Peperangan antara umat Islam dan kaum kafir yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW disebut ghazwah atau sariyah; jika dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW disebut ghazwah, dan jika tidak dipimpin Nabi Muhammad SAW disebut sariyah.
Gazwah secara etimologi berasal dari kata gaza-yagzu (menyerang, menyerbu) atau gazwan, gazawah, gazawan (penyerbuan, penyerangan, dan perang). Kata gazwah (jamaknya gazawat) secara umum sama artinya dengan kata-kata harb, qital, ma‘rakah.
Dalam pengertian di atas berarti dalam setiap ghazwah pasti terjadi perlawanan fisik, yang pada akhirnya akan mengakibatkan adanya pihak yang menang dan yang kalah. Akan tetapi, pada prakteknya dalam ghazwah belum tentu terjadi perlawanan fisik.
Adapun kata sariyyah secara etimologi berasal dari kata sara-yasri-suran, saryah, suryah, sirayah, dan sarayanan yang berarti berjalan di waktu malam. Kata sariyyah (jamaknya saraya) berakar dari kata sara yang berarti sekelompok tentara.
Dalam pengertian yang lebih luas, sariyyah dapat diartikan sebagai tindakan memata-matai yang dilakukan oleh sekelompok tentara pada waktu-waktu tertentu terhadap kegiatan/keadaan kelompok musuh. Kegiatan mematai-matai ini dapat berakhir dengan terjadinya perlawanan fisik antara kedua pihak dan mengakibatkan munculnya pihak yang menang dan kalah.
Dalam sejarah Islam, terutama setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, kedua kata itu sangat populer digunakan. Ahmad Syalabi, ahli sejarah Islam dari Mesir, mengatakan bahwa sering kali kedua kata itu dikacaukan penggunaannya.
Meskipun mengandung pengertian yang sama, kedua kata ini secara operasional sangat berbeda. Ghazwah adalah perang yang langsung dipimpin Nabi SAW, sedangkan sariyah dipimpin seorang sahabat yang ditunjuk Nabi SAW.
Peperangan yang terjadi pada masa itu, baik ghazwah maupun sariyah, merupakan reaksi umat Islam terhadap usaha yang dilakukan kaum musyrik untuk menyerang dan menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Ahmad Syalabi mengatakan bahwa perang yang terjadi antara kaum muslimin dan kaum musyrikin bukan merupakan usaha kekerasan yang dilakukan kaum muslimin untuk menyiarkan dakwah Islam kepada orang non-Islam. Menurutnya, peperangan yang terjadi pada masa Nabi SAW dan masa sesudahnya disebabkan antara lain oleh tiga faktor, yaitu
(1) untuk membela diri dari serangan musuh Islam,
(2) menjamin kelancaran dakwah Islam dan memberi kesempatan kepada mereka yang hendak memeluk Islam, dan
(3) untuk memelihara umat Islam supaya tidak dihancurkan bala tentara Persia dan Romawi.
Ghazwah. Ghazwah yang dilakukan Nabi SAW selama periode Mekah dan Madinah cukup banyak jumlahnya. Para pakar sejarah Islam berbeda pendapat tentang jumlah tersebut. Al-Waqidi, dalam bukunya al-Magazi (Peperangan), mengatakan bahwa jumlah ghazwah mencapai 27 kali. Mahmud Muhammad Ziyarah tidak menyebutkan dengan tegas berapa jumlah ghazwah tersebut.
Namun di dalam bukunya Dirasat fi at-Tarikh al-Islami, al-‘Arab Qabl al-Islam as-Sirah an-Nabawiyyah al-KhilÎfah ar-Rasyidah (Studi ten-tang Sejarah Bangsa Arab Sebelum Islam, Sejarah Nabi, dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun) ia menguraikan 23 ghazwah. Ghazwah yang penting dan besar pengaruhnya diuraikannya secara panjang lebar, sebaliknya yang tidak besar diuraikannya secara singkat.
Muhammad Said Ramadan al-Buti, seorang ahli sejarah Islam dari Suriah, juga tidak menyatakan secara tegas jumlah ghazwah Nabi Muhammad SAW. Ia hanya menyebutkan 10 ghazwah terpenting. Semua ghazwah yang disebutkan al-Buti telah disebutkan Ziyarah.
Perbedaan penyebutan jumlah itu antara lain disebabkan karena ada pakar yang menyebutkan seluruh ghazwah, baik yang besar maupun yang kecil, sedangkan yang lain hanya menyebutkan yang penting. Perbedaan itu juga disebabkan karena ada pakar yang mengkategorikan ghazwah sebagai sariyah atau sebaliknya.
Menurut Mahmud Muhammad Ziyarah, ghazwah yang terjadi pada masa Nabi SAW adalah sebagai berikut.
(1) Ghazwah Widan, yakni penyerangan yang terjadi di Widan, sebuah desa yang terletak antara Mekah dan Madi-nah. Penyerangan ini terjadi ketika Rasulullah SAW melihat bahwa kaum Quraisy tidak mau memahami keadaan kaum muslimin. Karena itu pada 12 Rabiulawal 2, Rasulullah SAW keluar memimpin pasukan dari Madinah untuk menghadang kafilah Quraisy dan membuat perjanjian kerjasama dengan Bani Damrah yang tinggal di rute perdagangan kafilah Quraisy di Widan.
Ketika itu tidak terjadi pertempuran karena kafilah Quraisy telah lewat.Yang terjadi hanyalah kesepakatan antara Nabi SAW dan Bani Damrah yang menyatakan bahwa mereka wajib membantu kaum muslimin apabila dibutuhkan.
(2) Ghazwah Bawat, terjadi di Bawat, salah satu gunung di Pegunungan Juhainah, antara Mekah dan Madinah. Peristiwa ini terjadi kurang dari satu bulan setelah Ghazwah Widan. Ketika itu Rasulullah SAW bersama dua ratus tentara muslim dari kalangan Muhajirin dan Ansar ingin menghadang kafilah Quraisy yang datang dari Syam (Suriah).
Kafilah ini dipimpin Umayah bin Khalaf, membawa 2.500 ekor unta yang dikawal 100 tentara. Di sini pun tidak terjadi perang karena kafilah tersebut lebih dahulu lewat dengan mengambil jalan lain.
(3) Ghazwah al-Asyirah, terjadi pada bulan Jumadilawal 2 di al-Asyirah, salah satu desa di Pegunungan Radwi di sekitar Madinah. Nabi SAW keluar menuju al-Asyirah dengan tujuan hendak menghadang kaum Quraisy yang hendak bepergian ke Syam di bawah pimpinan Abu Sufyan.
Di sini pun tidak terjadi pertempuran, juga karena kafilah lebih dahulu lewat. Nabi SAW kemudian mengadakan perjanjian perdamaian dengan Bani Madlaj.
(4) Ghazwah Safwan, yaitu ghazwah yang terjadi tidak lama setelah peristiwa al-Asyirah. Peristiwa ini adalah reaksi atas tindakan Kurz bin Jabir al-Fihri, seorang Quraisy Mekah yang merampok di Madinah.
Nabi SAW lalu mencarinya hingga ke Lembah Safwan di wilayah Badar. Tetapi Kurzsu dah menghilang. Para penulis sejarah Nabi SAW menyebut ghazwah ini sebagai Perang Badar Pertama.
(5) Perang Badar, yaitu ghazwah yang terjadi antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy di Lembah Badar, 17 Ramadan 2 (16 Maret 624). Dalam perang ini kaum muslim-in memperoleh kemenangan gemilang, walaupun jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan tentara Quraisy, sehingga perang ini juga disebut Perang Badar al-Kubra (yang besar). Perang Badar disebut dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran (3) ayat 123.
(6) Ghazwah Sawiq, terjadi pada akhir tahun 2 H di Qarqarah al-Kidr, antara Mekah dan Madinah. Peristiwa ini bermula dari rencana kaum Quraisy Mekah di bawah pimpinan Abu Sufyan untuk memerangi kaum muslimin di Madinah, sebagai usaha balas dendam atas kekalahan mereka dalam Perang Badar.
Pasukan Abu Sufyan berjumlah 200 orang (ada ahli sejarah yang mengatakan 40 orang). Menjelang Madinah, di daerah ‘Uraiz, mereka membunuh seorang Ansar dan temannya serta membakar rumah kedua orang tersebut. Pasukan ini kemudian melarikan diri, takut akan pembalasan kaum muslimin. Nabi SAW dan beberapa sahabat mengejarnya hingga Qarqarah al-Kidr.
Abu Sufyan dan rombongannya makin kencang melarikan diri. Untuk meringankan beban tunggangan, mereka melemparkan bahan makanan mereka yang terdiri dari sawiq (sejenis gandum), yang kemudian diambil oleh kaum muslimin. Nama ghazwah ini diambil dari sawiq yang dibuang kaum Quraisy tersebut.
(7) Ghazwah al-Kidr, juga terjadi di Qarqarah al-Kidr pada bulan Safar 3. Ghazwah ini melibatkan kaum Quraisy yang datang dari Mekah dan sejumlah anggota suku Bani Gatafan dan Bani Sulaim yang tinggal tidak jauh dari tempat itu untuk maksud menyerang Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin.
Di pihak kaum muslimin dikerahkan sekitar 200 orang tentara di bawah pimpinan Nabi SAW. Nabi berangkat ke Qarqarah al-Kidr dengan tujuan memotong jalan mereka. Namun di tempat ini tidak ditemukan musuh. Nabi SAW jus-tru mendapatkan sekitar 500 unta yang kemudian diambil sebagai rampasan perang.
(8) Ghazwah Zi Amr, terjadi pada bulan Rabiulawal 3 di Zi Amr, sebuah sumur yang terletak tidak jauh dari tempat terjadinya peristiwa al-Kidr. Peristiwa ini terjadi antara Bani Sa’labah yang didukung Bani Muharib di bawah pimpinan Da’sur dan kaum muslimin yang berjumlah 500 orang di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW.
Ghazwah ini di menangkan kaum muslimin dan tentara musuh melarikan diri. Kemenangan gemilang yang tercatat dalam ghazwah ini ialah pengakuan Da’sur langsung kepada Nabi SAW untuk masuk Islam, yang akhirnya diikuti sejumlah besar anggota sukunya.
(9) Ghazwah Bahran, terjadi pada bulan Jumadilawal 3 di Bahran, antara Mekah dan Madinah. Peristiwa ini berawal ketika Rasulullah SAW mendengar berita bahwa sejumlah besar anggota Bani Salim berkumpul dan mengadakan persiapan di Bahran dengan maksud menyerang kota Madinah.
Rasulullah SAW lalu mengumpulkan 300 tentara dan kemudian berangkat menuju ke tempat itu. Tidak terjadi perlawanan fisik dalam ghazwah ini karena pihak musuh melarikan diri setelah mendengar berita bahwa kaum muslimin sudah siap melakukan penyerangan terhadap mereka.
(10) Perang Uhud, yakni perang yang terjadi pada 3 H antara kaum Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid dan kaum muslimin pimpinan Nabi SAW. Perang ini terjadi di dekat Bukit Uhud, sebelah timur laut Madinah.
Dalam perang ini kaum muslimin kehilangan sekitar 70 orang pahlawannya, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib. Al-Qur’an mengi-sahkan perang ini dalam surah Ïli ‘Imran (3) ayat 152–158 dan 165–167.
(11) Ghazwah Hamra’ al-Asad, terjadi pada 16 Syawal 3 di Hamra’ al-Asad, suatu tempat 8 mil dari Madinah. Ghazwah ini merupakan rangkaian terakhir dari peperangan yang terjadi pada 3 Hijriah.
Peristiwanya bermula dari berita yang diterima Nabi SAW sepulang dari Perang Uhud, bahwa Abu Sufyan dan kaum Quraisy akan menyerang kaum muslimin. Saat itu Nabi SAW sedang berada di Hamra’ al-Asad.
Selama 3 hari 3 malam Nabi SAW bersiap siaga menunggu serangan itu. Namun kaum Quraisy akhirnya memilih mundur dan kembali ke Mekah.
(12) Ghazwah Zat ar-Riqa‘, terjadi di Zat ar-Riqa‘, suatu tempat antara Mekah dan Madinah. Peristiwa ini terjadi sebagai reaksi atas niat Bani Muharib dan Bani Sa’labah dari Gatafan (Nejd) untuk menyerang Madinah.
Bala tentara muslim yang berjumlah 400 orang di bawah pimpinan Rasulullah SAW mel-akukan penyerangan terhadap pertahanan musuh. Penyeran-gan ini menyebabkan musuh Islam itu melarikan diri.
(13) Ghazwah Dumat al-Jandal, terjadi di Dumat al-Jandal, suatu oasis di perbatasan antara Hijaz dan Syam (Suriah), di pertengahan jalan antara Laut Merah dan Teluk Persia. Ghazwah ini merupakan reaksi terhadap keinginan kaum musyrikin yang berkumpul dan bersiap-siap di Dumat al-Jandal untuk menyerang Nabi SAW dan kaum muslimin. Untuk itu, Nabi SAW menyiapkan seribu tentara.
Dalam ghazwah ini tidak terjadi perlawanan fisik, karena tentara musuh segera meninggalkan Dumat al-Jandal setelah mendengar berita bahwa pasukan Islam akan menyerang mereka dengan men-inggalkan harta benda yang kemudian diambil kaum muslim sebagai ganimah (rampasan perang).
(14) Perang Ahzab atau Perang Khandaq, antara pasukan Islam dan pasukan sekutu (ahzab) yang terdiri dari kafir Quraisy, Gatafan, dan Yahudi. Perang ini terjadi pada Syawal 5.
Pasukan muslimin terdiri dari 3.000 orang, sedangkan pasukan musuh 10.000 orang dipimpin Abu Sufyan. Dalam perang ini pasukan muslimin menggunakan sistem pertahanan khandaq (parit) atas usul Salman al-Farisi, salah seorang sahabat.
(15) Ghazwah Bani Quraizah, terjadi beberapa saat setelah terjadinya Perang Khandaq, dilakukan atas perintah wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW. Bani Quraizah adalah salah satu suku yang tinggal tidak jauh dari kota Madinah.
Suku ini selalu melakukan pengkhianatan dan permusuhan terhadap kaum muslimin. Pasukan kaum muslimin berjumlah 3.000 orang. Mereka mengepung Bani Quraizah selama 25 hari. Nabi SAW meminta Sa‘ad bin Mu‘az untuk menyelesaikan persoalan Bani Quraizah ini. Sa‘ad memerintahkan kabilah itu untuk meletakkan senjata dan keluar dari benteng. Bani Quraizah mematuhi perintah tersebut.
Sa‘ad mengambil keputusan bahwa mereka yang terlibat dalam kejahatan perang dihukum mati, kaum wanita dan anak-anak ditawan, dan harta benda diambil sebagai ganimah. Keputusan ini disetujui Nabi SAW.
(16) Ghazwah Bani Lihyan, timbul sebagai reaksi atas pembunuhan yang dilakukan Bani Lihyan terhadap Khubaib bin Adi dan kawan-kawannya di Raji‘. Bani Lihyan adalah suku yang tinggal di sebelah utara Madinah.
Untuk menyergap pihak musuh, Nabi Muhammad SAW dan rombongannya pura-pura pergi ke Syam dan di tengah jalan berbelok menuju kediaman Bani Lihyan. Namun kedatangan Nabi SAW diketa-hui kabilah itu sehingga mereka lari. Beberapa hari kemudian tentara kaum muslimin kembali ke Madinah.
(17) Ghazwah al-Gabah atau disebut juga dengan Ghazwah Zi Qird. Dinamakan al-Gabah karena terjadi di Gabah, suatu tempat yang terletak tidak jauh dari Madinah. Tempat ini juga tidak jauh letaknya dari Gunung Zi Qird.
Ghazwah ini terjadi sebagai reaksi atas pembunuhan yang dilakukan Uyainah bin Hisn dan saudara-saudaranya terhadap seorang muslim penggembala unta dan penyanderaan terhadap istrinya. Tindakan kejam Uyainah itu sampai kepada Rasulullah SAW. Tentara muslimin mengejar rombongan itu dan berhasil mencapai barisan belakangnya.
Muslimah yang disandera berhasil dibebaskan dan unta-unta yang dirampas berhasil direbut kembali. Nabi SAW melarang melanjutkan pengejaran karena Uyainah dan anak buahnya menuju ke tempat Gatafan dan meminta perlindungan mereka.
(18) Ghazwah Bani Mustaliq, terjadi pada Syakban 6, setelah Nabi SAW mendengar berita bahwa Haris bin Abi Darar, seorang pemimpin Bani Mustaliq yang dalam Perang Uhud membantu kaum Quraisy, telah mengumpulkan sejumlah orang untuk menyerang kaum muslimin. Siasat perang yang dilakukan Rasulullah SAW ialah mengepung kabilah tersebut sehingga tidak satu pun di antara mereka dapat keluar.
Perang itu mengakibatkan sepuluh orang Bani Mustaliq tewas, sedangkan sisanya ditawan bersama istri dan anak-anak mereka. Dari pihak muslimin, Hisyam bin Subaba gugur sebagai syuhada.
(19) Perang Mu’tah. Ghazwah ini disebut juga sariyah, karena keikutsertaan Nabi Muhammad SAW hanya dalam bagian awal peperangan.
(20) Ghazwah Fath al-Makkah, yaitu perang yang di lakukan untuk menaklukkan kota Mekah, terjadi pada Muhar-am 8. Nabi Muhammad SAW memimpin pasukan berjumlah 10.000 orang.
Perang ini terjadi karena kaum kafir Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah, perjanjian gencatan senjata antara pihak Nabi SAW dan pihak kafir Quraisy yang ditandatangani bulan Zulkaidah 6. Ketika memasuki Mekah, pasukan muslimin tidak mendapat perlawanan yang berarti.
(21) dan (22) Perang Hunain dan Perang Ta’if, perang yang terjadi secara bersusulan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Mekah yang terdiri dari Bani Hawazin, Bani Saqif, Bani Nasr, dan Bani Jusyam di bawah pimpinan Malik bin Auf, seorang dari Bani Nasr.
Perang ini terjadi 8 H di Lembah Hunain, dekat kota Ta’if, sekitar dua minggu setelah Fath al-Makkah. Peperangan ini dilatarbelakangi perlawanan bersenjata kabilah-kabilah tersebut terhadap kaum muslimin karena penaklukan kota Mekah yang mengakibatkan kaum muslimin menguasai Mekah dan sekitarnya serta menghancurkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka’bah.
Semula para kabilah itu dapat mengalahkan pasukan muslimin. Namun dalam pertempuran lanjutan mereka dapat dipukul mundur dan lari meninggalkan medan perang. Malik bin Auf melarikan diri dengan sejumlah pengikutnya ke Ta’if, meminta perlindungan Bani Taqif.
Ta’if ketika itu merupakan kota strategis yang sukar ditembus dari luar. Untuk masuk ke kota itu, berbagai taktik dan strategi telah diambil Nabi SAW dan kaum muslimin. Namun taktik-taktik itu tidak membawa hasil, bahkan delapan belas muslimin gugur terkena panah. Akhirnya Nabi SAW memilih mundur ke tempat yang tidak dapat dijangkau anak panah dan melakukan pengepungan terhadap penduduk Ta’if dari sana.
Akibat pengepungan tersebut sejumlah penduduk Ta’if mengirimkan delegasi menghadap Nabi SAW untuk menyatakan masuk Islam. Setelah sebulan, Nabi SAW menghentikan pengepungan karena bulan suci (yang di dalamnya diharamkan perang; yakni Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab) hampir menjelang.
Nabi SAW dan kaum muslimin juga berniat umrah. Ia mengingatkan pasukannya bahwa ia akan kembali ke Ta’if jika bulan suci sudah berlalu. Peristiwa Perang Hunain diabadikan dalam Al-Qur’an surah at-Taubah (9) ayat 25–28.
(23) Perang Tabuk, terjadi 9 H di kota Tabuk, di perba tasan Semenanjung Arabia dengan Syam (Suriah). Perang ini sekali lagi menunjukkan keteguhan hati kaum muslimin, karena peristiwa ini terjadi saat wilayah Arab mengalami puncak musim panas, sedangkan pasukan Nabi SAW harus melewati padang pasir yang gersang ketika menuju Syam.
Perang ini merupakan lanjutan dari Perang Mu’tah yang terjadi sebelumnya yang menewaskan tiga panglima kaum muslimin. Kondisi Perang Tabuk berbeda dengan perang sebelumnya. Ketika Perang Tabuk terjadi, Semenanjung Arabia sudah menjadi satu kekuatan utuh dan bersatu padu, serta mempunyai suatu agama yang dibela mati-matian, yaitu Islam.
Kaum muslimin sudah merasa mempunyai kekuatan untuk melawan segenap musuh yang menentang Islam dan kaum muslimin. Sementara itu, Romawi sebagai adikuasa yang menguasai banyak wilayah sekitar Semenanjung Arabia pada waktu itu ingin menghancurkan agama baru itu serta pembawanya, Muhammad SAW.
Heraclius, penguasa Romawi Timur (610–641) ketika itu, menyiapkan bala tentara dalam jumlah besar di Syam dengan perlengkapan yang cukup. Ikut bergabung dengan tentara Romawi ini Bani Lakhm dan Bani Gassan yang juga pernah bersekutu dengan Romawi ketika terjadi Perang Mu’tah.
Untuk menghadapi tentara sekutu Romawi itu Nabi SAW pun menyiapkan laskarnya. Namun mendengar berita kedatangan Nabi SAW dan pasukannya, pasukan Romawi memutuskan mundur kembali ke negerinya untuk menyelamatkan dan mempertahankan diri. Pasukan muslimin tidak mengejar mereka, namun mengadakan perkemahan di Tabuk.
Di tempat ini Nabi SAW mengadakan sejumlah perjanjian dengan penduduk setempat sehingga daerah tapal batas itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam.
Sariyah. Dalam perjalanan sejarah permulaan Islam, telah terjadi banyak sariyah yang dilakukan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Para pakar sejarah Islam berbeda pendapat tentang jumlah sariyah itu. Al-Waqidi menyatakan bahwa sariyah berjumlah 47 kali, sedangkan Mahmud Muhammad Ziyarah menyebutnya 13 kali. Al-Buti tidak menyebut angka.
Menurut Mahmud Muhammad Ziyarah, sariyah tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Sariyah Hamzah bin Abdul Muthalib, merupakan sariyah pertama yang terjadi dalam sejarah Islam. Sariyah ini terjadi pada *Ramadan tahun pertama Hijriah di dataran rendah al-Bahr, tidak jauh dari kota Madinah.
Perang ber langsung antara 30 orang muslimin yang dipimpin Hamzah bin Abdul Muthalib dan 300 orang Quraisy yang dipimpin Abu Jahal bin Hisyam. Dalam sariyah ini tidak terjadi perlawanan fisik antara kedua pihak karena kedua pasukan dilerai oleh Majdi bin Amr.
(2) Sariyah Ubaidah bin Haris, terjadi pada bulan Syawal tahun yang sama. Pihak kaum muslimin yang berjumlah 80 orang (semuanya Muhajirin) dipimpin Ubaidah bin Haris dan kaum Quraisy yang berjumlah sekitar 200 orang dipimpin Abu Sufyan. Sariyah ini terjadi di Abwa’, salah satu desa antara Me-kah dan Madinah.
Dalam sariyah kedua ini juga tidak terjadi pertempuran antara kedua pihak. Namun Sa‘d bin Abi Waqqas sempat melepaskan anak panahnya. Sejarah mencatat inilah anak panah pertama yang dilepaskan dalam Islam.
(3) Sariyah Abdullah bin Jahsy, terjadi di Nakhlah, suatu tempat antara Ta’if dan Mekah, di bawah pimpinan Abdul-lah bin Jahsy. Kafilah Quraisy dipimpin Amr bin Hazrami. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab 2.
Dalam perang ini kaum muslimin sempat memperoleh harta rampasan perang, membunuh Amr bin Hazrami, dan menahan dua orang tawanan perang. Ketika pasukan muslimin sampai di hadapan Rasulullah SAW dengan membawa harta rampasan dan tawanan itu, Rasulullah SAW menyatakan bahwa ia tidak menyuruh mereka untuk melakukan peperangan.
Bulan terjadinya peristiwa itu adalah salah satu bulan yang diha-ramkan untuk melakukan pembunuhan dan peperangan. Abdullah bin Jahsy dan teman-temannya sangat bingung. Teman-teman sejawat mereka dari kalangan muslimin juga menyalahkan tindakan mereka.
Apa yang dilakukan tentara muslimin itu dijadikan dasar bagi kaum Quraisy dan Yahudi untuk menyebarkan fitnah ke segenap penjuru. Mereka mengatakan bahwa Muhammad dan kawan-kawannya telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas harta benda, dan menawan orang.
Ketika itu turun firman Allah SWT surah al-Baqarah (2) ayat 217. Dengan turunnya ayat suci itu hati kaum muslimin menjadi tenteram kembali. Penyelesaian tawanan diserahkan kepada Nabi SAW. Kaum Quraisy berkeinginan menebus kedua tawanan itu.
Namun Nabi SAW terlebih dahulu meminta Sa‘d bin Abi Waqqas dan Utbah bin Gazwan, kedua sahabat yang berada di tangan Quraisy, dikembalikan. Quraisy memenuhi permintaan itu. Salah seorang tawanan itu, Hakam bin Kaisan, masuk Islam dan memilih tinggal di Madinah.
(4) Sariyah Qirdah, terjadi pada bulan Jumadilakhir 3 di sumur Qirdah, suatu tempat yang terletak di wilayah Nejd (Arab Saudi). Sariyah yang melibatkan 100 penunggang kuda ini dipimpin Zaid bin Haritsah dengan tugas utama menghadang kafilah kaum Quraisy Mekah.
Penghadangan itu berhasil dengan baik, karena sebagian dari kaum musyrikin melarikan diri dan meninggalkan harta mereka bersama dengan beberapa orang lainnya. Harta yang mereka tinggalkan yang nilainya sekitar seratus ribu dinar dijadikan ganimah dan ini merupakan ganimah pertama dalam sejarah Islam.
Orang-orang musyrikin yang tidak melarikan diri, termasuk seorang penunjuk jalan, ditawan dan dibawa ke Madinah. Mereka akhirnya menyatakan diri masuk Islam.
(5) Sariyah Bani Asad, terjadi pada 4 H di Qutn, salah satu daerah yang terletak di Gunung Bani Asad, sebelah timur Madinah. Kaum muslimin yang terdiri dari 150 orang dipimpin Abu Salamah al-Makhzum. Mereka menye rang Bani Asad yang sudah bersiap-siap untuk melakukan penyerangan ke Madinah.
Nabi SAW meminta pasukan ini berjalan hanya pada malam hari dan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang agar jejak mereka tidak diketahui. Siasat ini berhasil. Pasukan muslimin dapat menyergap pihak musuh sehingga memperoleh ganimah.
(6) Sariyah Raji’, terjadi pada awal Safar 4 antara kaum mus-limin dan pasukan Bani Hudail di Raji’, suatu tempat antara Mekah dan ‘Asfan. Sebab terjadinya ialah rencana Khalid bin Sufyan bin Nubaih al-Hudali, pemimpin Bani Hudail, yang tinggal di Nakhlah atau Uranah, untuk menyerang Madinah.
Nabi SAW mengutus Abdullah bin Unais untuk meneliti kebenaran berita itu. Abdullah membunuh Khalid dan melaporkan kejadian itu kepada Nabi SAW. Akibat kematian pemimpinnya itu, Bani Lihyan, cabang Bani Hudail, merencanakan balas dendam. Mereka mengirim utusan kepada Nabi SAW untuk meminta Nabi SAW mengirimkan beberapa sahabat untuk mengajarkan agama Islam, dengan alasan di kabilah itu ada beberapa muslim.
Nabi SAW memenuhi permintaan itu dan mengirimkan enam sahabat bersama-sama rombongan utusan itu. Namun di Raji’ mereka disergap pasukan Bani Hudail yang jauh lebih besar. Para sahabat mengadakan perlawanan.
Tiga sahabat terbunuh dan tiga orang lainnya ditawan untuk dibawa ke masyarakat musyrikin Mekah. Para tawanan ini pun akhirnya dibunuh.
(7) Sariyah Bi’ru Ma’unah, terjadi pada bulan yang sama dengan Perang Raji’, antara kaum muslimin dan Bani Amir yang tinggal di daerah bagian timur Madinah. Peristiwa ini bermula ketika Amir bin Malik (Abu Barra’), salah seorang pemimpin Bani Amir yang sebelumnya adalah orang yang selalu menolak masuk Islam jika diajak oleh Rasulullah SAW tetapi tidak memusuhi Islam, diutus Rasulullah SAW bersama al-Munzir bin Amar dari Bani Sa‘idah untuk memimpin 40 orang tentara yang terdiri atas para penghafal Al-Qur’an.
Mereka berjalan hingga Bi’ru Ma’unah, suatu tempat sebelah timur Madinah yang terletak antara daerah Bani Amir dan Bani Salim. Mereka lalu mengutus Haram bin Malhan (salah seo-rang anggota pasukan) untuk menyampaikan surat kepada Amir bin Tufail, pemimpin Bani Amir.
Namun surat itu tidak di pedulikan Amir bin Tufail, Haram pun dibunuhnya. Ketika Bani Amir keluar menemui pasukan Islam, terjadi pertempuran antara kedua pihak. Kaum muslimin menderita kekalahan besar, karena semua anggota gugur, terkecuali Ka‘b bin Zaid al-Ansari.
Abu Barra’ sendiri sangat terpukul akan tindakan pelanggaran Amir bin Tufail atas dirinya. Rabi‘ah, anaknya, lalu membunuh Amir dengan tombak sebagai balasan atas perbuatannya terhadap ayahnya.
(8) Sariyah Ijla’ Bani Nadir, yaitu sariyah yang dilakukan sahabat Nabi SAW untuk mengusir Yahudi Bani Nadir dari tempat tinggal mereka. Tindakan pengusiran ini dilakukan sebagai balasan atas niat jahat mereka untuk membunuh utusan Rasulullah SAW yang datang dalam rangka menye lesaikan perkara dua orang yang telah dibunuh Amr bin Umayah, salah seorang kabilah Bani Amir, sekutu Bani Nadir.
Niat jahat mereka itu dapat diketahui dan digagalkan karena pada waktu yang bersamaan turun wahyu yang memberi-takan hal itu. Tindakan pengusiran ini pada mulanya tidak diindahkan Bani Nadir yang dipimpin Huyay bin Akhtab. Akan tetapi, karena diancam akan diperangi, akhirnya mereka mau meninggalkan daerah mereka.
Nabi SAW memberikan jaminan keamanan atas harta benda, darah, dan anak-anak keturunan mereka sampai mereka keluar dari Madinah. Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan muatan harta benda.
Sebagian dari mereka menetap di Khaibar dan sebagian di Syam (Suriah). Harta kekayaan yang mereka tinggalkan (antara lain hasil bumi, tanah, dan senjata) diambil kaum muslimin sebagai ganimah.
(9) Sariyah Dariyah, terjadi di Dariyah, di sebelah utara Madinah. Sariyah ini dilakukan 30 tentara muslimin di bawah pimpinan Muhammad bin Maslamah melawan pasukan Bani Bakr bin Hilal yang tinggal di Lembah Dariyah. Perang ini mengakibatkan sepuluh tentara musuh tewas.
(10) Sariyah Zi al-Qassah, terjadi antara kaum muslimin dan Bani Sa’labah yang tinggal di Zi al-Qassah, suatu tempat sekitar 24 mil dari Madinah. Pasukan muslimin dikirim un-tuk menyerang Bani Sa’labah yang bersiap-siap melakukan penyerangan terhadap peternakan kaum muslim di Haifa’, sa-ah satu tempat yang jauh dari kota Madinah.
Pasukan pertama berjumlah 10 orang, dipimpin Muhammad bin Maslamah. Ia dan pasukannya gagal melaksanakan tugas, karena semua anggota pasukannya dibunuh ketika sedang beristirahat di pinggiran desa itu. Muhammad bin Maslamah lalu kembali ke Madinah dan melaporkan peristiwa itu kepada Nabi SAW.
Untuk penyerangan selanjutnya Nabi SAW menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah. Ketika Abu Ubaidah sampai di tempat itu, Bani Sa’labah melarikan diri meninggalkan kampung mereka.
(11) Sariyah Zaid bin Haritsah, dilakukan 170 tentara muslimin di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Mereka ditugaskan Rasulullah SAW untuk menghadang sebuah kafilah Quraisy yang datang dari Syam dengan membawa barang da gangan. Kafilah itu berhasil dirampas dan dibawa ke Madinah bersama dengan beberapa orang tawanan.
(12) Sariyah Ka‘b bin Umair al-Gifari, terjadi pada 8 H. Sari-yah ini terjadi sebagai akibat penolakan kaum musyrikin di Zat Atlah, suatu tempat di Syam, terhadap ajakan beberapa utusan Nabi SAW untuk memeluk agama Islam. Karena pe-nolakan itu, Rasulullah SAW mengutus 15 tentara dipimpin Ka‘b bin Umair al-Gifari.
Kedatangan mereka disambut dengan serangan hebat. Dalam pertempuran ini semua tentara muslimin menjadi syuhada, kecuali Ka‘b yang dapat menye lamatkan dirinya.
(13) Perang Mu’tah, merupakan sariyah terakhir yang ter-jadi dalam sejarah Islam. Sariyah ini disebut juga ghazwah, karena Nabi SAW ikut bersama mereka sampai ke Gunung Wida’, di sebelah utara Madinah.
Sariyah ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari Perang Ka‘b bin Umair al-Gifari yang gagal melaksanakan tugasnya dan sebagai akibat terbunuhnya Haris bin Umair al-Azadi, utusan yang dikirim Rasulullah SAW untuk menyampaikan surat ajakan kepada Raja Gassan di Syam untuk memeluk Islam.
Untuk melakukan pembalasan terhadap perlakuan keji terhadap kaum musli min tersebut, Rasulullah SAW mengirim tiga ribu tentara di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah pada bulan Jumadilawal
8. Mereka diperintahkan untuk menuju Mu’tah (Ma’an), sa-lah satu tempat dalam wilayah Syam di utara Semenanjung Arabia. Tugas utama yang dibebankan kepada mereka ialah mengajak penduduk di sana untuk memeluk Islam. Jika mereka menentang ajakan itu, mereka diperbolehkan untuk mengangkat pedang.
Penguasa Heraclius di Syam segera mempersiapkan pasukannya begitu mendengar berita kedatangan pasukan muslimin. Ketika sampai di Mu’tah, kaum muslimin mendengar bahwa mereka akan meng hadapi musuh yang cukup banyak jumlahnya. Di tempat itu mereka mengadakan musyawarah untuk mengatur strategi peperangan.
Atas usul Abdullah bin Rawahah, salah seorang pemimpin pasukan Islam, mereka menyiapkan penyerangan. Ketika sampai di Balqa’, di sebelah selatan Laut Mati, mereka bertemu dengan sejumlah besar tentara musuh yang jum lahnya jauh lebih banyak dari yang mereka perkirakan sebel-umnya (ahli sejarah mencatat pasukan musuh berjumlah antara seratus hingga dua ratus ribu).
Di sini terjadi pertempuran hebat. Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin pasukan gugur. Panji peperangan kemudian dialihkan kepada Ja‘far bin Abi Thalib. Dalam penyerangan ini pun Ja‘far gugur. Posisi panglima perang dialihkan kepada Abdullah bin Rawahah. Abdullah juga gugur sebagai syuhada.
Untuk menyusun dan memimpin penyerangan baru, kaum muslimin sepakat un-tuk mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Akan tetapi, melihat kondisi yang demikian, Khalid bin Walid memutuskan untuk tidak melanjutkan peperangan, tetapi mundur dan kembali ke Madinah. Sikap Khalid yang demiki-an itu mendapat pujian dan dukungan dari Rasulullah SAW.
Daftar Pustaka
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Fiqh as-Sirah. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991.
Duwaidar, Amin. Suwar min sayah ar-Rasul. Cairo: Darul Ma’arif, 1968.
Ghanim, Abdul Aziz. Muhammad Bain al-harb wa as-SalÎm. Cairo: Departemen Wakaf, 1989
Haekal, Muhammad Husain. sayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987.
Ziyarah, Mahmud Muhammad. DirÎsÎt fÓ at-TÎrÓkh al-IslÎmÓ. Cairo: Matba‘ah Dar at-Ta’lif, 1968–1969.
A. Thib Raya