuh ke bawah kekuasaan Mataram.
Kesultanan Giri sendiri jatuh 1636. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa itu Giri sebagai sebuah kesultanan (pusat kekuatan politik) sudah berakhir. Namun, fungsi Giri sebagai sebuah pusat perguruan agama masih berpengaruh dan bertahan hingga beberapa puluh tahun kemudian. G
iri dalam perkembangannya sebagai pemegang kepemimpinan keagamaan dipandang oleh penguasa politik di Mataram sebagai pesaing yang merisaukan. Maka pada 1680, atas hasutan raja Mataram Amangkurat II (Adipati Anom; berkuasa pada 1677–1703) dan dengan bantuan Belanda, Giri ditaklukkan dan pemimpinnya yang terakhir terbunuh.
Kebesaran Giri di masa silam masih terus dikenang sampai sekarang. Masjid bergonjong tujuh yang didirikan oleh Prabu Satmata dan makam para sunan di sana masih terus dibanjiri peziarah.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: YOI, 1989.
Graaf, H.J. de, dan Th. G. Pigeud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
Ibrahim, Ahmad, Sharon Siddique, dan Yasmin Hussain, ed. Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1989.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500–1900. Jakarta: Gramedia, 1992.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, ed. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Badri Yatim