Furuk

(Ar.: al-furu‘)

Dalam ilmu usul fikih, furuk berarti hukum keagamaan yang tidak pokok tetapi berdasar pada hukum dasar. Furuk tidak selalu diuraikan secara tegas dan terperinci. Syariat membuka pintu ijtihad bagi ulama untuk menyelesaikan persoalan furuk sehingga Islam tetap berlaku sesuai dengan tuntutan zaman dan masyarakat.

Secara kebahasaan furu‘ berarti cabang, dahan, ranting, atau bagian. Dikaitkan dengan persoalan keagamaan, masalah furuk berarti persoalan perincian dari masalah pokok keagamaan. Zakat, misalnya, adalah masalah pokok, tetapi apa yang wajib dizakatkan merupakan hal yang sudah termasuk masalah furuk. Salat adalah masalah pokok, sedangkan perincian pelaksanaannya, seperti waktunya, syarat, dan rukunnya adalah masalah furuk.

Dapat dikatakan, bahwa Al-Qur’an dan sunah pada umumnya hanya menyebutkan masalah-masalah pokok dan sebagian kecil hal-hal yang terperinci, seperti masalah ibadah, persoalan hudud, dan beberapa ketentuan tentang warisan dan masalah rumah tangga. Masalah furuk tidak diberi ketentuan secara pasti dan tegas oleh Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.

Dalam hal-hal yang bersifat furu‘iyyah dan juz’iyyah yang terkait dengan persoalan keduniaan, agama tidak memberikan perincian, tetapi hanya menetapkan kaidah kulliyyah (juz’iyyah) dan maksud umum. Pada kerangka inilah Islam memberikan kemerdekaan berijtihad kepada para ulama setiap masa agar mereka melakukan istinbat hukum sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat tanpa keluar dari kaidah-kaidah umum yang dimaksud.

Dalam melakukan ijtihad terhadap masalah furuk, para mujtahid menggunakan berbagai metode ijtihad. Ada yang menggunakan metode analogi (kias) terhadap hal-hal yang bisa dikiaskan, ada pula yang memakai istihsan, al-maslahah al-mursalah, istishab, atau sadd adz-dzara’i.

Tidak diuraikannya masalah furuk itu secara tegas dan terperinci oleh agama merupakan suatu keistimewaan agama Islam, sebab dengan cara demikian syariat Islam membuka pintu untuk berijtihad bagi ulama. Dengan menggunakan kemampuan ijtihadnya, maka ulama akan dapat menyelesaikan semua persoalan furuk se­suai dengan tuntutan zaman dan keperluan masyarakat.

Oleh sebab itu, tidak adanya ketentuan hukum yang terang dan tegas tentang masalah furuk akan menjadi suatu wilayah ijtihad yang harus ditekuni oleh para mujtahid, sehingga agama Islam dapat berlaku di setiap masa dan tempat serta dapat menampung segala kebutuhan umat manusia yang senantiasa berkembang.

Karena masalah furuk tidak mempunyai kepastian hukum secara tegas, ulama yang berijtihad dalam suatu persoalan yang serupa dapat menghasilkan keputusan dan pendapat yang tidak sama. Kendati demikian, dalam perbedaan itu terdapat rahmat.

Bisa jadi, perbedaan itu terjadi karena mujtahid itu memakai metode ijtihad yang berbeda; mungkin pula metodenya sama, tetapi mereka berijtihad dalam alam dan suasana yang berlainan. Bagaimanapun, perbedaan pendapat ulama, bahkan perbedaan mazhab sekalipun, adalah dalam lapangan furuk ini, bukan dalam lapangan pokok.

Menurut penilaian agama, terjadinya perbedaan hasil ijtihad atas suatu masalah furuk bukanlah sesuatu yang tercela, malahan justru merupakan bukti kekayaan perbendaharaan ilmiah, keistimewaan syariat Islam, dan kebesaran jiwa ulama. Dengan demikian, perbedaan pendapat dalam lapangan furuk adalah soal biasa, bukan suatu hal yang harus ditakuti.

Daftar Pustaka

ad-Duraini, Fath. al-Manahij al-Ushuliyyah fi al-Ijtihad bi ar-Ra’y fi at-Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975.
Khalaf, Abdul Wahhab. Mashadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nashsha Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1973.
al-Madani, Muhammad. Mawatin al-Ijtihad fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Kuwait: Matba‘ah al-Manar, t.t.
Musa, Sayid Muhammad. al‑Ijtihad Mada Hajatina Ilaih fi al-Hadza al‑‘Asr. Cairo: Dar al‑Kutub al‑Hadisah, t.t.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-Ijtihad fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah ma‘a NazarahTahliliyyah fi al-Ijtihad al-Mu‘ahir. Kuwait: Dar al-Qalam, t.t.
Salih, Muhammad Adib. Mahadir at-Tasyri‘ al-Islami wa Manahij al-Istinbath. Damascus: al-Maktabah at-Ta‘awuniyah, 1981.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Helmi Karim