Gibah

Menyebut­ kekurangan atau aib seseorang yang tidak disukai orang tersebut disebut gibah. Kekurangan dan aib itu bisa terdapat pada badan, pakaian, rumah, tindakan, etika, agama, dan sebagainya.

Gibah merupakan perbuatan tercela. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim disebutkan, “Nabi Muhammad SAW berkata kepada para sahabat, ‘Gibah ialah kamu sebut sesuatu yang tidak disukai oleh temanmu.’

Salah seorang sahabat kemudian bertanya, ‘Bagaimana kalau yang disebutnya itu sesuai de­ngan realitas?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Sekalipun yang disebutnya itu benar, ia telah mengumpatnya. Kalau yang disebutnya itu tidak sesuai dengan realitas,­ ia telah berbuat bohong.’”

Allah SWT mengumpamakan pelakunya seperti orang yang memakan daging saudara­nya sendiri yang sudah ma­ ti. Dalam Al-Qur’an surah al-hujurat (49) ayat 12 Allah SWT berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,­ sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah­ dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan­ orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing­ sebagian­ yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya­. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya­ Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Gibah tercela karena ia mengandung bahaya besar, baik bagi individu maupun masyarakat. Dampak­ negatifnya pada individu ialah bahwa gibah dapat melukai hati seseorang, sehingga dapat menimbulkan­ permusuhan. Bagi masyara­kat,­ gibah dapat mengacaukan hubun­gan per­sauda­raan dan kemasyarakatan serta menimbulkan saling­ curiga. Apabila ini terjadi, kehidupan masyarakat akan terganggu.

Rasulullah SAW menyatakan besar­nya­ bahaya gibah dengan sabdanya, “Jauhilah olehmu gibah. Sesungguhnya­ gibah itu lebih berbahaya dari zina” (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Abi ad-Dunia, dan Ibnu Mardawaih).

Menurut al-Ghazali, jika seseorang berzina kemudian bertobat secara ikhlas, tobatnya segera diterima­ Allah SWT. Akan tetapi, pelaku gibah tidak akan diampuni sebelum ia meminta maaf lebih dahulu kepada orang yang diumpat­nya. Sebab itu, dalam hadis lain Nabi SAW secara tegas melarang­ melakukan­ gibah. Nabi SAW bersabda,

“Janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling membenci, jangan­lah sebagian daripada­mu melakukan gÓbah terhadap yang lain, dan henda-klah kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menyebutkan aib seseorang dikatakan gibah jika tujuan penyebutan itu untuk menghina, mencerca, dan meren­ dahkan martabat seseorang. Menyebutkan­ kekurangan­ dan aib seseorang diizinkan dalam enam hal.

(1) Mengadukan dan menggugat suatu perbuatan aniaya di depan hakim. Saat seseorang yang teraniaya mengadu kepada hakim, ia dibo­lehkan menerangkan aib orang yang melakukan penganiayaan terhadapnya guna memperjelas kedu­dukan­ perkara­ yang sedang diajukan.

(2) Seba­gai sarana untuk men­ce­gah kemungkaran. Salah satu contoh dalam hal ini ialah kasus Talhah (dalam versi lain, Usman bin Affan). Diceritakan­ dalam satu riwayat bahwa Umar bin Khattab lewat di depan Talhah (atau Usman) dan memberi salam kepadanya­. Tetapi salamnya ini tidak dijawab. Maka­ Umar datang kepada Abu Bakar as-Siddiq untuk menyebutkan kejelekan peristiwa itu, dengan tujuan agar Abu Bakar dapat memberi pelajaran kepada orang yang enggan menjawab salam.

(3) Untuk meminta fatwa. Seseorang boleh menyebut­­ kan aib orang lain di hadapan mufti guna meminta fatwanya menyangkut kasus yang sedang dihadapi­nya­. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Hindun menyebutkan sifat kikir suaminya, Abu Sufyan, yang menyebabkan­ ia dan anaknya terlantar­. Rasulullah SAW menyuruh Hindun mencari sendiri kebutuhannya (HR. Bukhari dan Muslim).

(4) Untuk memberi peringatan kepada muslim agar tidak terjerumus kepada kejahatan. Nabi SAW sendiri membo­lehkan menyebut aib pe­la­ku kezaliman kepada orang banyak agar mereka waspada terhadap kejahatan­nya (HR. at-Tabrani, Ibnu Hibban, Ibnu Adi, dan Ibnu Abi­ad­-Dunia).

(5) Apabila aib itu sudah merupakan nama pang­gilan­ seseorang­. (6) Untuk menyatakan­ suatu kejahat­an. Orang boleh menyebut aib sese­orang untuk membong­kar­ kejahatannya. Tujuannya adalah agar dia insaf akan kejahatannya itu.

Menurut al-Ghazali, faktor-faktor yang menimbulkan­ perbuatan gibah bagi kaum awam adalah sebagai berikut:

(1)  sebagai pelampiasan rasa bengis dan marah,

(2) karena ingin mengambil hati teman dalam pergaulan atau karena pengaruh teman­ bicara,

(3) karena ingin menarik perhatian orang lain,

(4) ingin menunjukkan kesucian dan kemuliaan di-rinya dengan menyebutkan kekurangan­ dan aib orang lain,

(5) untuk membanggakan diri sendiri­ dengan cara menyebutkan kekurangan dan aib orang lain,

(6) dengki,

(7) senda gurau, dan

(8) sengaja untuk menghina dan menjelekkan orang lain.

Gibah juga dapat terjadi pada orang khawas (orang yang tingkatan ibadahnya tinggi). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gibah pada orang khawas adalah sebagai berikut.

(1) Rasa kagum kepada seseorang yang dihormati­nya, sementara pada saat yang sama menyebut kejelekan orang lain. Misalnya, seseorang berkata, “Saya kagum terhadap­ si A tetapi sayang anaknya bodoh.”

(2) Karena­ rasa kasihan terhadap seseorang sehingga terucap kata-kata yang mele­cehkan orang tersebut. Misalnya, seseorang berkata,­ “Saya sangat kasihan terhadap si A yang miskin itu.”

(3) Karena rasa marah yang diizinkan agama. Umpa­manya, seseorang­ yang menyebut aib seseorang yang suka berbuat­ jahat. Karena marahnya kepada penjahat­ itu, ia menyebut keburukan itu bukan untuk amar makruf­ nahi mungkar, tetapi karena dorongan rasa marah­ semata.

Daftar Pustaka

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Hufi, Ahmad Muhammad. Akhlak Nabi Muhammad SAW: Keluhuran dan Kemuliaannya, terj. Masdar Helmi dan Abd Khalik Anwar. Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
al-Khadimi, Abi Sa’id. Bariqah Mamudiyyah fi Syarh ariqah Muhammadiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1348 H/1929 M.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
Umarie, Barmawie. Materi Akhlak. Yogyakarta: Ramadhan, 1978.

Yunasril Ali