Gaib

(Ar.: al-gaib)

Gaib berasal dari bahasa Arab al-gaibah atau al-gaib. Bentuk jamaknya al-guyub berarti “yang tersembunyi”, “yang tidak tampak”, atau “yang tidak terlihat oleh pandangan mata”. Lawan katanya al-hasrah berarti “yang hadir atau yang ada”.

Istilah ini dipakai dalam Islam untuk dua pengertian, yaitu: (1) segala sesuatu yang abstrak (tidak terlihat oleh mata kepala) dan (2) keadaan tidak hadir pada suatu peris­tiwa di suatu tempat atau berada di tempat yang jauh dari peristiwa.

Pengertian pertama dipakai sebagai salah satu istilah dalam teologi. Dalam hal ini, gaib dapat pula dibagi menjadi dua bentuk­. Pertama, gaib haqiqi (gaib hakiki), yaitu sesuatu yang abstrak, yang mustahil­ dapat diindra, baik pada waktu lampau, sekarang,­ maupun akan datang. Yang dipandang sebagai­ gaib hakiki ialah Allah SWT.

Kedua, gaib isafi (gaib relatif), yakni sesuatu yang abstrak, yang pada suatu saat mungkin akan dapat dibuktikan. Semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi se­makin banyak pula hal-hal, yang sebelumnya di­pandang alam gaib, berubah menjadi alam nyata.

Pengertian kedua dipakai sebagai salah satu isti­lah dalam fikih. Pengertian tersebut dapat dilihat pada pemakaian­ kata “gaib” misalnya pada salat gaib dan wali gaib. Salat gaib ialah salat yang dilakukan­ atas seseorang yang wafat di suatu tempat (negeri), baik jauh ataupun dekat dari tempat orang yang melaksanakan salat, dan mayatnya tidak ada di tempat (di hadapan) orang yang menyalatkan.

Pengertian gaib pada salat gaib ialah “keadaan tidak hadir di tempat kejadian”. Pengertian itu yang dimaksud dengan istilah gaib pada salat gaib dan pada fikih Islam umumnya.

Pengertian demikian bertambah jelas apabila dilihat pada pengertian gaib yang terdapat pada nikah yang dilakukan karena wali gaib. Salah satu syarat nikah ialah adanya wali dari calon mempelai wanita­. Wali tersebut ada yang dekat (dalam pertalian darah) dan ada yang jauh. Jika wali yang dekat ini gaib, ada tiga pendapat ulama tentang apakah ke­ kuasaan wali berpindah kepada wali yang jauh atau kepada wali hakim.

Pendapat pertama ialah pendapat Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali­. Menurut kedua mazhab ini, apabila wali dekat gaib sedangkan ia tidak mewakilkan untuk mengawinkan anak wanitanya, kekuasaan wali berpindah kepada wali yang jauh, sesuai dengan urutan perwalian­. Ini didasar­kan­ pada hadis Nabi SAW, “Sultan (penguasa) adalah­ wali orang yang tidak mempunyai wali” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah).

Jadi, apabila wali yang dekat gaib, sedangkan­ calon pengantin­ laki-laki (peminang) tidak­ bersedia menantikan kehadiran wali yang dekat­ itu, berpindahlah hak dan kekuasaan wali kepada wali yang berada di bawah urutan wali dekat­ itu. Misalnya, jika ayah gaib, berpin­dah­lah kekuasaan­nya kepada wali yang di bawahnya, yaitu kakek, dan seterusnya, sesuai dengan urutan perwalian. Dalam hal ini, kekuasaan wali bukan pindah kepada penguasa atau pejabat yang ditunjuk, karena walinya­ masih ada, yaitu wali yang jauh.

Bertolak dari pandangan demikian, apa­bila wali dekat gaib, maka ia tidak dapat menolak keabsahan­ nikah yang telah dilakukan wali jauh. Dengan demikian, apabila wali dekat hadir setelah perkaw­inan­ dilaksanakan, maka ia tidak dapat menolak ke­absahan pernikahan tersebut dan tidak dapat pula mengingkari perpindahan hak serta kekuasaan wali.

Pendapat kedua ialah pendapat yang berkembang­ dalam Mazhab Syafi‘i. Bagi mazhab ini, jika wali dekat gaib sejauh dua marhalah (sekitar perjalanan sehari semalam), sedangkan ia tidak mewakilkan untuk mengawinkan anak wanitanya, pindahlah hak dan kekuasaannya kepada penguasa­ (wali hakim) di tempat tinggal anak tersebut, bukan kepada wali yang jauh, karena hak mengawin­kan­ anak adalah hak ayah satu-satunya.

Apabila ayah telah tiada barulah berpindah hak dan kekuasaannya kepada wali yang lain, sesuai dengan urutan perwalian. Karena itu, apabila­ wali jauh menikahkan­ seorang wanita, kemudian wali dekatnya datang setelah pernikahan itu dilaksanakan, pernikahan itu batal, karena perpindahan hak perwalian dari yang dekat ke yang jauh hanya berlaku ketika wali dekat sudah meninggal dunia.

Pendapat ketiga ialah pendapat Mazhab Maliki. Bagi Mazhab Maliki ada beberapa kriteria kegaiban wali.

(1) Apabila yang gaib itu wali mujbir, yakni ayah dan yang diwasiat-kannya. Dalam hal ini, terdapat pula dua kriteria kegaiban. Pertama, gaibnya­ adalah gaib yang dekat, yakni sekitar perjalanan­ 10 hari, sedangkan nafkah untuk anak wanitanya itu tetap dibayarnya dan sarana jalan pun aman. Dalam hal ini anak wanitanya tidak boleh dikawin­kan­ oleh orang lain selain dirinya sendiri.

Kedua,­ gaibnya adalah gaib yang jauh, yakni sekitar tiga bulan. Dalam hal ini, jika kepergiannya­ itu masih diharap bisa pulang, maka ditunggu kepulangan­nya­ dan ia sendiri yang mengawinkan anaknya­. Tetapi jika tidak ada lagi harapan ia akan kembali, anak wanitanya dikawinkan oleh wali hakim.

(2) Apabila yang gaib itu wali yang bukan wali mujbir dan gaibnya dekat, yakni tiga hari atau kurang. Dalam hal ini, ia harus dipanggil pulang dan mengawinkan calon pengantin, jika antara kedua­nya­ setara (kafa’ah). Akan tetapi, jika dia tidak pulang dan calon pengantin tidak setara, keduanya­ dikawinkan oleh wali hakim.

Adapun jika gaibnya wali adalah gaib yang jauh, yakni lebih dari tiga hari, wali hakim harus memanggil­nya­ pulang untuk mengawinkan si wanita. Jika ia tidak pulang dan tidak mewakilkan kepada orang lain untuk mengawinkan wanita tersebut, maka wali hakim­ bertindak untuk mengawinkannya.

Jadi, yang dimaksud dengan wali gaib dalam masalah pernikahan ini ialah “wali yang tidak hadir di tempat kedua calon mempelai melakukan perkawinan”. Dari pengertian tersebut dapat diambil­ kesimpulan bahwa pengertian gaib ialah “tidak hadir di tempat kejadian suatu peristiwa”­.

Pengertian gaib dalam fikih dapat pula dilihat pada ketidakhadi­ran terdakwa dalam suatu perkara­ di peng­adilan. Dalam hal ini, Imam *Hanafi berpendapat bahwa hakim tidak boleh memutuskan­ perkara­ dalam suatu kasus, baik perdata ataupun­ pidana, jika terdakwa tidak hadir (gaib), kecuali­ jika perkara itu dihadiri oleh wakilnya,­ atau pengganti wali. Pen-dapat ini didasarkan atas sabda Nabi SAW ketika ia mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman,

“Janganlah engkau memutus perkara­ terhadap salah seorang dari dua orang yang bersengketa, sehingga engkau mendengar ucapan (bantahan)­ yang lain”  (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ibnu Hibban).

Berlainan dengan pendapat di atas, dalam Mazhab Ma-liki, Syafi‘i, Hanbali, dan Zahiri, hakim­ boleh memutuskan­ perkara atas terdakwa yang tidak hadir (gaib) dan gaibnya jauh, dengan syarat adanya bukti dari penggugat. Pendapat ini didasarkan­ atas peristiwa Hindun, istri Abu Sufyan, yang mengadu kepada Nabi Muhammad SAW perihal suami­nya yang kikir sehingga tidak memberi uang belanja kepada dia dan anaknya.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ambillah (belanja) secukupnya­ untukmu dan anakmu secara baik” (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, pernah pula memu­tuskan­ perkara yang tidak dihadiri terdakwa.

Menurut Mazhab Syafi‘i, ada dua pendapat tentang “gaib yang jauh” di atas. Pertama, satu malam perjalanan atau lebih setelah pengumuman pengadilan, jika terdakwa berangkat pada malam itu ia belum sampai pada pagi harinya­. Kedua, sejauh perjalanan qasar atau lebih, yakni sehari semalam atau lebih.

Jika terdakwa hadir di lokasi pengadilan atau sekitarnya, sedangkan­ dia tidak mendengar dakwaan­ atas dirinya, hakim tidak dapat memutuskan­ perkara karena ketidakhadirannya­ itu. Jika ia mendengar, tetapi menyembunyikan­ diri atau sukar baginya untuk hadir, sedangkan hakim atau penguasa tidak dapat menghadirkannya,­ hakim dapat memutuskan perkaranya.

Hal di atas hanya berlaku sejauh perkara itu dalam ling­kup perkara­ perdata yang menyangkut hak manusia. Tetapi jika dalam lingkup perkara pidana murni yang menyangkut hak Allah SWT, hakim tidak dapat memutuskan­ perkara jika terdakwa gaib.

Dalam Al-Qur’an, kata-kata al-gaib dapat ditemukan­ pada sekitar 50 ayat yang tersebar dalam berbagai surah. Di antaranya disebutkan bahwa al-gaib merupakan kebalikan dari kata asy-syahadah. Keduanya sering kali ditempatkan bergandengan, seperti yang terdapat pada surah al-An‘am (6) ayat 73 dan surah az-Zumar (39) ayat 46. Muhammad­ Husin Thabathaba’i (ahli tafsir) mengatakan,­ kata al-gaib pada se-bagian besar ayat diartikan dengan al-batin (batin) dan kata asy-syahadah diartikan dengan az-Zahir (lahir).

Para ahli tasawuf memiliki pemahaman dan pengalaman­ secara khusus tentang gaibah. Peng­alamannya ini tidak dimiliki manusia pada umumnya. Dengan kemampuannya­ yang disebut qalb (kalbu) dan sirr (bagian dalam dari kalbu), para sufi pada suatu waktu dapat mengetahui­ bahkan­ melihat hal-hal yang gaib, seperti melihat Tuhannya.

Dengan qalb mereka dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan, dan dengan sirr mereka dapat melihat Tuhan melalui mata hatinya. Pengetahuan ini dalam ilmu tasawuf disebut makrifat (menge­tahui Tuhan dengan mata hati yang dipancarkan langsung oleh Tuhan sendiri ke dalam hati sanubari manusia).

Dengan pengetahuan makrifat, bagi ka­langan­ sufi sesuatu yang tergolong gaib mutlak bisa menjadi tidak mutlak lagi. Gaib mutlak benar-benar tidak bisa dijangkau pancaindra manusia, tidak terlintas atau tergambarkan dalam pikiran, dan tidak ada di alam ini. Yang termasuk gaib mutlak adalah masalah yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, alam akhirat, dan hari pembalasan.

Pengetahuan manusia dalam soal ini terbatas pada sesuatu yang dijelaskan­ oleh nas semata. Gaib ini disebut juga dengan gaibah al-maknun dan gaibah al-mashun. Gaibah al-maknun berarti sesuatu yang tersembunyi­ dari pantauan pancaindra dan akal pikiran ma­nusia. Gaibah al-mashun berarti yang terpelihara dari perubahan akan kegaibannya, yang tidak diketahui siapa pun, kecuali oleh Zat-Nya sendiri. Selain gaib mutlak, ada gaib nisbi, yakni gaib yang sifatnya sementa­ra;­ suatu saat ma­nusia dapat melihat atau mengetahuinya dan pada saat lain tidak dapat melihat atau mengetahuinya.

Istilah gaib juga dikenal oleh kalangan Syiah. Dalam salah satu ajaran dasar Syiah, terdapat kon­sep gaibah sugra dan gaibah kubra. Gaibah Shugra (periode gaib kecil) adalah masa gaibnya imam terakhir Syiah, Muhammad al-Mahdi (Imam Mahdi) sampai ditunjuknya empat orang wakil sebagai penghubung­ antara ia dan para penganut Syiah, yaitu Usman bin Said al-Amri, Muhammad bin Usman al-Amri, Abu Qasim al-Husain bin Ruh an-Naubakhti, dan Ali bin Muhammad as-Samri. Periode gaib kecil ini berlangsung­ selama 69 tahun (260 H/874 M–329 H/941 M).

Adapun gaibah kubra adalah masa setelah Ali bin Muhammad as-Samri sampai datangnya­ Imam Mahdi pada akhir zaman. Kalangan Syiah juga menyebut Imam Mahdi sebagai al-Imam al-Muntazar (imam yang dinanti-nanti).

Daftar Pustaka

Basalamah, Yahya Saleh. al-Insan wa al-Gaib. Beirut: t.p., t.t.
Fattah, Afif Abdul. Ruhad-Din al-Islami. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyin, 1985.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Beirut: Dar al-Kitab al-Islami. t.t.
Ibnu Manzur. Lian al-‘Arab. Beirut: Dar as-Sadir, t.t.
Ibnu Rusyd. BidÎyah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981 M.
al-Jurjani, Ali bin Muhammad. Kitab at-Ta‘rifat. Jiddah: al-Haramain, t.t.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah ash-sufiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1966.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut:Mu’asasah al-‘Alami li at-Tiba‘ah, 1983.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1985.

Yunasril A