Gasab

(Ar.: al-gasb)

Mengambil sesuatu secara lalim atau secara paksa dengan terang-terangan disebut gasab. Gasab merupakan salah satu pelanggaran terhadap hak milik orang lain dan diharamkan oleh Islam.

Definisi gasab yang dikemukakan ulama pada prinsip­ nya tidak jauh berbeda. Mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai mengambil harta­ orang lain yang halal tanpa izin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya.

Ulama Mazhab Maliki mendefi­nisikannya sebagai mengam­­ bil harta orang lain secara paksa dan senga­ja, bukan dalam arti merampok. Sementara ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali mendefinisi­­kannya sebagai penguasaan­ terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.

Dari perbedaan definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas terlihat bahwa bagi Mazhab Hanafi (selain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Zufar bin Hudail), gasab itu harus bersifat pemin­dahan hak milik seseorang menjadi milik orang yang menggasab (mengambilnya tanpa izin).

Menurut­ Imam Hanafi dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, tidak dinamakan gasab jika sifatnya tidak merupakan pemin­ dahan hak milik. Sementara itu, jumhur ulama berpendapat­ bahwa menguasai milik orang lain saja sudah termasuk gasab, apalagi bersifat pemin­dah­an hak milik. Akibat dari perbeda­an definisi ini akan terlihat pada tiga hal sebagai berikut.

Pertama, pada jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)­. Menurut Imam Hanafi dan Abu Yusuf, pada benda-benda­ tidak bergerak (seperti­ rumah dan tanah) tidak mungkin terjadi gasab, karena pemilikan harta tersebut ti­dak mung­kin dilakukan dengan memindah­kannya.

Oleh se­bab itu, menurut mereka, gasab hanya akan terjadi pada harta (benda) yang bergerak. Menurut jumhur (mayoritas) ulama, sesuai dengan definisi mereka, gasab bisa terjadi pada benda bergerak dan benda tidak bergerak, karena yang penting adalah si­fat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-wenang dan secara paksa.

Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya, baik secara materi maupun manfaat.

Kedua, hasil dari benda yang di­ambil tanpa izin. Menurut Imam Hanafi dan AbuYusuf, hasil dari benda yang digasab tersebut, seperti­ buah dari pohon yang di­gasab atau anak dan susu dari hewan yang digasab, hanya merupakan amanah yang harus dikembalikan kepada pemilik barang tersebut.

Akan tetapi jika orang yang meng­ambil tanpa izin ini membinasakan atau mela­kukan kesewenang-wenangan terhadap hasil barang tersebut, ia dikenakan­ denda. Jumhur ulama mengatakan­ bahwa jika penggasab­ menghabiskan atau mengurangi­ hasil barang yang digasabnya, ia dikenakan­ denda.

Ketiga, manfaat benda yang digasab­. Menurut Mazhab Hanafi, manfaat barang yang digasab tidak termasuk sesuatu yang digasab, karena manfaat tidak termasuk dalam definisi harta­ bagi mereka. Dengan demikian jika benda yang digasab tersebut adalah kendaraan, lalu ia perguna­kan,­ menurut­ Mazhab Hanafi tidak dikenakan­ denda. Akan tetapi menurut jumhur ulama manfaat tersebut termasuk dalam­ definisi harta. Oleh sebab itu dikenakan­ denda jika barang yang digasab digunakan orang yang menggasabnya­.

Dari definisi yang dikemukakan ulama di atas terlihat dengan jelas bahwa gasab tersebut tidak­ sama dengan pencurian, karena pencurian dila­kukan­ secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui­ orang, sedangkan gasab dilakukan­ secara teran­g-terangan dan sewenang-wenang.

Bahkan gasab sering diartikan sebagai menggunakan­ atau memanfaatkan harta orang lain tanpa seizin pemi­liknya, dengan tidak bermaksud untuk memiliki­nya­. Misalnya, A menggunakan sajadah­ B untuk salat tanpa izin, setelah itu dikembalikan lagi ke tempat semula.

Sekalipun tujuan­nya adalah baik, tetapi karena memanfaatkan barang orang lain tan­pa izin, perbuatan tersebut­ termasuk perbuatan yang tercela dalam Islam. Di samping itu gasab juga berbeda­ dengan perampokan, karena biasanya perampokan­ dilakukan dengan cara paksa,­ dan dengan ancaman senjata.

Dasar hukum haramnya perbuatan gasab ini terdapat pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 29 yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” dan surah al-Baqarah (2) ayat 188 yang berarti: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil….”

Kedua ayat Al-Qur’an tersebut­ melarang seseorang memakan atau memanfaat­kan­ harta orang lain tanpa izin. Selain itu Nabi Muhammad SAW bersabda, “Darah dan harta seseorang­ haram bagi orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah); “Harta seorang muslim haram dipergunakan­ oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya”­ (HR. Daruqutni dari Anas bin Malik); dan “Orang yang mengambil harta orang lain berke­wajiban untuk mengembalikan kepada pemiliknya” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Sa‘id bin Zaid).

Pelaku gasab menurut Islam dikenakan tiga hukuman­. Pertama, ia berdosa jika ia mengetahui bahwa­ barang yang diambilnya tersebut milik orang lain; kedua, jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya; dan ketiga, apabila barang tersebut telah hi­lang/rusak karena dimanfaatkan, maka­ ia dikenakan denda.

Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, denda yang dikenakan kepada orang yang mengambil barang tersebut melalui­ gasab adalah sesuai dengan jenis barang itu. Apabila jenis barang yang sama tidak ada, dikenakan denda seharga benda tersebut ketika gasab dilakukan.

Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, dikenakan denda sesuai dengan harga yang tertinggi sejak gasab dilakukan sampai penentuan denda­. Sementara ulama Mazhab Hanbali berpendapat­ bahwa harga yang dijadikan patokan adalah harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran­.

Terdapat perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya. Menurut ulama Mazhab Hanafi, orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melaku­ kannya sampai ia membayar denda.

Akibat dari pandangan ini, jika benda tersebut telah ditransaksikan sebelum dibayar dendanya, tindakan hukumnya ini dianggap sah. Umpamanya jika barang yang digasab itu disem­bunyi­kannya­ sehingga ia dikenakan denda. Jika ia telah membayar­ denda, menurut ulama Mazhab Hanafi, barang tersebut menjadi miliknya dan ia bebas bertindak hukum dengan barang tersebut.

Menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, orang yang menggasab barang tidak berhak­ atas barang itu, sekalipun ia telah melunasi dendanya. Oleh sebab itu, segala tindakan hukum yang dilakukannya terhadap benda tersebut hukumnya­ adalah haram, karena benda tersebut bukan miliknya­. Dia tidak boleh menjual, menye­wakan atau menghibahkannya.

Sementara ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa orang yang menggasab­ tersebut tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh. Tetapi jika telah rusak, se­telah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.

Apabila yang digasab berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah di atasnya, atau tanah itu di­jadikan lahan pertanian, jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembali­kan­. Rumah dan tanaman yang ada di atasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang digasab. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW,

“Jerih payah yang dilakukan dengan­ cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) terse­but” (HR. Daruqutni dan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair).

Daftar Pustaka

al-Buga, Mustafa. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Dar al-Mustaqbal li at-Tiba‘ah, 1981.
Departemen Agama RI. Ilmu Fiqh. Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1983.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ali Mazhahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. Fiqh al-Mu‘awadah. Damascus: Matabi’ Mu’asasah al-Wahdah, 1981.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. Madkhal ila al-Fiqh al-‘Ïmm: al-Fiqh al-Islami fi Saubih al-Jadid. Beirut: Dar al-Fikr, 1967.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islam8 wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.

Nasrun Haroen