Garizah

(Ar.: al-garizah)

Dari segi bahasa, al-garizah berarti “naluri” atau “insting”. Adapun menurut­ istilah, al-garizah berarti “do­rongan hati atau nafsu bawaan lahir”; “pola tingkah laku turun-temurun”;­ dan “pembawaan­ alami yang secara tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu”.

Penjelasan tentang garizah banyak dijumpai dalam­ pembahasan mengenai jiwa manusia. Menurut Muzayyin Arifin,­ pakar ilmu pendidikan, garizah merupakan salah satu bagian dari fitrah (potensi dasar) yang dimiliki manusia. Menurutnya, garizah adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku tanpa melalui proses belajar dan merupakan pembawaan sejak lahir.

Menurut Jamil Shaliba, seorang ahli filsafat, garizah­ adalah suatu kemampuan atau daya kehi­dupan­ yang bersifat­ dasar yang diberikan kepada manusia­ agar timbul semangat pada dirinya untuk be­kerja memelihara kelangsungan­ hidupnya. Terma­suk­ pula ke dalam ruang lingkup garizah ini adalah daya untuk mencegah­ segala sesuatu yang dapat merusak dan mengancam­ keselamatan jiwa sese­orang. Daya ini berbeda-beda kualitasnya pada setiap­ orang.

Menurut Shaliba, garizah (jamak: al-gara’iz) terba­gi atas dua tingkatan. Pertama, gara’iz awwaliyyah atau naluri primer, yakni kemampuan pokok yang bersifat dasar yang mendorong timbulnya­ semangat­ untuk hidup yang sesuai dengan pertumbuhannya­ yang alami. Kedua, gara’iz Tsanawiyyah atau naluri sekunder, yakni kemampuan yang tumbuh karena melakukan pekerjaan yang dike­hendaki yang selanjutnya berhubungan dengan perasaan.

Sebagian filsuf  mengatakan bahwa antara garizah­ dan akal terdapat potensi rohani yang mendorong­ seseorang untuk berbuat dan berpikir­. Namun­ ruang gerak dari kedua unsur tersebut berbeda­-beda.

Garizah berhubungan khusus dengan pekerjaan yang terkait dengan kelangsungan hidup, yakni berkaitan dengan pembentukan alat-alat anggota tu-buh dan peranannya serta tidak memerlukan­ latihan dan pen-didikan. Adapun akal adalah pekerjaan di luar anggota tubuh dan dalam melakukan perannya membutuhkan­ pendidikan. Menurut Muzayyin Arifin, garizah ada 12 ma­cam, yaitu:

(1)   perasaan­ takut; (2) menolak sesuatu yang kotor atau menjijikan; (3) ingin mengetahui sesuatu yang me­nakjubkan; (4)  membela diri jika mendapat serangan; (5) merendahkan diri, karena perasaan mengab­di; (6) menonjolkan diri, karena harga diri atau manja; (7) kasih sayang, karena ada perasaan halus budi; (8) berhubungan seksual, ka­rena keinginan mengadakan reproduksi; (9) berkum­pul,­ karena keinginan mendapatkan sesuatu yang baru; (10) mencari sesuatu, ka-rena merasa kekurangan;­ (11) membangun sesuatu, karena ingin mendapatkan­ kemajuan; dan (12) menarik perhatian orang lain, karena ingin diperhatikan orang lain.

Sementara itu, Ahmad Amin, seorang pakar di bidang etika, dalam bukunya al-Akhlaq (Ilmu Akhlak) mengakui adanya macam-macam garizah atau naluri tersebut. Namun yang terpenting menurutnya­ ada tiga.

(1)  Naluri menjaga diri pribadi. Perasaan ini menurutnya terdapat pada semua makhluk hidup. Misalnya, sejak lahir semua hewan selalu berusaha untuk mempertahankan diri, yakni dengan berusaha mendapatkan makanan, meloloskan­ diri dari musuh, dan sebagainya.

Selanjutnya ia menam­ bahkan bahwa hewan berusaha untuk dapat hidup dalam lingkungannya,­ walaupun­ lingkungannya­ buruk, dan beru-saha menyesuaikan­ diri agar cocok dengan lingkungannya. Menurut­nya, naluri ini memenuhi segala makhluk yang berada di muka bumi. Mereka semua hidup, karena mereka ingin hidup menurut nalurinya.

(2)  Naluri menjaga jenis. Menurutnya, naluri atau insting ini termasuk yang paling kuat dan yang paling banyak tampak dalam kehidupan. Bukti dari naluri ini terlihat dalam percumbuan antara dua jenis makhluk yang berbeda kelamin.

Lebih lanjut Ahmad Amin mengatakan bahwa naluri ini merupakan sumber dari kelakuan manusia. Misalnya,­ kebanyakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pemuda adalah karena ingin memenuhi naluri mencintai lawan jenisnya. Jika naluri ini diatur­ dengan sebaik-baiknya tentu akan menjadi sumber­ kebahagiaan. Sebaliknya, kalau tidak diatur­ akan menimbulkan kesengsaraan.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa naluri ini terkadang amat kuat do­rongannya, sehingga melemahkan naluri menjaga­ pribadinya­. Untuk ini ia mencontohkan tentang adanya orang yang dalam kehidupannya mengesampingkan kesenangan­ dirinya karena ingin memberikan kasih sayang­ kepada yang lain.

(3) Naluri takut. Naluri ini tumbuh sejak masa kanak-kanak hingga seseorang­ meninggal. Naluri ini menye­babkan manusia takut pada dirinya, hak miliknya, dari kawannya,­ dari khayalnya sendiri, dari kemiskinan, dan karena umur panjang serta datangnya kematian. Untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan manusia, diperlukan­ rasa takut yang sedang, bukan yang berlebihan­.

Di luar ketiga macam naluri tersebut, Ahmad Amin me­ nambahkan naluri-naluri yang lain, se­perti naluri memiliki,­ ingin mengetahui,­ suka bergaul,­ dan sebagainya. Mahmud Syaltut (ulama dan pemikir Islam dari Mesir) dalam bukunya Min Hady Al-Qur’an (Dari Petunjuk Al-Qur’an) mengata­kan­ bahwa agar berbagai keinginan tersebut tidak saling bertabrakan dan tidak me­nim­bulkan bencana, agama menga-turnya melalui syariat,­ seperti syariat pernikahan, syariat jual beli, dan lain sebagainya.

Abdul al-Qusi Aziz al-Qusi, seorang pakar ilmu jiwa dari Mesir, mengatakan bahwa naluri yang ada pada manu­sia senantiasa mengalami perkem­bangan­ dari waktu ke waktu, karena manusia memiliki akal pikiran yang dapat dididik. Ia mencontohkan naluri membuat tempat ting­gal pada manusia yang berkembang dari masa ke masa.

Dahulu orang membuat tempat tinggal untuk melindungi diri di goa di gunung-gunung. Kini orang berdiam di gedung-gedung pencakar langit yang didukung teknologi yang maju, sehingga menimbulkan ke­nyamanan dan kenikmatan. Hal ini berbeda de­ngan insting membuat rumah pada binatang yang dari sejak dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan.

Daftar Pustaka

Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaˆ Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak), terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Arifin, Muzayyin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Bucaille, Maurice. Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an, Sains, terj. Bandung: Mizan, 1986.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Qusy, Abdul Aziz. Ilmu Jiwa, Prinsip-Prinsip dan Implementasinya dalam Pendidikan, terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 1979.
Umarie, Barmawie. Materi Akhlak. Yogyakarta: Ramadhan, 1978.

Abuddin Nata