Secara harfiah ganimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu usaha. Menurut istilah berarti harta yang diambil dari musuh Islam dengan cara perang dan kekerasan. Bentuk harta rampasan yang diambil tersebut bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, dan tawanan perang.
Dilihat dari sejarah perang, kebiasaan mendapatkan harta rampasan perang dari musuh yang dikalahkan telah dikenal sejak zaman sebelum Islam. Hasil peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan kepada pasukan yang ikut perang tersebut, denganbagian terbesar untuk pemimpin. Setelah datangnya Islam, ganimah tetap berlanjut, namun pembagiannya diatur secara jelas tanpa ada yang harus diistimewakan.
Keabsahan mengambil ganimah dari musuh yang dikalahkan dapat dilihat dalam firman Allah SWT pada surah al-Anfal (8) ayat 41 dan 69. Surah al-Anfal (8) ayat 41 secara jelas memuat siapa saja yang akan mendapatkan ganimah tersebut. Ayat tersebut mempunyai arti:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil (orang-orang yang terlantar di perjalanan), jika kamu beriman kepa-da Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)….”
Dengan demikian, yang dibagi-bagikan kepada para pasukan yang ikut berperang adalah empat perlima harta. Seperlima bagian lainnya dibagi kepada pihak-pihak yang dicantumkan Allah SWT dalam ayat di atas. Adapun surah al-Anfal (8) ayat 69 berarti: “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah….”
Hukum halalnya mengambil harta melalui jalan perang ini juga terdapat dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah,
“Allah memberi saya lima hal, yang nabi-nabi sebelum saya tidak mendapatkannya:…dijadikan bagiku bumi ini sebagai tempat sujud dan suci, maka di mana saja seseorang dari umatku dipanggil salat, maka salatlah; dan dihalalkan bagi saya ganimah, sementara bagi umat sebelumku tidak dihalalkan….”
Ganimah pertama yang diperoleh umat Islam melalui peperangan adalah ganimah Perang Badar. Dalam peperangan tersebut umat Islam meraih kemenangan besar, sekaligus merasakan manisnya perang tersebut setelah mereka mendapat ganimah.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ditetapkan bahwa jenis harta yang boleh diambil pasukan Islam yang telah me-menangkan peperangan adalah harta bergerak saja, karena harta bergerak inilah yang sesuai dengan ‘urf (kebiasaan). Penegasan Umar untuk hanya mengambil harta yang bergerak terlihat dari kandungan suratnya kepada Sa‘d bin Abi Waqqas (panglima perangnya dalam menaklukkan Irak).
Dalam surat tersebut Umar secara tegas menginstruksikan agar ganimah yang diambil hanya yang berupa harta bergerak, tidak ter-masuk tanah mereka. Dalam kaitan ini ucapan Umar yang sangat terkenal adalah: “Kalau seluruh harta dan kekayaan mereka (bergerak atau tidak bergerak) diambil, lalu dengan apa mereka hidup?”
Ada istilah lain yang hampir berdekatan artinya dengan harta rampasan perang, yaitu al-fai’. Dari segi bahasa, fai’ berarti kembali, sedangkan menurut istilah, fai’ berarti harta yang diambil oleh umat Islam dari musuh mereka tidak den-gan cara perang (kekerasan).
Keabsahan pengambilan fai’ ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Hasyr (59) ayat 6–10. Ayat tersebut menjelaskan bahwa harta tersebut diperuntukkan dalam rangka memotivasi manusia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Tatkala orang kafir tidak mempergunakan harta tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT, maka Allah SWT menyatakan bahwa harta yang didapat dari orang kafir dan tidak melalui perang tersebut dikembalikan kepada kaum muslimin agar mereka dapat lebih mengabdi kepada-Nya.
Oleh karena itu harta tersebut dinamakan fai’, yakni kembali menjadi milik orang beriman atas izin Allah SWT. Fai’ juga dibagi lima, sebagaimana yang berlaku terhadap ganimah. Pembagian untuk Allah SWT dan Nabi SAW yang ada pada ganimah atau fai’ dipergunakan untuk kemaslahatan umum. Hal ini dapat dilihat dalam sabda Nabi SAW,
“Hak saya dari harta fai’ itu menurut ketentuan Allah adalah seperlima, dan itupun dikembalikan kepada (kemaslahatan)-mu” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ahmad).
Walaupun demikian, Nabi SAW juga berhak mempergunakan sendiri bagian tersebut. Permasalahan timbul tentang siapa yang akan menerima harta tersebut jika Nabi SAW telah meninggal dunia. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa bagian Nabi SAW dipergunakan untuk kemaslahatan umum, seperti untuk memenuhi kebutuhan tentara dan pembangu-nan benteng pertahanan.
Menurut Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi), bagian Nabi SAW itu gugur denganwafatnya Nabi SAW. Dengan demikian, harta hanya dibagi sesuai dengan orang yang terdapat dalam ayat, di luar Allah SWT dan Nabi SAW. Namun ada juga yang mengatakan bahwa hak Nabi SAW ini diwarisi ahli warisnya. Pendapat lain mengatakan bahwa bagian Nabi SAW menjadi hak kepala negara yang menggantikannya.
Daftar Pustaka
Ibnu Taimiyah. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra’i wa ar-Ra‘yah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah. Cairo al-Babi al-Halabi, 1973.
Nu’mani, Syibli. al‑Farouq, Life of Omar The Great, Second Caliph of Islam. Lahore: Muhammad Ashraf, 1976.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
az-Zuhaili, Wahbah, atsar al-harb fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Muqaranah. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Nasrun Haroen