Falak, Ilmu

(Ar.: ‘ilm al-falak)

Ilmu falak, juga disebut astronomi, adalah ilmu yang mempelajari benda-benda langit, matahari, bulan, bintang, dan planet lain. Pengetahuan tentang posisi benda-benda langit merupakan hasil pengalaman serta pengamatan yang dikerjakan berulang-ulang dengan bantuan alat, misalnya teropong.

Ilmu falak ditemukan dalam kurun waktu ribuan tahun, dimulai sejak kurang-lebih 3.000 tahun sebelum Masehi di Kerajaan Babilonia yang terletak di antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat (selatan Irak kini). Para pendeta Kerajaan Babilonia menemukan dua belas gugusan besar bintang-bintang di cakrawala, yang mereka bayangkan sebagai satu lingkaran.

Setiap gugusan bintang (zodiak) akan berlalu setelah 30 hari. Setiap satu bagian mereka namakan derajat. Penemuan mereka tentang gugusan bintang-bintang itu akhirnya melahirkan ilmu geometri dan matematika, ilmu ukur, dan ilmu hitung. Dengan menghitung jalannya bulan, dihasilkan hari; dengan menghitung jalannya matahari dihasilkan tanggal, bulan, serta tahun sehingga akhirnya terjadi ilmu penanggalan.

Pada zaman gemilangnya imperium Arab, selama beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat (632), bangsa Arab telah menjadi penghubung antara kebudayaan Yunani Kuno dan kebudayaan Eropa Barat.

Bangsa Arab pada masa itu memiliki sifat dan kepribadian serta keimanan yang murni, bahwa manusia semata-mata diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT. Maka segala kekayaan rohani dari bangsa Yunani mereka pandang sebagai amanat suci yang harus dipelihara dan dijaga untuk disampaikan kepada umat manusia.

Kekayaan rohani bangsa Yunani tersebut, antara lain ilmu falak, kemudian mereka susun dengan memberikan komentar sebaik-baiknya, tanpa memutarbalikkan kenyataan-kenyataan yang mereka peroleh dan disampaikan secara utuh kepada umat.

Ilmu falak dikembangkan para ilmuwan muslim karena ilmu tersebut berhubungan sangat erat dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan agama Islam seperti salat lima waktu, penentuan arah kiblat, dan penentuan awal bulan Kamariah (sistem penanggalan berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi). Bagi daerah yang baru diduduki bangsa Arab/Islam harus segera pula ditentukan arah kiblatnya, terutama bagi daerah yang jauh letaknya.

Salah seorang ulama Islam yang muncul sebagai ahli ilmu falak terkemuka adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780–850) yang mengarang buku berjudul Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah sekitar tahun 825 di Baghdad.

Buku ini sangat mempengaruhi pemikiran para cendekiawan Eropa dan kemudian diterjemahkan sebagian ke dalam bahasa Latin oleh Robert Chester pada 1140 dengan judul Liber Algebras et Almucabola.

Sampai sekarang, untuk menyelesaikan persoalan aljabar masih tetap digunakan cara al-Khawarizmi, yang di dalam bahasa Inggris disebut dengan algorism (algoritme = urutan logis pengambilan putusan untuk pemecahan masalah).

Ilmu perbintangan bangsa Babilonia dibawa pedagang-pedagang dari Funisia ke Yunani. Claudius Ptolemaeus (± 100–178) adalah salah seorang ahli dalam ilmu perbintangan (astronomi) dan geografi. Buku peninggalan Claudius Ptolemaeus yang disalin ke dalam bahasa Arab dinamakan Ptolemy’s Almagest, kata-kata Yunani yang diarabkan dengan merangkaikan “al” pada kata “magest” yang berarti “usaha yang paling besar.”

Pengaruh Islam (Arab) dalam ilmu falak masih tercatat dan terlihat dengan jelas pada nama-nama bintang dalam bahasa Arab yang masih melekat hingga sekarang, seperti Aldebaran (Alpha Tauri) = ad-Duburan (Dua Buntut); Mirfaq = Mirfaq (Siku); Rigel (Beta Orionis) = Rijl (Kaki) yaitu bintang di kaki Orion; Zubeneljanubi = Anak Selatan; Markab = Kendaraan; Altair (Alpha Aquilae) = at-Tair (Burung); Alnoth = Tanduk; Kochab = Kaukab (Bintang); Alphard= al-Fard (Sendirian); Betelgeuse (Alpha Orionis) = Bait al-Jauza’ (Ru­mah Kembar), Fomalhaut (Alpha Piscis Austrini) = Famu al-Hut (Mulut Ikan); dan Diphda = Diphda’ (Katak).

Pengembangan kembali ilmu falak bermula dari bangsa Arab yang mengambil alih ilmu bangsa Yunani setelah ditambah dan dikembangkan. Kemudian ilmu tersebut melalui Spanyol pindah pula ke tangan bangsa Eropa, dibawa bangsa Eropa sendiri yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla, Granada, dan Cordoba.

Akhirnya diketahui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh itu berasal dari ahli-ahli ilmu pengetahuan Yunani. Para ilmuwan Eropa kembali menyelidiki dan mempelajari buku Pythagoras (± 580–500 SM), Claudius Ptolemaeus, dan lain-lain, dan dengan demikian berakhirlah masa gelap gulita (Dark Age) di Eropa (400–1000).

Di Eropa, orang Polandia yang bernama Nicolaus Copernicus (1473–1543) adalah ahli ilmu falak modern, terutama mengenai teorinya yang masih dipergunakan sampai sekarang bahwa bumi bersama planet-planet lainnya berputar mengelilingi matahari (heliosentris). Pendapat sebelumnya mengatakan bahwa bumi tetap di tempatnya dan merupakan pusat (geosentris) benda-benda langit lainnya.

Dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei (1564–1642) yang menguatkan teori Nicolaus Copernicus, ilmu falak bertambah maju lebih jauh lagi. Tetapi kemudian Galileo Galilei oleh para tokoh agama dianggap sebagai seorang bid’ah, kemudian ditangkap Inkuisisi Roma (sejenis kuasa pengadilan gereja) sampai menemui ajalnya.

Daftar Pustaka

Abdus Salam. Sains dan Dunia Islam, terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Pustaka, 1402 H/1982 M.
Baiquni, Ahmad. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Bandung: Pustaka, 1983.
Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Jakarta: Girimukti Pasaka, 1981.
Thaha, Ahmadie. Astronomi dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

A Barry Mursyid