Kauniyah adalah ilmu pengetahuan yang membahas hukum alam semesta secara umum, baik dari sudut asal materi maupun proses kejadiannya. Pembahasannya bisa bersifat eksperimental (tajribiyyah) maupun filosofis. Kata al-kauniyyah berasal dari kata kana, yakunu, dan kaunan, yang secara etimologis berarti “ada, keadaan, dan alam semesta”.
Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang berkaitan dengan alam, sehingga memberi inspirasi muncul dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Ada sekitar 750 ayat yang secara tegas menguraikan alam dengan berbagai persoalannya. Oleh karena itu, para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat Al-Qur’an, di samping mengandung aspek akidah, ibadah, akhlak, dan sejarah, juga mengandung isyarat ilmu pengetahuan yang sangat berharga bagi para ilmuwan untuk melakukan studi dan eksperimen. Menurut al-Ghazali, cabang ilmu pengetahuan, baik yang sudah ditemukan maupun yang belum, seluruhnya bersumber kepada Al-Qur’an.
Al-Qur’an biasanya menyebutkan alam dalam dua kategori: langit (as-samawat) dan bumi (al-ard). Termasuk dalam kategori langit adalah planet selain bumi, mencakup juga bintang dan matahari. Deskripsi tentang alam ini oleh Allah SWT sudah diberikan kepada manusia pertama, Nabi Adam AS, yang selanjutnya menjadi ilmu yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Ilmu kauniyah pada garis besarnya terbagi dua, yaitu ilmu alam langit dan ilmu alam bumi. Ilmu mengenai alam langit meliputi antara lain ilmu astronomi dan metafisika. Ilmu mengenai alam bumi mencakup antara lain: (a) al-‘ulum al-insaniyyah (ilmu pengetahuan yang membahas masalah manusia dan kemanusiaan); (b) al-‘ulum al-hayawaniyyah (ilmu pengetahuan yang membahas dunia hewan), baik hewan darat (al-barriyyah) maupun hewan laut (al-bahriyyah); dan (c) al-‘ulum an-nabatiyyah (ilmu pengetahuan mengenai alam tumbuhan).
Ibnu Sina membagi alam atas tiga, yaitu yang mumtani‘ al-wujud (yang mustahil adanya), yang wajib al-wujud (yang mesti adanya), dan yang mumkin al-wujud (yang mungkin ada dan mungkin tidak ada). Menurutnya, yang wajib al-wujud akan melahirkan yang mumkin al-wujud, yakni alam ini. Dari alam lalu lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu kauniyah antara lain adalah ayat yang menyatakan: langit itu (semula) berupa asap (QS.41:11); langit dan bumi pada mulanya bersatu, lalu keduanya berpisah (QS.21:30); matahari berputar pada porosnya (QS.36:38); dan matahari terbit dan terbenam berdasarkan masa waktu tertentu secara konstan (QS.13:2 dan QS.55:5).
Dalam surah an-Naml (27) ayat 88 dijelaskan bahwa gunung berjalan bagaikan jalannya awan dan tunduk kepada sunatullah (hukum alam). Dalam banyak ayat, manusia didorong, baik secara persuasif (khabariyyah) maupun instruktif (thalabiyyah), untuk meneliti dan mengadakan eksperimen terhadap apa yang ada di permukaan dan di dalam perut bumi, seperti pada surah Yunus (10) ayat 101.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an secara jelas diungkapkan proses awal kejadian dan reproduksi manusia, seperti pada surah ath-thariq (86) ayat 5 dan 6; surah al-Mu’minun (23) ayat 12, 13, dan 14; surah Yasin (36) ayat 77; dan surah al-hijr (15) ayat 26.
Alam ini merupakan sumber pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap manusia. Alam yang memiliki hukumnya yang pasti dan konstan akan membentuk pengetahuan manusia. Karena hukum alam itulah, manusia secara bertahap dapat mengendalikan alam dan mengadakan pengembangan melalui eksperimen dan riset secara berulang. Berbagai persoalan yang berkaitan dengan struktur, kondisi, dan kualitas alam, secara bertahap dapat dikuasai dan diatasi manusia.
Hukum alam dan Al-Qur’an bersumber dari sumber yang sama, yakni Allah SWT. Oleh karena itu, alam mempunyai kaitan erat dengan ayat Al-Qur’an. Di antara kaitan tersebut, Al-Qur’an memberikan informasi tentang keadaan alam pada masa yang akan datang, yang belum bisa diramalkan ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an juga memberikan informasi peristiwa masa lampau yang hanya diketahui kalangan yang sangat terbatas. Terkadang Al-Qur’an mempertegas penemuan para ahli dan terkadang memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan secara akurat. Al-Qur’an juga memberikan motivasi kepada para ilmuwan untuk melakukan kajian atau pembahasan secara ilmiah. Akan tetapi, terdapat pula ayat yang secara tegas melarang dilakukannya pembahasan suatu persoalan dan memerintahkan agar mendiamkannya (tawaqquf) serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah SWT.
Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui kajian dan penelitian terhadap alam ini pada akhirnya akan menunjukkan kebesaran Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT, sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 190 dan 191.
Di kalangan ilmuwan muslim, banyak sekali penemuan ilmiah yang orisinal (sebagai hasil eksperimen, observasi, atau penelitian) yang terus dikembangkan dan menjadi milik dunia ilmu pengetahuan modern; termasuk yang kemudian dikembangkan para ilmuwan Barat.
Para ilmuwan muslim, terutama yang muncul pada masa keemasan Islam (abad ke-7 sampai 13), memberi banyak kontribusi pada perkembangan sains modern, seperti bidang kimia, optika, matematika, kedokteran, fisika, astronomi, geografi, dan sejarah.
Mereka itu antara lain adalah Jabir bin Hayyan (721–815), Ibnu Haitam (965– 1039), al-Kindi (801–869), al-Farabi (870–950), al-Biruni (973–1048), Zakaria ar-Razi (864–926), Ibnu Sina (980–1037), al-Mas’udi (w. 956), dan Ibnu Rusyd (1126–1198).
DAFTAR PUSTAKA