Fisika

Cabang ilmu pengetahuan yang membahas materi, energi, dan interaksinya, disebut fisika. Ruang lingkup fisika amat luas, mencakup antara lain struktur serta sifat berbagai wujud materi, dan hakikat serta bentuk berbagai energi seperti kalor (panas), jenis gelombang, energi listrik, mag-net, dan energi nuklir.

Fisika adalah bagian dari ilmu pengetahuan atau sains, sedangkan ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian yang dapat diterima oleh rasio.

Ilmu pengetahuan kealaman (natural science) muncul setelah melalui pengamatan atau observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar, baik yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, maupun yang tak bernyawa seperti bintang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda yang mengelilingi kita.

Data yang dikumpulkan dari berbagai observasi dan pengukuran pada gejala alami itu dianalisis, kemudian diambil kesimpulannya yang dapat diterima. Seluruh proses mulai dari pengamatan dan pengukuran sampai dengan analisis dan pengambilan kesimpulan ini, untuk mudahnya, dapat dinyatakan dengan istilah intizar, suatu kata yang berhubungan dengan nazara, yang berarti sama dengan nalar.

Ilmu pengetahuan mengenal dua tradisi dalam memberikan keterangan mengenai awal dan akhir dari suatu proses alami. Secara garis besar perbedaan antara kedua tradisi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: yang satu memberikan keterangan secara teleologis, sedangkan yang lain secara kausal.

Gagasan secara teleologis didasarkan pada filsafat yang menyatakan bahwa segala kejadian telah direncanakan lebih dahulu secara supernatural. Menurut tradisi teleologi, keadaan awal suatu peristiwa akan mencapai keadaan akhir yang telah ditentukan.

Oleh karena itu tradisi teleologi lebih menekankan pada masalah nasib atau takdir. Artinya, suatu keadaan awal akan mencapai keadaan akhir yang telah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, pendirian atau gagasan secara kausal didasarkan pada filsafat yang menyatakan bahwa suatu peristiwa akan mencapai keadaan akhir jika sebelumnya terdapat keadaan yang memungkinkannya.

Hal ini berarti bahwa keadaan akhir menurut tradisi kausalisme merupakan akibat dari keadaan atau peristiwa sebelumnya. Oleh karena itu, dalam tradisi atau paham kausalisme terdapat pengertian tentang sebab akibat. Keharmonisan alam adalah sejalan dengan serta disebabkan oleh adanya hukum yang menguasai alam.

Hukum tersebut ditakdirkan oleh Allah SWT, yakni dibuat bersifat pasti, yang menurut istilah Al-Qur’an disebut sunnah Allah (sunatullah) atau takdir dalam arti kepastian umum hukum Allah SWT untuk alam ciptaan-Nya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah al-Ahzab (33) ayat 62,

“Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunah Allah.”

Oleh karena itu, perjalanan pasti dari gejala atau benda alam seperti matahari yang beredar pada orbitnya dan rembulan yang tampak berkembang dari bentuk seperti sabit sampai bulan purnama kemudian menjadi seperti sabit lagi, semuanya disebut sebagai takdir (ketentuan) Allah SWT karena kepastiannya adalah sebagai hukum Ilahi untuk alam ciptaan-Nya.

Doktrin kepastian hukum Allah SWT untuk alam semesta yang disebut takdir itu juga dinamakan kadar (ukuran yang persis dan pasti). Hal ini, misalnya, ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam surah al-Qamar (54) ayat 49, “Inna kulla syay’in khalaqnahu bi qadar (Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran).”

Karena itu, salah satu makna beriman kepada takdir atau kadar Allah SWT, dalam penglihatan kosmologis ini, ialah beriman kepada adanya hukum-hukum kepastian yang menguasai alam sebagai ketetapan dan keputusan Allah SWT yang tidak bisa dilawan. Maka manusia, tidak bisa tidak, harus memperhitungkan dan tunduk kepada hukum alam (sunatullah) itu dalam segala perbuatannya.

Adanya hukum Allah SWT bagi seluruh alam semesta, baik makro maupun mikro, yang tak terhindarkan itu, dan menguasai kegiatan manusia, menjadi unsur pembatas dan keterbatasan manusia, tetapi juga di situlah kesempatan untuk meraih suatu bentuk keberhasilan dalam usaha.

Bahwa manusia akan berhasil atau gagal dalam usahanya adalah setara dengan seberapa jauh ia berbuat sesuai dengan takdir Allah SWT untuk alam lingkungannya karena hukum itu tidak mungkin ditaklukkan. Adapun ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah usaha manusia untuk memahami hukum Allah SWT yang pasti (sunatullah) bagi alam semesta ciptaan-Nya ini.

Oleh karena itu, ilmu mempunyai nilai kebenaran, selama ia secara tepat mewakili (represent) hukum kepastian Allah SWT atau takdir-Nya. Maka ilmu pengetahuan yang benar akan dengan sendirinya bermanfaat untuk manusia.

Ilmu pengetahuan atau sains adalah prasyarat untuk mewujudkan salah satu tujuan diciptakannya alam ini, yaitu untuk kemanfaatan bagi manusia. Tetapi ilmu pengetahuan itu diberikan Allah SWT kepada manusia melalui kegiatan manusia itu sendiri dalam usaha memahami alam raya ini.

Hal ini berbeda dengan agama yang diberikan dalam bentuk pengajaran atau wahyu melalui para utusan Allah SWT. Perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan objeknya. Yang harus dipahami manusia melalui ilmu pengetahuan ialah hal-hal lahiriah dengan segala variasinya, termasuk hal yang sepintas lalu kelihatannya gaib ataubatiniah, seperti medan magnet atau gravitasi, dan kenyataan­-kenyataan lain yang menjadi bahan kajian fisika subatomik dan fisika baru lainnya.

Adapun yang harus dipahami oleh manusia melalui wahyu ialah kenyataan-kenyataan yang tidak empiris, tidak kasat indra (asy-syahadah) sehingga tidak ada kemungkinan manusia mengetahuinya kecuali melalui sikap percaya dan menerima (iman dan Islam) “khabar” dari para nabi.

Di dalam Al-Qur’an ditemukan sejumlah ayat yang memberikan gambaran tentang perilaku alam, yang lazim disebut dengan ayat-ayat kauniyyah (Ayat), antara lain di dalam surah al-Anbiya’ (21) ayat 30 dan 104, surah ad-Dzariyat (51) ayat 47, surah Fussilat (41) atau surah as-Sajdah (Hamim [32]) ayat 11 dan 13, surah al-Aalaq (65) ayat 12, surah as-Sajdah (32) ayat 4, surah Hud (11) ayat 7, dan surah Fathir (35) ayat 41.

Konsep alam semesta dalam Al-Qur’an tampaknya mempunyai persamaan dengan temuan-temuan para ahli. Pandangan terhadap alam semesta ini sebenarnya mulai mengalami perubahan sejak tahun 1929, ketika Edwin Powell Hubble (1889–1953), seorang ahli astronomi berkebangsaan Amerika, melihat dan yakin bahwa galaksi-galaksi di sekitar Bimasakti menjauhi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi. Galaksi yang lebih jauh kecepatannya lebih besar sehingga dalam sains terdapat istilah mengembang (expanding universe).

Pada 1952 George Gamow (1904–1968), seorang ahli fisika nuklir dan kosmologi kelahiran Rusia dan berkiprah dalam separuh terakhir hi­dupnya di Amerika Serikat, berkesimpulan bahwa galaksi-galaksi di seluruh jagad raya (yang jumlahnya kira-kira 100 miliar dan masing-masing rata-rata berisi 100 miliar bintang itu) pada mulanya berada di satu tempat bersama-sama dengan bumi, sekitar 15 miliar tahun yang lalu.

Materi yang sekian banyaknya itu terkumpul sebagai suatu gumpalan yang terdiri dari neutron sebab elektron-elektron yang berasal dari masing-masing atom telah menyatu dengan protonnya dan membentuk neutron sehingga tak ada gaya tolak listrik antara masing-masing elektron dan antara masing-masing proton.

Gumpalan ini berada dalam ruang alam dan tanpa diketahui sebab musababnya meledak dengan sangat dahsyatnya sehingga terhamburlah materi itu ke seluruh ruang jagad raya; peristiwa inilah yang kemudian terkenal sebagai Teori Dentuman Besar (Big Bang Theory).

Sudah barang tentu gumpalan sebesar itu tidak pernah bergelimangan di ruang kosmos sebab gaya gravitasi gumpalan itu akan begitu besar sehingga ia akan tergencet menjadi sangat kecil, lebih kecil daripada bintang pulsar yang jari-jarinya hanya sebesar dua sampai tiga kilometer dan massanya kira-kira dua sampai tiga kali massa sang surya, bahkan lebih kecil dari lubang hitam (black hole) yang massanya jauh melebihi pulsar dan jari-jarinya menyusut mendekati ukuran titik.

Gambarkan saja dalam angan-angan berapa besar kepadatan materi dalam titik yang volumenya nol itu jika seluruh massa 100 miliar kali 100 miliar bintang sebesar matahari dipak-sakan masuk di dalamnya. Inilah yang biasa disebut orang sebagai singularitas.

Jadi konsep dentuman besar terpaksa dikoreksi, yaitu bahwa keberadaan alam semesta ini diawali oleh ledakan mahadahsyat ketika tercipta ruang-waktu dan energi yang keluar dari singularitas dengan suhu yang tak terkirakan tingginya.

Para pakar berpendapat bahwa alam semesta tercipta dari ketiadaan sebagai goncangan vakum yang membuatnya mengandung energi yang sangat tinggi dalam singularitas yang tekanannya menjadi negatif. Vakum yang mempunyai kandungan energi yang luar biasa besarnya serta tekanan gravitasi yang negatif ini menimbulkan dorongan eksplosif keluar dari singularitas.

Tatkala alam mendingin karena ekspansinya, sehingga suhunya merendah melewati 1.000 triliun-triliun derajat, pada umur 10-35 sekon, terjadilah gejala “lewat dingin”. Pada saat pengembunan tersentak, keluarlah energi yang memanaskan kosmos kembali menjadi 1.000 triliun-triliun derajat, dan seluruh kosmos terdorong membesar dengan kecepatan luar biasa selama waktu 10-35 sekon. Ekspansi yang luar biasa cepatnya ini menimbulkan kesan seakan-akan alam kita digelembungkan dengan tiupan dahsyat sehingga dikenal sebagai gejala inflasi.

Selama proses inflasi ini, ada kemungkinan bahwa tidak hanya satu alam saja yang muncul, tetapi beberapa alam. Masing-masing alam tersebut mempunyai hukum-hukumnya sendiri, tidak perlu sama antara satu dengan yang lainnya.

Oleh karena materialisasi dari energi yang tersedia, yang berakibat terhentinya inflasi, tidak terjadi secara serentak, maka di lokasi tertentu terdapat konsentrasi materi yang merupakan benih galaksi yang tersebar di seluruh kosmos.

Dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanannya mencari kebenaran, sebenarnya sains telah mengalami penyelewengan dan pada akhirnya telah terbongkar kesalahan, karena apa yang pernah diungkapkan sebagai suatu kebenaran ternyata keliru di kemudian hari.

Hal ini membuktikan bahwa dalam sains itu akan senantiasa ditemukan perkembangan dan perubahan, dan penemuan para ahli saling melengkapi. Pada akhirnya para ilmuwan dapat memahami Al-Qur’an, khususnya ayat kauniyyah, melalui hukum alam.

Daftar Pustaka

Baiquni, Ahmad. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Bandung: Pustaka, 1983.
–––––––, et al. Islam untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi. Jakarta: Proyek Pembinaan Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi Umum, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 1986.

Nasaruddin Umar